Kamis, 12 Juli 2012

Lima Pemeliharaan


Nabi saw., bersabda:
1.      Berbisik itu dapat menyimpan rahasia.
2.      Shodaqoh dapat memelihara harta.
3.      Keikhlasan dapat memelihara amal (dari terhapusnya pahala).
4.      Jujur dapat memelihara ucapan dari perkataan dusta.
5.  Musyawarah dapat memelihara pendapat-pendapat (untuk mencapai suatu kesepakatan bersama). (Nashoihul Ibad, Imam Nawawi al Bantani).

Peran Bank Syariah Dalam Kehidupan


Oleh: Agus Irianto
(Kepala Cabang Bank Syariah Mandiri Cirebon)

Peran Bank Syariah, setelah kita memahami makna dan tujuan syariah, yaitu untuk kebaikan atau kesejahteraan umat manusia, sekarang mari kita lihat bagaimana peluang Negara-negara Muslim dalam mencapai kesejahteraan melalui ukuran Indeks Pengembangan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Di sini kita akan menemukan berbagai fakta yang menyedihkan dan ironis. Syariah yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan umat manusia berhadapan dengan fakta bahwa tingkat atau potensi kesejahteraan Dunia Islam saat ini justru paling tercecer. Sebagaimana juga Islam adalah agama yang didalam kitab sucinya, ayat yang pertama kali turun berbunyi perintah untuk belajar (iqra’) berhadapan dengan fakta bahwa tingkat edukasi Negara-negara Muslim saat ini justru paling tercecer juga. Kajian ini harus membangun kesadaran pada insan-insan, bahwa tugas perjuangan kita kedepan cukup berat,yaitu mengembankan bank yang memujudkan maqashid al-syari’ah dengan menjadi bank yang semakin berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan lingkungan.
Mari kita kembali pada kajian tentang HDI. Semakin tinggi HDI,semakin baik pengembangan manusianya, dan semakin terbuka peluang mereka untuk sejahtera. Sebaliknya, semakin rendah HDI semakin buruk pengembangan manusianya, dan semakin tertutup peluang mereka untuk sejahtera. Indeks ini ditemukan oleh Dr. Mahbub Al-Haq, ilmuwan Muslim dari Pakistan yang kemudian digunakan oleh UNDP (United Nations Development Programs) sejak 1990 hingga sekarang.
UNDP berargumen bahwa pada umumnya disetiap tingkatan pengembangan manusia, terdapat tiga komponen paling penting. Komponen pertama adalah upaya untuk hidup sehat dan umur panjang. Komponen ini diukur menggunakan Life expectancy Index dengan perubah independen (variable independen) “angka harapan hidup”. Komponen kedua adalah upaya untuk memperoleh pengetahuan. Komponen ini diukur dengan menggunakan Education Index dengan dua perubah independen, yaitu “re-rata usia sekolah yang terealisir” dan “rerata usia sekolah yang diharapkan”. Komponen ketiga adalah upaya untuk mendapatkan akses pada sumber daya dalam rangka mencapai standar hidup yang layak. Komponen ini diukur menggunakan Income Index dengan perubah independen “pendapatan nasional bruto per kapita”.
Dengan kondisi tersebut, peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia maupun dunia masih perlu usaha yang ekstra keras untuk membuat HDI Indonesia berada di peringkat atas. Saya ingin mengajak Anda semua melalui tulisan ini untuk turut membangun bangsa yang kita cintai ini melalui pengembangan manusia. Ini semua patut kita lakukan demi Indonesia yang lebih baik, khusunya sebagai pemimpin peradaban berbasis spiritual pada masa mendatang.
Beberapa butir kesimpulan yang bisa kita ambil dari analisis tentang HDI adalah sebagai berikut:
1.    Negara-negara Muslim memiliki pengembangan manusia yang berada di bawah rata-rata dunia, baik dilihat dari Human Development Index (HDI), Life expectancy Index (LEI), Education Index (EI), maupun Income Index (II).
2.    HDI negara-negara Muslim lebih dipengaruhi oleh sumber daya alam yang tidak terbarukan (nonrenewable natural resources), yaitu minyak dan gas bumi. Sebaliknya, HDI non-negara-negara Muslim justru dipengaruhi oleh penggunaan pengetahuan.
3.    Indonesia sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia memiliki HDI yang rendah, utamanya dipengaruhi oleh pendidikan dan pendapatan yang rendah.
4.    Dengan kualitas pengembangan manusia yang rendah, negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, memiliki peluang relatif kecil dalam mencapai tujuan syariah, yaitu kesejahteraan umat.
5.    Seluruh Umat Muslim dan Bangsa Indonesia diharapkan berupaya semaksimal mungkin untuk mendorong peningkatan pembangunan manusia demi mencapai tujuan syariah dan menjadikan Indonesia sebagai pemimpin peradaban berbasis spiritual pada masa mendatang.
6.    Ekonomi, keuangan, dan perbankan syariah di Indonesia harus membuktikan kesyariahan nya melalui perjuangannya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia yang salah satu ukuran utamanya adalah meningkatnya HDI bangsa Indonesia.  Sebagai salah satu negri yang paling banyak atau paling padat penduduknya, Indonesia memiliki karakteristik dasar dari emerging       market .Penduduk Indonesia saat ini berjumlah 237 juta jiwa. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,5 % pertahun dan tingkat populasinya 61%                  adalah usia produktif (15-60 tahun).
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan penduduk Indonesia pun diproyeksi membaik sehingga memperbesar jumlah golongan rumah tanggankategori ekonomi menengah. Golongan tersebut akan berkontribusi pada peningkatan GDP (Gross Domestic Product) nasional. Salah satu indikator meningkatnya golongan ekonomi menengah adalah meningkatnya penggunaan internet dan layanan perbankan berbasis teknologi .Sebagai informasi terkait penggunaan jejaring social(social network), Indonesia saat ini menempati urutan ke 2 setelah Amerika Serikat.            

Kamis, 05 Juli 2012

CIREBON GERBANG RAHASIA DUNIA


(Membangkitkan Kejayaan Nusantara)
Oleh: Ibnu Malik, S.Pd.I.
Peristiwa besar telah dialami bangsa Eropa. Saat itu, bangsa Benua Biru telah kehilangan jati diri dan kejayaannya. Bangsa yang dahulu penuh dengan kegemilangan ilmu pengetahuan, pemikiran, gagasan, dan ide-ide fantastis tiba-tiba menjadi redup karena kejenuhan berfikir yang dipengaruhi oleh kebijakan gereja pada saat itu.
Berbagai macam tradisi dan khasanah ilmu pengetahuan terpendam tanpa ada yang mengkajinya. Sebagaimana kita ketahui banyak filsuf  berada di Eropa seperti tokoh utama filsafat Barat, antara lain  Aristoteles, Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Kebesaran dan keluhuran ilmu dari tokoh-tokoh tersebut  terpendam sia-sia karena masyarakat Eropa saat itu tidak mempedulikannya lagi. Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya pengaruh Islam dari Timur Tengah, bangsa Eropa mulai menyadari betapa terbelakangnya mereka. Mereka mulai merenungi keadaannya dan mencari tahu apa penyebabnya.
Akhirnya mereka menemukan solusi untuk memecahkan masalah kemanusiaan yang sedang dialami tersebut. Sampai didapat kesimpulan bahwa mereka harus kembali kepada kecemerlangan masa lampau. Istilah untuk ini dinakaman Renaisance. Faktanya, pada masa lampau Bangsa Eropa adalah bangsa yang besar dan punya intelektualitas yang tinggi. Sehingga, jika Eropa ingin mencapai masa cemerlang, maka sudah selayaknya mereka belajar kepada kejayaan masa  lampau.
Zaman Renaisans adalah zaman kelahiran-kembali (Renaissance, bahasa Perancis) kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 M. Pada masa ini Bangsa Eropa mulai mengkaji kebudayaan dan khasanah keilmuan yang merupakan warisan masa lampau, dengan harapan dapat mengulang kembali kejayannya. Sampai akhirnya kejayaan Bangsa Eropa mereka raih kembali. Ini ditandai dengan munculnya revolusi industri di Inggris dan revolusi Perancis. Peristiwa ini pula yang menjadi salah satu catatan sejarah dunia.
Sama halnya dengan apa yang terjadi di tanah melayu sekarang ini, khususnya Nusantara. Negara Malaysia mulai merasa kehilangan kebudayaan dan jati diri bangsanya. Sebagai akibat dari globalisasi dan posisi Malaysia sebagai Negara Persemakmuran Inggris. Pantaslah  jika Pemerintah Malaysia memprediksi bahwa 50 tahun ke depan Negara Malaysia tidak akan ada lagi di muka Bumi, yang ada hanyalah sebuah daerah yang dihuni oleh penduduk dengan ras-ras campuran dari Melayu, India, Cina, Ainu, dan lain sebagainya.
Walaupun nama Negara Malaysia ada, tetapi kebudayaan yang asli dari Malaysia sebagai bangsa Melayu, sudah tidak dapat kita jumpai lagi. Bahkan kalau pun ada sangat sedikit jumlahnya. Masyarakatnya yang heterogen juga menjadi penyebab hilangnya ciri khas bangsa Malaysia sebagai orang Melayu.
Oleh karena itu, pemerintah Malaysia mulai tanggap tentang masalah ini. Mereka mulai berusaha untuk mencari sisa-sisa kebudayaan yang masih ada. Namun apalah daya, Negara Malaysia yang lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia wilayah dan jumlah kebudayaannya, tidak mampu lagi membangkitkan kebudayaan masa lampaunya.
Maka, munculah ide untuk mencari beberapa kebudayaan yang belum tergali di Negara tetangganya yaitu antara lain Indonesia. Ini dilakukan sebagai upaya mencari kebudayaan dan menghidupkannya kembali budaya melayau.
Indonesia sebagai Negara tetangga Malaysia, menjadi target utama dalam pencarian kebudayaan melayu. Bangsa yang serumpun biasanya mempunyai kemiripan dalam hal kebudayaan. Maka, sudah barang tentu Malaysia akan mencari sisa-sisa data kebudayaan melayu ke Indonesia.
Sebagai tindakan ril, mereka mulai menghampiri salah satu pulau terluar Indonesia di dekat Pulau Sumatra yang dinamai Pulau Penyengat. Pulau tersebut merupakan pulau dengan jumlah naskah kuno terbanyak se-Indonesia. Berbagai macam tulisan dan peninggalan bersejarah ada di sana. Sehingga sangat menarik perhatian Malaysia untuk menguasainya. Ini juga karena letak Pulau Penyengat yang sangat dekat dengan Malaysia.
Sebagian besar naskah yang ada di sana adalah peninggalan masa lampau yang bernuansa melayu. Dalam naskah-naskah  tersebut banyak informasi dan khasanah keilmuan yang bermanfaat untuk pembangkitan kembali budaya melayu. Maka tidak aneh ketika reog, angklung, batik, dan beberapa kebudayaan Indonesia lainnya telah diklaim sebagai kebudayaan mereka karena Malaysia telah mempelajarinya dari beberapa naskah yang didapatnya. Setelah mempelajari dan mengkaji naskah-naskah kuno tersebut, Malaysia meminta warga Negara Indonesia untuk membantu dalam pengkajiannya, karena  bahasa yang digunakan ada juga yanag tidak berbahasa melayu.
Selain pulau penyengat, Malaysia juga mulai memburu naskah-naskah kuno berbagai daerah di Indonesia antara lain Kota Cirebon. Cirebon adalah Kota Wali yang sudah terkenal kemasyhurannya. Suatu hari Bapak drh. H. Bambang Irianto, salah seorang pengumpul dan pengkaji naskah-naskah kuno Cirebon kedatangan profesor dari salah satu perguruan tinggi terkemuka di Malaysia. Beliau diajak untuk bekerjasama dalam pengkajian dan penggalian khasanah keilmuan dari naskah-naskah kuno Cirebon. Namun beliau menolak karena melihat pengalaman sebelumnya, Malaysia telah mencuri dan mengklaim beberapa kebudayaan Indonesia. Kemudian untuk jangka panjangnya, beliau juga berharap masih ada putera-puteri bangsa yang bersedia untuk menggali dan mengkaji khasanah ilmu Cirebon agar tidak terpendam sia-sia atau bahkan dicuri oleh bangsa lain.
Padahal,  tawaran professor tersebut sangat menggiurkan. Malaysia berani menghargai satu naskah kuno dengan harga minimal Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah). Untuk orang awam mungkin itu jumlah yang sangat besar. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan nilai kebudayaan  dan keilmuan itu tidak ada apa-apanya.
Selain Malaysia, Pak Bambang juga sempat kedatangan salah satu Profesor of Music dari Australia. Beliau diajak untuk bekerja di Australia dengan gaji yang besar tentunya. Namun Pak Bambang lagi-lagi menolak ajakan tersebut karena sangat cinta dengan kebudayaan Cirebon. Dapat diprediksi, ajakan tersebut adalah bagian dari misi perampasan kebudayaan.
Di sela obrolannya dengan Profesor Australia tersebut, Pak Bambang menanyakan tujuannya datang ke Cirebon. Profesor tersebut menjawab dengan singkat, bahwa “Cirebon Is Gate of Secret” yang artinya Cirebon adalah Gerbang Rahasia.
Sebagaimana kita tahu bahwa penduduk asli Australia adalah Suku Aborigin dan bangsa yang berkulit putih adalah keturunan pendatang dari Eropa. Saat perpindahan Bangsa Eropa ke Australia, tentu mereka singgah di Nusantara dan tepatnya di Cirebon sebagai pelabuhan yang sangat ramai pada saat itu. Bangsa Eropa melihat bahwa Cirebon telah ramai jauh sebelum orang Eropa datang ke Australia. Mereka tahu bahwa Cirebon telah maju sebelum Australia menjadi Negara modern saat ini.
Cirebon sebagai Kota Wali yang bersejarah, tentu banyak menyimpan rahasia yang belum tergali. Siapa sangka, bahwa batik terindah di dunia adalah berasal dari Cirebon, namun sayang batik tersebut berada di Tokyo Jepang. Kemudian bendera Negara Cirebon (Caruban Nagari) yang asli berada di Roterdam Belanda dan kalau pun ada di Indonesia hanyalah tiruan. Selain itu, ada orang Selandia Baru yang mempunya 15 buah kaset yang berisi musik Gamelan Renteng asli Cirebon, namun sangat disayangkan sampai sekarang belum ada orang Cirebon yang mampu memainkan alat music tersebut.
Sudah saatnya sebagai bangsa yang berbudi luhur, kita mulai berbenah diri. Mari kita lihat, bahwa ada 1 bahasa ibu (bahasa daerah) hilang dalam setahun. Sudah sangat jarang putera dan puteri kita menyanyikan lagu-lagu daerah. Sudah banyak budaya, lagu, pakaian adat, dan alat musik yang diklaim oleh bangsa lain. Ini semua tidak terlepas dari globalisasi yang sebenarnya tidak diinginkan oleh bangsa manapun di dunia.
Sebagaimana yang disampaikan oleh professor dari Australia di atas, bahwa Cirebon adalah gerbangnya rahasia. Maka, ada banyak hal dari Cirebon yang berpengaruh kepada kebudayaan dunia dan belum terungkap. Sebagai bukti, Cina sebagai Negara besar dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, pernah menjalin hubungan kekeluargaan dengan Cirebon. Puteri salah satu dinastinya yaitu Puteri Ong Tien dinikahkan dengan Sunan Gunung Jati dengan tujuan agar hubungan dan kerjasama antara kedua Negara semakin erat.
Renaisance yang terjadi di Eropa ratusan tahun yang lampau, bisa menjadi inspirasi bagi kita. Indonesia bisa melahirkan kembali kejayaan yang pernah dialami pada masa lampau. Sebagaimana kita tahu bahwa Indonesia pernah menguasai Nusantara bahkan sampai ke Madagaskar pada masa kerajaan Majapahit, kemudian Indonesia menjadi inspirasi pembebasan hak asasi manusia di Afrika Selatan melalui Syekh Yusuf al Makassari.
Dalam hal keilmuan, Indonesia mempunyai banyak catatan kuno yang tersebar di beberapa daerah. Dalam naskah-naskah tersebut, banyak terpendam ilmu pengetahuan yang pernah menjadikan Indonesia pada zaman dahulu mencapai puncak kejayaan. Tulisan-tulisan Syekh Sunan Gunung Jati, Syekh Siti Jenar, dan beberapa tokoh di Nusantara ini masih banyak yang belum terungkap. Jika kita mau dan peduli dengan khasanah keilmuan yang ada dalam naskah kuno, maka sudah saatnya melaksanakan pengkajian dan pemeliharaan sisa-sisa catatan sejarah nenek moyang kita. Dengan ini maka kejayaan Nusantara masa lampau kita raih kembali sebagaimana Bangsa Eropa meraih kejayaannya.
Mari kita mulai sedikit demi sedikit membuka ilmu pengetahuan dari para pendahulu kita. Dengan niatan untuk menjaga kelestarian dan sekaligus membangkitkan kembali kejayaan Indonesia yang pernah kita miliki. Ini bisa kita awali dengan membuka kembali naskah-naskah kuno sebagai arsip sejarah dan budaya. Kita dapat mengambil informasi yang sangat penting dari sana melalui pengkajian secara serius. Sudah saatnya Renaisance Nusantara kita mulai. Jangan sampai didahului oleh Malaysia, dan Negara-negara serumpun lainnya. 

Kamis, 28 Juni 2012

AT TAJARRUD 2


oleh: Sugino Abdurrahman, S.Pd.I.
Ketua PD Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Kota Cirebon

Islam Adalah Solusi
Satu-satunya jalan keselamatan adalah Islam seperti yang dibawakan oleh Rasulullah Muhammad bin Abdillah saw. Itulah agama yang Allah perintahkan kita untuk mengikutinya, seperti dalam firman Allah yang artinya: ”dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. (QS. Al-An’am: 153).
Maka Islam adalah kumpulan perintah dan larang dari Allah kepada kita. Menyikapi perintah itu adalah dengan melaksanakannya dan menyikapi larangan adalah dengan menjauhinya. Itulah taqwa dan zuhud, seperti yang disampaikan oleh Imam Ibnu Taimiyah: ”Tidak ada zuhud kecuali dengan bertaqwa, dan bertaqwa adalah dengan mengikuti perintah dan larangan”.
Mengikuti Islam mengharuskan meninggalkan selainnya baik Yahudi, Nasrani, Majusi, Zionis, Sosialis, Kapitalis, Nasionalis, dan sebagainya yang termasuk dalam kategori bid’ah dan khurafat, yang dilandasi oleh fanatisme. Allah  berfirman dalam surat Ali-Imran: 19 dan 85 yang artinya: ”Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”. (QS. Ali Imran:19)
”Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran:85)
Dari Ibnu Mas’ud ra., berkata: ”Rasulullah menggambar garis dengan tangannya, kemudian ia bersabda: ini jalan Allah, kemudian menggambarkan beberapa garis di sisi kanan kiri garis itu dan bersabda: Ini banyak jalan, yang di setiap jalan itu terdapat syetan yang menyeru kepadanya, lalu membaca ayat: dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain). (HR. Ahmad).

Contoh dan Ibrah
Ada beberapa contoh yang telah diukir oleh generasi awal umat ini agar menjadi pelajaran berharga bagi generasi berikutnya, antara lain:
1.      Melawan Orang  Kafir dan Sesat
Abu Ubaidah bin Al Jarrah, amin hadzihil Ummah menebas kepala ayahnya sendiri di perang Badar dengan pedangnya, dan langsung jatuh di hadapannya. Sesungguhnya Abu Ubaidah tidak hendak membunuh ayahnya, ia hanya ingin membunuh kemusyrikan yang ada dalam diri ayahnya itu. Sehingga Allah SWT., menurunkan ayat tentang dirinya dan ayahnya, dan ayat itu terus dibaca sehingga Allah ambil kembali bumi ini dengan segala isinya terdapat dalam surat Al Mujadilah: 22 yang artinya: ”kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari pada-Nya. dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung”. (QS. Al Mujadilah:22).

2.      Meningalkan Kampung Halaman
Tidak ada contoh perjalanan meninggalkan kampung halaman untuk mendapatkan kebenaran seperti yang dialami oleh Salman Al Farisi, yang diklaim Rasulullah saw., Salman adalah ahlul baitku. Perjalanan yang menunjukkan pengorbanan, meninggalkan kemewahan, mengerahkan semua upaya dan semangat tinggi untuk mendapatkan kebenaran.
Dimulai dari hijrah meninggalkan negerinya di Asfahan Persia, mencari negeri yang masih berpegang teguh dengan ajaran Nasrani yang asli, yang tidak mengalami perubahan, sampai pada rahib terakhir, yang sebelum wafat, Salman bertanya kepadanya seperti yang ia tanyakan pada rahib sebelumnya: ”Sesungguhnya engkau mengetahui tentang apa yang saya alami, kepada siapakah engkau mewasiatkan saya untuk menemuinya? Dan apa yang harus saya lakukan?”
Rahib itu menjawab: ”Wahai anakku, Demi Allah, tidak ada lagi orang yang masih berpegang teguh dengan apa yang kita lakukan, tetapi sudah semakin dekat waktu kehadiran Nabi di Jazirah Arab, yang diutus dengan agama Ibrahim, ia berhijrah dari kampung halamannya menuju ke tempat yang banyak pohon kurma, di antara dua bukit batu, ia memiliki beberapa ciri yang tidak sulit dikenali; ia makan hadiah tetapi tidak makan sedekah, di antara kedua tulang punggunya terdapat stempel kenabian. Maka jika kamu mampu menuju ke tempat segera lakukanlah”.
Ketika rahib itu sudah wafat, Salman tinggal di Ammuriyah beberapa waktu, sampai bertemu dengan rombongan pedagang Arab, suku Kalb. Kata Salman: ”Saya katakan kepada mereka: Maukan kalian mengantarkan saya ke negeri Arab, saya akan berikan sapi-sapi betina dan kambingku ini”. Mereka jawab: ”Ya, kami antar kamu. Maka saya berikan semua itu kepadanya dan mereka membawaku. Sesampainya di lembah Qira (antara Madinah dan Syam) mereka menipuku dan menjual diriku sebagai seorang budak kepada seorang Yahudi, dan aku menjadi budaknya. Tak lama kemudian datang keponakan orang Yahudi itu dari Bani Quraidhah dan membeliku dari Yahudi tadi. Pembeli baru itu membawaku ke Yatsrib. Maka saya melihat pohon-pohon kurma yang pernah disampaikan oleh Rahib di Ammuriyah dahulu, saya kenali kota ini seperti yang diterangkannya dahulu. Saya berada di Madinah bersama Bani Quraidhah itu, dan Nabi Muhammad masih berdakwah di Makkah. Saya tidak mendengar tentang dakwah Nabi di Makkah karena kesibukanku sebagai seorang budak, untuk bekerja”.
Perjalanan Salman ini adalah pengorbanan besar, ia tinggalkan kemewahan Persia, berhijrah dan berkorban dengan sapi dan kambingnya, bertahan sebagai seorang budak untuk mendapatkan kebenaran, bertemu dengan Rasulullah saw. Peristiwa ini sungguh memberikan pelajaran berharga bagi siapapun yang mau mengambil ibrah. Firman Allah yang artinya : ”dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al Ankabut:69).


3.      Mengorbankan Harta Benda
Firman Allah dalam surat Al-Lail: 17-21 yang artinya: ”dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi. dan kelak Dia benar-benar mendapat kepuasan”. (QS. Al Lail: 17-21).
Ayat-ayat ini turun berkaitan dengan Abu Bakar ra., yang membelanjakan hartanya untuk menyelamatkan tujuh orang yang disiksa di jalan dakwah, untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi. Orang-orang asing di Makkah yang ketika beriman membuat mereka mendapatkan semakin banyak hukuman dan siksaan.
Orang-orang yang telah menjual dirinya kepada Allah dengan ikhlas memeluk agama-Nya, tajarrud hanya kepada Allah mereka beribadah, meninggalkan hawa nafsu dan para thaghut saat itu, agar dapat meraih surga.
Ayat-ayat di atas turun untuk memberikan penghargaan kepada Abu Bakar ra., yang telah melakukakan pekerjaan besar, membebaskan mereka dari perbudakan untuk menggapai ridha Allah. Tidak sekali itu saja Abu Bakar melakukannya. Ia mendermakan dengan apa saja yang ia miliki. Ketika ia menyumbang empat ribu dirham (satu nishab dua ratus dirham, red.) pada saat umat Islam kesulitan dana (Yaumul ’usrah) menjelang perang Tabuk; Rasulullah bertanya kepadanya: ”Adakah yang masih engkau sisakan untuk keluargamu?” Ia menjawab: ”Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya”.
Abu Bakar ra., telah meletakkan rambu-rambu jalan yang sangat jelas, yaitu:
a         Tajarrud, melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah
b        Tawakkal total kepada Allah, ketika ia menyatakan: ”Aku sisakan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya”
c         Pembuktian bahwa kepemilikan hakiki hanyalah Allah SWT., Abu Bakar hanyalah sebagai pengelola

4.      Mengorbankan Jiwa di Jalan Allah.
Syaddad bin Al Had berkata: ”Ada seorang Arab datang menemui Nabi Muhammad saw., lalu menyatakan iman dan mengikuti Nabi”. Ia berkata: ”Saya ikut hijrah bersamamu”. Lalu Rasulullah menyampaikan hal ini kepada sebagian sahabat. Ketika di perang Khaibar Rasulullah mendapatkan ghanimah dan membaginya termasuk untuk orang Arab ini. Diberikanlah ghanimah itu kepada para sahabat, dan orang Arab itu masih di belakang. Begitu datang diberikanlah bagian ghanimah itu kepadanya. Orang Arab itu bertanya: ”Apa ini?” Para sahabat menjawab: ”Bagian ghaniman, yang Rasulullah bagi untukmu”. Ia ambil ghanimah itu lalu mendatangai Rasulullah saw., dan bertanya: ”Apa ini Ya Rasulullah?” Jawab Nabi: ”Ini bagianmu”. Orang Arab berkata: ”Bukan untuk mendapatkan ini saya mengikutimu, akan tetapi saya mengikutimu agar saya terkena di sini (sambil menunjuk lehernya dengan panah) lalu aku mati dan masuk surga”. Sabda Nabi: ”Jika kamu benar, maka Allah akan membuktikanmu”. Kemudian ketika ada perang melawan musuh Islam, dan Rasulullah melihatnya terbunuh. Rasulullah bertanya: ”Betulkan ia?” Para sahabat menjawab: ”Ya”. Sabda Nabi: ”Ia membenarkan Allah lalu Allah membenarkannya”. Firman Allah yang artinya: ”dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. (QS.Al Baqarah:207).  Wallahu a’lam

Kamis, 21 Juni 2012

AT TAJARRUD

Buletin Gema At-Taqwa (Jumat, 22 Juni 2012)
oleh  : Sugino Abdurrahman, S.Pd.I.
Ketua PD Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) Kota Cirebon

Makna Tajarrud Menurut Syar’iy
Tajarrud menurut syar’iy berarti memfokuskan diri hanya karena Allah, meniadakan orientasi kepada siapapun dan apapun selain-Nya. Hendaknya gerak dan diam dalam sembunyi dan terang hanya dilakukan karena Allah, tidak ada intervensi nafsu, keinginan pribadi, tidak ada motivasi duniawi, kedudukan dan kekuasaan.
Hal ini tidak berarti melepaskan diri dari kehidupan dunia dan keperluannya, bahkan menjadikan dunia sebagai sarana memperoleh balasan di sisi Allah, sebagaimana hadits Rosululloh saw.,  yang artinya; ”Dan pada kemaluan salah seorang di antaramu terdapat sedekah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulallah, seseorang menyalurkan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala? Jawab Nabi: Bukankah jika ia menyalurkan di jalan haram mendapatkan dosa, maka demikianlah jika ia menyalurkan dengan halal maka ia mendapatkan pahala” (HR. Muslim). ”Sesungguhnya tidak satupun yang kamu infakkan karena mengharapkan Allah, pasti kamu akan mendapatkan pahala, termasuk yang kamu infakkan di mulut isterimu” (HR. Al Bukhari)
Dan Allah SWT., berfirman yang artinya: ”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya Kami berlepas diri dari pada kamu dari dari pada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah: 4)
Ayat ini dapat kita pahami muatannya dari beberapa tafsir. Ibrahim as., dan pengikutnya menyatakan lepas dari kaumnya, dan di dalam kaumnya itu terdapat ayahnya, saudara-saudaranya dan keluarganya. Mereka melepaskan hubungan dan menolak agama mereka yang batil, jalan hidup mereka yang sesat, mulai dari penyemabahan berhala, meyakini adanya sekutu bagi Allah, dan sebagainya.
Nabi Ibrahim dan kaumnya menyatakan permusuhan dan kebencian dengan mereka. Nabi Ibrahim dan kaumnya menyatakan dengan bahasa yang tegas dan jelas bahwa permusuhan ini bersifat permanen, sehingga mereka mau beriman kepada Allah saja. Sikap komunitas muslim ini adalah mufashalah (pemutusan) permanen antara mereka dengan kaum kafir dan musyrik. Sikap yang menunjukkan tajarrud mereka yang total kepada Allah SWT.
Demikianlah umat ini–Nabi Ibrahim dan pengikutnya dijadikan sebagai teladan kebaikan bagi orang beriman meskipun berbeda ruang dan waktu. Mereka dapat meneladani sikap mulia ini dalam menghadapi jahiliyah di manapun dan kapan pun mereka berada. Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (QS. Al Mumtahanah: 4)
Kemudian Allah SWT., menerangkan bahwa kelompok kecil orang beriman ketika meninggalkan kaumnya, berlepas diri dari mereka, segera mengahadapkan diri kepada Allah SWT., dengan berseru yang artinya: "Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali." (QS. Al Mumtahanah: 4)

Ikatan Iman Terkuat
Perlu diketahui dengan yakin bahwa meneladani Nabi Ibrahim dan para pengikutnya tidak hanya berlepas diri dari semua elemen yang bertentangan dengan akidah Islam saja, tetapi perlu meneladani keseluruhan sirah dan pengalaman yang mereka alami ketika merasakan hubungan kekerabatan dengan seluruh cabang dan akarnya. Dengan itu maka akan menjadi cabang atau ranting dari pohon besar yang berakar kuat bercabang lebat, teduh dan rindang, pohon yang ditanaman oleh kaum muslimin pertama – Nabi Ibrahim alaihissalam.
Dari sinilah kita temukan hakikat yang jelas dan gamblang yang dapat kita yakini, yaitu pernyataan permusuhan dan kebencian kepada siapapun yang lebih mengutamakan dunia dari pada akhirat, menolak menyembah Allah, atau mensekutukan Allah dengan apa pun; walaupun yang dimusuhi itu adalah orang yang paling dekat dengan kita seperti ayah, ibu, anak, saudara, keluarga, isteri. Tidak menyisakan ruang kosong bagi perasaan cinta dan belas kasihan kepada mereka selama mereka lebih memilih kufur daripada iman, lebih memilih duniawi dari pada akhirat.
Dapat kami katakan kami tidak akan menyisakan ruang kosong bagi perasaan belas kasihan di dalam hati kami, sehingga kami kehilangan teladan yang telah Allah SWT., perintahkan kepada kami untuk meneladaninya -Nabi Ibrahim as dan para pengikutnya. Allah berfirman yang artinya:
Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (QS. At-Taubah: 24). Rasulullah saw., bersabda: ”Sesungguhnya ikatan Iman yang paling adalah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah”.

Cinta dan Benci Karena Allah Bukti  Tajarrud
Ketika hakikat cinta dan benci karena Allah sudah bersemayam dalam jiwa maka hal ini menunjukkan tajarrud yang bersangkutan kepada Allah SWT. Tajarrud ini juga menunjukan keaslian agama pertama, ketika Allah mengutus rasul-Nya, menurunkan kitab suci-Nya. Itulah keikhlasan, seperti yang diterangkan oleh Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dalam    ungkapannya : ”Prinsip ikhlas ini adalah dasar agama, dan seberapa besar realisasinya maka itulah hakikat agama seseorang. Karenanya Allah mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, karenanya pula para rasul, berdakwah, berjihad, memerintahkan, dan memotovasi, itulah pusat agama yang semua berputar di atasnya”. Ia juga mengatakan: ”Hati itu jika tidak berpihak menghadap Allah, berpaling dari selain-Nya, maka ia menjadi orang yang mensekutukan (Allah)”. Allah berfirman dalam surat  Ar-Rum : 30-32 yang artinya: ”Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, ”dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”, ”Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.
Maka bersemangatlah pada dasar kebaikan dan pemuka semua urusan ini. Sadarilah bahwa kebahagiaan dan kenikmatan agama ini tersimpan dalam keikhlasan dan tajarrud hanya kepada Allah, mencintai-Nya dengan mengikuti rasul-Nya, takut hanya kepada-Nya dengan senantiasa tsabat (kokoh bertahan) di jalan agama-Nya, tidak sedikitpun keluar dari jalan itu, mengharapkan-Nya dengan senantiasa berlomba dalam kebaikan, meraih ridha-Nya dengan senantiasa berdzikir dan mensykuri-Nya, cinta dan benci hanya karena-Nya. Tidak ada makna lain dari kalimat tauhid ” La ilaaha illallah” selain yang kami jelaskan di atas.
Ibnu Qayyim berkata: ”Sesungguhnya setiap orang memiliki sisi untuk melawan perintah dan larangan. Maka menjadi keharusan untuk melepaskan diri dari sifat ini dan istiqamah di atas perintah dan larangan Allah sehingga menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah, bukan menjadi hamba bagi diri sendiri”.
Hasan Al Banna mengatakan: ”Tajarrud adalah dengan cara membebaskan pikiranmu dari selainnya, baik berupa mabadi (dasar-dasar pemikiran), dan figur. Karena (Islam) adalah fikrah tertinggi, dan terlengkap”. Kemudian ia sebutkan dalam surat Al Baqoroh :138 dan surat Al Mumtahanah : 4 yang artinya: ”Shibghah Allah dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah”. (QS. Al Baqarah:138). ”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia” (QS. AL Mumtahanah: 4).
Marilah kita hindari jahiliyah yang ada sekarang ini, kita lawan karena Allah. Agar kita dapat tajarrud  hanya kepada-Nya. Allah SWT., berfirman yang artinya: ”Karib Kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. AL Mumtahanah: 3).
Isolasi dan perlawanan terhadap jahiliyah ini dengan seluruh komponennya pada hakekatnya adalah nikmat dari sekian banyak nikmat Allah yang diberikan kepada kita. Allah SWT., berfirman yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim: 6).
Abdullah ibnu Abbas memaknai ayat 6 surah At Tahrim itu dengan mengatakan: ” Berbuatlah untuk mentaati Allah SWT., dan jauhilah perbuatan maksiat kepadanya. Serulah keluargamu untuk senantiasa mengingatnya, niscaya Allah akan selamatkan kamu dari neraka”. Ibnu Abbas juga mengatakan: Didiklah keluargamu, demikian juga kita ajak masyarakat di sekitar kita sehingga dakwah tersebar merata dan semakin banyak orang baik dan semakin banyak penegak keadilan, kemudian secara bersama-sama masyarakat ini dapat keluar dari himpitan dunia dan siksa akhirat menuju kebahagian dunia dan keselamatan akhirat”.
Allah SWT., berfirman surat Al Mumtahanah : 7-9 yang artinya: ”Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil”. ”Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. AL Mumtahanah: 7-9).
Ayat ini memberikan busyra (kabar gembira) kepada kaum mukminin, bahwa Allah SWT., akan menjadikan rasa cinta antara mereka dengan para musuhnya jika para musuh itu memenuhi seruan Allah, menolak thaghut. Dan Allah Maha Kuasa, Maha Pengampun dan Maha Penyayang. 

Kamis, 14 Juni 2012

4 MAKNA DARI 4.000 HADITS


Oleh: Ibnu Malik, S.Pd.I.
(Redaktur Gema At-Taqwa)

Rasulullah saw., jika bersabda akan menjadi tuntunan dan teladan bagi umatnya. Sabda yang ia sampaikan semuanya adalah benar, karena sifat Rasulullah adalah Shiddiq (Benar). Hisyam bin Amir pernah bertanya kepada Aisyah ra., tentang akhlak Rasulullah saw. Aisyah menjawab, "Akhlak Nabi saw., adalah Al quran." (HR Muslim). Maka, dalam kehidupan kita wajib mengikuti langkah-langkah dan ucapan yang berteladan kepada Rasulullah saw.
Ucapan atau sabda Nabi saw., biasa kita sebut dengan Hadits. Setiap langkah dan ucapan Rasulullah saw., (Hadits) saat ini terkumpul dalam kitab-kitab Hadits yang disusun oleh para ulama besar antara lain, Shohih Bukhori, Muslim, Musnad Imam Hanmbal, Turmudzi, dan Al Muwatho Malik. Ratusan ribu bahkan jutaan Hadits telah banyak dibukukan oleh para ulama. Kemudian untuk mempermudah dalam pembelajaran, Hadits tersebut diklasifikasi berdasarkan kriteria tertentu.
Salah satu yang menarik adalah kisah seorang hakim yang mencoba merangkum dari banyak Hadits menjadi 4 makna saja. Sebagaimana dinukil dalam Nashoihul Ibaad karya Imam Nawawi al Bantani bahwa Abdullah bin Mubarak berkata: “Ada seorang hakim yang sangat arif dan bijaksana telah mengumpulkan 40.000 hadits. Kemudian dipilihnya lagi hingga 4.000 Hadits. Lalu dipilihnya lagi hingga menjadi 400 Hadits. Lalu dipilihnya lagi hingga menjadi 40 Hadits. Dari 40 Hadits ini ia simpulkan hanya 4 kalimat, yaitu:
1.    Janganlah memberi kebebasan sepenuhnya terhadap isterimu dalam segala hal.
2.    Jangan tertipu oleh harta dalam segala hal.
3.    Jangan mengisi perutmu dengan makanan/minuman yang tidak mampu ditampung oleh perutmu.
4.    Jangan mengumpulkan ilmu apa pun yang tidak bisa memberi manfaat”.
Jangan memberi kebebasan sepenuhnya terhadap isteri dalam segala hal. Maksudnya adalah setiap suami sudah seyogyanya memiliki rasa cemburu agar jangan ada lelaki lain yang mengganggu miliknya. Suami adalah pemimpin dalam keluarga sehingga sudah sepantasnya menjadi penentu keputusan dalam keluarga. Namun memang, dalam pelaksanaannya perlu ada musyawarah sebagai landasan pengambilan keputusan, agar maslahat untuk keluarga.
Jangan tertipu oleh harta. Maksudnya adalah jangan sampai berkeyakinan bahwa dengan memiliki harta, Anda akan selamat dari bencana. Sehingga Anda melupakan semua urusan lain selain harta. Apa lagi sampai melupakan ibadah dan akhirat. Begitu juga Anda jangan tertipu oleh banyaknya harta.
Dalam kitab Nashoihul Ibaad, Imam Nawawi al Bantani juga menukilkan bahwasannya Rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan membuat baik semua urusannya, menjadikan kekayaannya ada di hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dengan mudah. Barang siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran ada di depan matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya, kecuali sebatas yang telah ditentukan”.
Pada kesempatan lain Rasulullah saw., bersabda: “Bekerjalah untuk duniamu seakan kau hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kau mati esok hari”. Didapat kesimpulan bahwa jika ingin mencapai kebahagiaan, kita harus seimbang dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun jika tidak bisa keduanya, paling tidak kita harus berorientasi pada kepentingan akhirat. Karena, dengan begitu dunia akan sendirinya datang kepada kita. Namun jika kita mengutamakan dunia atau harta saja, maka yang akan kita dapatkan adalah kesengsaraan bahkan kefakiran.  
Berkaitan dengan poin 3, Rasulullah saw., pernah bersabda: “Sumber segala penyakit ada kaitannya dengan perut yang kekenyangan”. (H.R. Daruquthni melalui Anas ibn Sinni dan Anu Naim melalui Ali ibn Said melalui Az Zuhri). Maksud Hadits ini adalah bahwa sumber segala macam penyakit itu berhubungan erat dengan ketidakmampuan lambung dalam mencerna makanan. Yakni dengan cara menjejalkan makanan ke mulut sehingga tidak sempat dikunyah. Begitu juga memasukkan minuman sesudah makanan atau memasukkan minuman diantara dua suapan makanan tanpa mengunyah suapan yang pertama terlebih dahulu.
Para ahli kesehatan telah banyak membuktikan penyakit yang bersumber dari perut. Sir Arbuthnot Lane, M.D dari London mengatakan: “Saya telah mengalami bahwa banyak kasus pembedahan dapat dihindari dengan cara mencuci usus, karena 90% dari penyakit manusia di masa kini disebabkan oleh usus yang kotor dan tidak berfungsi dengan normal.” Begitu juga Dr. Norman Walker, Dsc, Phd. USA: “Cuci usus akan menghilangkan sembelit, rasa lesu, penyakit lemah pencernaan, sakit sendi, sakit pinggang, perut kembung, kencing manis, dan lain-lain.” Sumber: (http://www.facebook.com/sehat.mandiri?v=app_4949752878)
Dari fakta ini membuktikan bahwa betapa pentingnya menjaga kesehatan perut, karena sumber penyakit bisa berasal dari perut seperti yang disabdakan Nabi saw. Bahkan Nabi saw., telah menyatakannya lebih dulu. Barulah para ahli dan peneliti membuktikannya.
Berkaitan dengan poin nomor 4, diriwayatkan bahwa pernah ada seorang lelaki berkata kepada Abu Hurairah ra.,: ”Aku ingin mempelajari ilmu, tetapi aku takut kalau aku menyia-nyiakannya”. Abu Hurairah ra., berkata: “Sudah cukup dikatakan menyia-nyiakan ilmu bila engkau sendiri tidak mau mempelajarinya”.
Imam Syafii berkata: “Barang siapa mempelajari Al quran, maka tinggilah nilai dirinya. Barang siapa mempelajari ilmu fiqih, menjadi mulialah kedudukannya. Barang siapa mempelajari aritmetika, maka cemerlanglah pikirannya. Barang siapa mempelajari bahasa Arab, maka haluslah perangainya. Dan barang siapa tidak bisa memelihara dirinya, maka ilmunya tidak akan bermanfaat”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa orang yang menyia-nyiakan ilmu bukan hanya yang memiliki ilmu kemudian tidak mengamalkannya, tetapi juga orang yang tidak mau mempelajari ilmu. Selain itu juga termasuk ke dalam orang yang menyia-nyiakan ilmu adalah yang tidak bisa memelihara dirinya dari segala perbuatan tercela atau dosa.
Wallahu Alam bishowaab...

Minggu, 10 Juni 2012

TAUHID BIJI SAGA



Telah banyak kajian tentang dunia Islam, dari mulai ilmu kalam, ushul fiqih, hadits, tasawuf, dan banyak lagi bidang-bidang kajian dalam Islam. Satu sama lain saling terikat dan ada beberapa yang wajib, sunnah, makruh, dan bahkan ada yang hanya beberapa orang saja yang boleh mempelajarinya.
Salah satu yang menarik dan sempat membuat dunia Islam terguncang adalah dunia tasawuf. Pada saat itu, banyak guru-guru mursyid dalam tasawuf seperti Ibnu Arabi, Abdul Qodir al jailani, Jalaludin Rumi, dan masih banyak nama-nama guru besar sufi lainnya. Di Indonesia ada yang namanya Syekh Siti Jenar dan beberapa sufi besar lainnya.
Baik dalam maupun luar negeri, ternyata ada beberapa dari para sufi tersebut yang dihukum oleh karena dianggap telah melakukan kesalahan dan menyebarkan paham yang sesat. Al hallaj, Ibnu Arabi, dan ada juga dari Indonesia yaitu Syekh Siti Jenar. Sufi-sufi tersebut dianggap telah menyebarkan paham yang dianggap sesat oleh sebagian kalangan.
Al hallaj misalnya yang terkenal dengan paham Wahdat Al Wujudnya. Kemudian Syekh Siti Jenar dengan paham Manunggal Ing Kaulo Gusti. Kedua paham ini sama-sama dipegang oleh keduanya dengan definisi bahwa manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Pada suatu ketika Al hallaj kedatangan tamu dan bertanya apakah di rumahnya ada orang yang bernama Al hallaj. Kemudian Al hallaj menjawab bahwa tidak ada orang yang bernama Al hallaj. Tetapi ada juga Tuhan. Ini berarti dia menganggap bahwa dirinya adalah Tuhan kalau kita lihat sepintas.
Kemudian Syekh Siti Jenar juga menyatakan hal yang sama. Dalam kitab yang pernah ditulisnya beliau menuliskan lafadz Laa Ilaaha Illa Anaa yang berarti Tiada Tuhan Selain Aku. Inilah salah satu hal yang menyebabkan Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh para wali karena disamping itu beliau juga mengajarkan pahamnya kepada murid-muridnya yang sebagian besar adalah orang-orang awam.
Jika secara sepintas kita simak, kedua sufi ini telah mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan. Namun sebenarnya dari kedua paham ini tidak ada yang salah. Hanya saja, tidak tepat dalam penggunaannya. Syekh Siti Jenar mengajarkan pahamnya kepada orang-orang awam yang baru mengenal Islam, sehingga murid-muridnya tidak lagi melaksanakan sholat. Begitu juga dengan Al hallaj yang mengajarkan pahamnya kepada orang yang belum mendalami betul dunia tasawuf secara sempurna. Akhirnya, pihak-pihak yang berwenang pada saat itu memutuskan untuk menghukum mati sufi-sufi tersebut karena membahayakan umat.
Alasan kuat para wali untuk menghukum mati Siti Jenar, secara umum adalah karena telah mengajarkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sebagai analogi, misalkan ada orang yang mengetahui (mohon maaf) isi yang ada di dalam rok perempuan. Kemudian dia mengatakan dan membuka pandangan anak kecil tersebut tentang hal yang ada di dalamnya. Apa yang ia katakan dan perlihatkan kepada anak kecil tersebut adalah benar karena memang begitu adanya. Namun yang menjadi masalah adalah yang melihat tersebut adalah anak kecil  dan belum pantas untuk melihatnya. Sama halnya dengan apa yang Syekh Siti Jenar ajarkan kepada murid-muridnya. Sebagai murid tentu masih awam terhadap Ilmu-Ilmu Islam. Akan tetapi, mereka diberi pelajaran yang di luar kemampuannya.
Kemudian lebih khusus kepada paham kesatuan diri dengan Tuhan. Ternyata bisa dijawab dengan filosofi bentuk biji dari buah tanaman saga. Biji dari tanaman ini berukuran menyerupai kedelai dan berwarna merah pada bagian satu dan hitam pada bagian sebelahnya.
Berdasarkan hasil dialog saya dengan Bapak drh. H. Bambang Irianto, salah seorang pewaris kebudayaan Cirebon dari Keraton  Kasepuhan, beliau mengatakan bahwa warna biji tersebut mengandung makna “Satu Tan Tunggal” yang artinya satu tetapi tidak menyatu. Ini dapat kita lihat dari biji saga tersebut. Bagian biji yang berwarna merah terlihat menyatu dengan bagian yang berwarna hitam. Tetapi walau menyatu, kedua bagian tersebut tetap tidak menjadi satu. Karena antara warna hitam dengan merah tetap masih ada sekat yang memisahkannya.
Inilah kesimpulannya bahwa baik itu paham Manunggal Ing Kaulo Gusti, maupun Wahdat Al Wujud, keduanya adalah paham yang pada dasarnya benar. Namun karena salah penempatan, sehingga menjadi sebuah kesalahan yang sangat besar dan menyebabkan para pencetusnya harus dihukum mati agar paham tersebut tidak sampai menyebar luas kepada orang-orang yang masih awam terhadap Agama Islam.
Wallaahu Alam bi Showaab…

Kamis, 07 Juni 2012


TANGGUNG JAWAB SEORANG MUSLIM
Oleh : Drs. H. Muchlis, SK, M.Pd.I
(Dosen UMC)
Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (Q.S. Al Ahzab : 72)
Semua “amaliyah (perbuatan) yang dilakukan oleh seorang muslim memiliki  konsekuensi untuk diminta pertanggung jawabannya (mas’uliyah), menyangkut perbuatan yang baik (hasana), maupun perbuatan yang buruk (sayiat).   Sejak di dunia ini, terlebih lagi kelak di akhirat seorang muslim  tidak akan luput untuk mempertanggung jawabakannya tentang segala apa yang dilakukannya di hadapan Allah SWT.
Al Qur’an mengisyaratkan sebagaimana firman-Nya dalam surat Al zallzalah: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan  barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”   ( Q. S. Al zalzalah : 7-8).
Berkenaan dengan ayat di atas , Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka (manusia) beramal dan akan dibalas amal mereka itu. Bila mereka beramal baik maka mereka  akan dibalas amal mereka itu, bila buruk mereka akan dibalas keburukannya itu. Muhammad Ali ash Shobuni menjelaskan pula bahwa amal perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk  meskipun sebesar debu dari tanah akan dibalas oleh Allah pada hari Kiamat.
Rasulullah bersabda : “Peliharalah dirimu dari sentuhan api neraka walaupun dengan separuh kurma, walaupun dengan kalimat thoyibah” (Hadits Riwayat Bukhari dari Adi).
Pada hadits lain Rasulullah mengingatkan, sebagaiamana sabdanhya : “Janganlah kalian meremehkan perbuatan baik apapun, walaupun berupa pencurahan air dari embermu ke dalam wadah orang yang meminta air kepadamu, atau engkau menemui saudaramu dengan wajah yang berseri” (Hadits Riwayat Bukhari).
Manusia (termasuk muslim), seperti yang disampaikan Atang Abd., Hakim dan Jaih Mubarok adalah makhluk yang menanggung amanah sebagaimana firman Allah dalam Surat  Al ahzab: 72 di atas, maka Al Insan (manusia) dalam pandangan Al quran memiliki korelasi dengan konsep tanggung jawab. Dalam hal ini Allah berfirman:  “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Q.S. Al Qiyamah ,75. :36).
Pada ayat lain Allah berfirman : “Dan Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” (Q.S. Qof, 50:16).
Secara garis besar tanggung jawab seorang muslim ada tiga. Pertama, tanggung jawab seseorang terhadap Tuhannya (masuliyatu shokhsi an robbihi). Bahwa seorang muslim dalam kapasitasnya sebagai ‘abid berkewajiban menghambakan diri kepada Ma’bud (Allah SWT.) semata, dengan ibadah yang sebenar-benarnya, memurnikan tauhid (purifikasi) dengan sebuah keyakinan yang utuh dan kokoh bahwa tiada Tuhan (ilah) selain Allah SWT.  Keyakinan itu mengkristal dalam jiwa bahwa Allah SWT., disifati dengan sifat kesempurnaan dan bersih dari sifat kekurangan (maushufun bijami’i shifatil kamal waunajahun an jamiish shifatin nuqshon). Allah berfirman : 
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (Q.S. Al muminun, 23:91).
Pada ayat lain Allah berfirman : “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.  Allah adalah Tuhan yang bergantung  kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” ( Q.S. Al ikhlas, 112: 1-4).
Kor (inti) ajaran Islam terletak pada tauhid, sekaligus juga merupakan kekuatan bagi setiap muslim. Seorang oreintalis, H.R. Gibbs  mengatakan : “The strength of Islam lies on the faith to Allah”. Kekuatan Islam terletak pada iman kepada Allah. Ketika keyakinan kepada-Nya telah meraga sukma, menyatu dalam jiwa maka akan berbanding sejajar dengan kesadaran melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Kedua, tanggung jawab seorang muslim kepada dirinya sendiri (masuliayatushohsyi an nafsihi). Seorang muslim bertanggung jawab kepada dirinya sekaligus sebagai khalifatullah fil ardhi yang mengandung makna bahwa seorang muslim juga secara linear memiliki kewajiban sosial yang sejatinya mempunyai tanggung jawab besar dalam kehidupannya di dunia yang  merupakan jalan untuk menuju kehidupan akhirat. Oleh karena itu manusia yang diberi amanah oleh Allah harus mampu menjalankan amanahnya dengan sebaik mungkin, dengan mengoptimalkan potensi yang Allah  berikan kepadanya untuk mengatur, mengelola dan melesatrikan bumi. Ruang lingkap tanggung jawab pribadi seorang muslim meliputi aspek :
1.      Tanggung jawab terhadap harta
Tanggung jawab yang diemban seorang muslim dalam harta yang telah Allah Swt berikan kepadanya, merupakan amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syari’at. Seorang muslim seyogyanya memiliki kesadaran bahwa harta yang diterimanya ini hanyalah titipan dari Allah Swt, yang mesti dipergunakan dan disalurkan untuk kepentingan umat manusia. Dalam hal ini Allah SWT., menjelaskan melalui friman-Nya, surat Al hasyr ayat 7: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Makka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.
2.      Tanggung jawab terhadap keluarga.
Yaitu tanggung jawab seorang Muslim dalam posisi sebagai orang tua. Tanggung jawabnya adalah menjaga keluarganya agar selamat dalam kehidupan baik dunia maupun akhirat. Allah SWT., menjelaskan melalui firman-Nya, surat Al tahrim, ayat 6 : Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ...   Wilayah tanggung jawab seperti yang dikemukakan Ibnu Katsir bahwa menyelamatkan keluarga dari api neraka yang dimaksud   yaitu istri, anak, saudara, kerabat, sahaya wanita dan sahaya laki-laki.  Mendidik mereka agar melaksanakan perintah Allah dan membantu dalam merealisasikannya serta mencegah berbuat maksiat. Muhammad Ali Ash Shobuni memberi komentar pada ayat tersebut yaitu menyelamatkan keluarga yakni istri dan anak-anak, dengan memerintahkan mereka berbuat baik dan melarang berbuat buruk, mengajari dan mendidik mereka agar selamat dari api neraka. Mujahid menambahkan: “Bertakwalah, nasihatilah keluargamu agar bertakwa kepada Allah”. 
Sebagaimana disampaikan para ahli tafsir ayat tersebut mengandung makna tersirat bahwa untuk menyelamatkan keluarga dari api neraka, maka betapa pentingnya peran pendidikan. Dalam proses pendidikan, orang tua memiliki peran utama dalam melakukan talim, tadib dan tarbiyah, karena orang tualah yang merupakan lingkungan pertama. Menurut hasil penelitian ilmu pengetahuan modern menyatakan bahwa yang dominan membentuk jiwa manusia adalah lingkungan. Dan lingkungan pertama yang dialami sang anak adalah ibu dan ayah.  Sedangkan lingkungan pendidikan terkecil adalah keluarga, dengan demikian yang berkewajiban melakukan pendidikan terhadap seorang anak adalah orang tua.
Oleh karena itu  orang pertama yang bertanggung jawab terhadap keluarga adalah orang tua (ayah dan ibu). Dari kedua orang inilah pendidikan harus dimulai. Keberhasilan pendidikan tingkat awal ini akan membawa kepada keberhasilan pendidikan keluarga dan masyarakat. Baqir Sharif al Qarashi, keluarga  penampakan sejati dari ketenangan anak karena alasan ini,  ketenangan serta kematangan personal anak-anak secara penuh bergantung pada beragam hubungan kualitatif dan kuantitif keluarga. Para analisis menemukan bahwa nilai-nilai agama dan moral anak terbangun disekeliling keluarga-keluarga.
Ketiga, tanggung jawab seseorang kepada negerinya (mas’uliyatush shohsi fi baldrihi). Cinta sekaligus membela tanah dari rongrongan dan penjajahan negeri luar, merupakan sikap, watak yang telah dicontohkan oleh para pejuang dahulu. Sederet nama para pahlawan yang telah gugur dalam mengusir penjajah telah terukir dalam lembaran sejarah bangsa, yang tak lapuk ditimpa hujan, tak lekang ditimpa panas. Meskipun mereka tidak semua berjuang membawa nama agama, hanya semata-mata untuk tegaknya kedaulatan Indonesia, namun nilai-nilai juang yang mereka gelorakan,  telah menjadi pemacu dan pemicu tumbuh suburnya semangat jihad dalam bingkai amar maruf nahi munkar.  Saat ini kontribusi cinta dan membela tanah air dapat direpresentasikan dalam bentuk kompetensi anak bangsa, baik dalam bentuk mencintai produksi dalam negeri, bangga dengan budaya bangsa yang beraneka ragam yang selaras dan seimbang dengan karakter bangsa yang berketuhanan   maupun kompetensi lainnya yang bermanfaat bangsi kepentingan  segenap anak bangsa. Maka pada gilirannyalah generasi bangsa berada pada garda terdepan dalam mengawal proklamasi 17 Agustus 1945 serta bersama-sama berupaya agar terwujud “baldatun toyibatun wa  robbun ghofur