Kamis, 04 April 2013

PLURALISME DALAM ISLAM

( Part.2 )
Oleh : Buya Yahya
Penasehat At-Taqwa Centre/
 Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah Cirebon

Sebagai seorang yang beragama Islam kamipun akan mencoba menampilkan wajah agama yang kami peluk sebagai gambaran umum sekaligus asasi tentang Islam dan pluralism seperti yang kami ungkapkan di awal tulisan ini bahwa sebenarnya kita tidak butuh dengan kalimat pluralism, karena kalimat tersebut telah diperkosa dan di aniaya sekelompok orang demi kepentinganya.
Ada hal penting dalam pluralisme yaitu masalah toleransi dengan semua yang berbeda. Konon toleransi adalah ruh pluralisme . Agar di ketauhi jika kita berbuat baik kepada tetangga atau orang yang berbeda agama dengan kita.  Perkenan Islam kepada non-muslim  untuk tinggal di dalam masyarakat Islam (negara Islam) berikut kebebasanya dalam beraktifitas  juga kebebasan dalam beribadah itu semua bukanlah sebuah toleransi. Akan tetapi hal itu merupakan ketetapan hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Suatu kesalahan jika ketetapan hukum dianggap sebagai toleransi. Sebab toleransi tidak lebih dari menjatuhkan hak atau merelakan haknya untuk tidak dipenuhi dan itupun ada batasan-batasan yang harus dipatuhi. Yang  ada dalam Islam lebih agung dari toleransi yaitu  kewajiban memenuhi hak orang lain.
Untuk lebih jelasnya kita bisa merujuk pada Nabi Islam, sosok pencipta dan pencetus keindahan dalam kebersamaam yang paripurna. Para pengikutnya pun seharusnya meniti jejak beliau. Mewujudkan keindahan dalam kebersamaan  dalam Islam tidak diperlukan berbagai macam toleransi, sebab makna kebersamaan  sendiri telah ditetapkan Islam dalam hukum-hukum yang jelas. Hanya dengan kembali kepada agamanya seorang muslim  akan menjadi seorang yang indah dalam kebersamaan.
Di saat Nabi Muhammad SAW memasuki Madinah, beliau menjamin masyarakat Yahudi dengan kebebasan beraktifitas dan menikmati haknya serta memberikan perlindungan keamanan dari penghianatan dan gangguan dari luar (Ibnu Hisyam 106/2). Padahal jika seandainya Nabi SAW menghardik atau memusnahkan mereka, beliau tidak akan dicela. Sebab Nabi SAW pernah dikhianati oleh Yahudi Bani Quraidhoh pasca perang Badar Kubra begitu juga Yahudi Bani Nadzir pasca perang Uhud. Penghianatan yang lain datang dari Yahudi Bani Quraidhah pasca perang Khondak. Pun demikian Nabi SAW yang diutus untuk membawa dan memberikan kasih sayang itu, senantiasa lemah lembut terhadap mereka dengan harapan keharmonisan bisa tercipta, biarpun orang-orang Yahudi tidak menghendakinya.
Begitu pula pada masa Kholifah Abu Bakar r.a, penerus dakwah Nabi SAW. Amat banyak cerita yang menunjukan bahwa beliau itu amat indah menghadapi perbedaan sebagaimana pendahulunya. Diantaranya adalah sepuluh wasiat beliau yang diberikan kepada Usamah bin Zaid yang berisi larangan menghianati lawan (dalam perang), membunuh anak kecil, orang tua, wanita, mencincang, merusak tanaman,membunuh binatang kecuali untuk dimakan,menghancurkan tempat peribadatan dst. Wasiat semacam ini disampaikan di saat ada perlawanan dari orang non Islam. Dalam Islam tidak ada istilah memusnahkan orang di luar Islam  akan tetapi yang ada adalah menyampaikan kebenaran kepada mereka dengan  penuh damai. Status keberadaan non muslim dalam  masyarakat Islam juga  beliau  kukuhkan sebagaimana  pendahulunya Nabi Muhammad SAW.
Kholifah Umar r.a pun demikian, seiring  dengan  berbondong-bondongnya  orang  masuk  Islam, wilayah  Islampun  dengan  sendirinya meluas. Persilangan budaya, tradisi dan  agama beliau selesaikan dengan cukup kembali kepada hukum yang ditetapkan pendahulunya Nabi Muhammad SAW. Bahkan di saat terjadinya  peperangan sekalipun beliau tidak lupa mengingatkan pasukannya seperti  yang  disampaikan  kepada Sa’ad bin Abi Waqqas agar menjauhkan pasukannya dari pemukiman non muslim. Ini dengan tujuan agar  tidak  memasuki pemukiman mereka kecuali orang yang benar-benar bisa dipercaya, sehingga tidak berbuat aniaya terhadap hak milik mereka. Sebab mereka punya   hak dan kehormatan yang harus dilindungi. Yang mereka lakukan bukanlah untuk sebuah toleransi, tetapi  karena  itulah ketetapan  hukum Islam. Dan masih banyak lagi suri-tauladan pluralisme pada masa Nabi SAW dan sahabat. Begitu juga sejarah perluasan Islam, termasuk masuknya Islam ke negara kita yang penuh kedamaian, bukan melalui peperangan atau penindasan.
 Pluralisme punya satu hakikat yang sungguh diseru oleh Islam. Siapapun harus bisa membedakan antara pemeluk Islam dan Islam itu sendiri. Gagalnya pluralisme dalam masyarakat Islam di sebabkan oleh kurang dekatnya mereka kepada ajaran agamanya.

Musuh-Musuh Pluralisme
Jika kita mengamati sekitar kita, terdapat dua kelompok yang amat berbahaya terhadap eksistensi pluralisme. Bahkan  keberadaan mereka tanpa disadari telah menghancurkan bangunan pluralisme yang semakin hari semakin rapuh. Mereka adalah :
1.    Orang-orang yang eksklusif dalam pemikiran keberagamaan, terkesan sekali dalam sepak terjang mereka menganggap dunia ini hanya mereka saja yang layak menghuninya. Sementara pemeluk lain tidak lebih sebagai makhluk jahat yang tidak boleh diberi kesempatan untuk hidup di bumi ini.
Ekstrimisme inipun hadir bukan tanpa sebab, tetapi ia adalah sesuatu yang terlahir dari salah satu dari dua hal berikut ini :
a)      Keberadaan agama itu sendiri yang eksklusif, sarat dengan doktrin-doktrin memusnahkan siapapun yang tidak sepaham dengan agama tersebut. Hakikat ini ada dalam doktrin agama selain Islam. Kita bisa lihat bagaimana kelompok Kristen di  beberapa kota dan daerah  di Sulawesi dan Irian disaat populasi mereka semakin banyak akan terasa diskriminasi bahkan upaya memusnahkan kaum muslimin dari tengah tengah mereka.Yang sungguh sangat berbeda jika kaum minoritas kristen berada di tengah-tengah  mayoritas kaum muslimin.
b)      Kebodohan sang pemeluk agama (padahal agamanya  sangat inklusif). Beragam aktifitas yang diatas namakan agama yang sering dikomandokan oleh    tokoh pemikir agama yang sempit dan bukan agamanya yang sempit (tidak kami pungkiri hal ini juga ada dalam Islam).  Hal semacam inilah yang hanya akan menciptakan masyarakat eksklusif, sempit pandangan dan acuh tak acuh  dalam aktifitas ditengah masyarakat yang plural. Orang  seperti  ini  telah  mengotori  agamanya  sendiri tanpa ia sadari.
2.    Orang yang tidak teguh dalam beragama dalam arti tidak teguh dalam meyakini agamanya (kelompok ini datang khusus dari agama yang tidak menyeru pada eksklusifisme).
Bahaya yang datang dari kelompok  yang terakhir ini lebih besar dari yang sebelumnya. Sebab sebelum segala sesuatunya kelompok ini telah menghianati agama itu sendiri dan kemudian membohongi pemeluk-pemeluknya. Kelompok ini sering hadir dalam bentuk penyamaan terhadap semua agama dan membenarkan semua agama. Jelasnya begini,sebagai contoh kami  adalah pemeluk agama Islam, lalu kami menyeru kepada umat Islam bahwa agama Kristen itu juga sama seperti agama Islam. Kitab suci orang Kristen juga masih asli seperti Al-Qur’an. Kemudian masyarakat yang percaya kepada kami akan menerima omongan kami mentah-mentah dan meyakininya. Namun setelah mereka benar-benar berinteraksi dengan agama Kristen ternyata antara dua agama itu terdapat perbedaan dan pertentangan. Di saat ia mencoba mengerti tentang agama Kristen ternyata agama itu telah mengklaim kebenaran agamanya, begitu juga saat ia kembali pada agama Islam, masyarakat Islam pun demikian meyakini kebenaran agamanya.
Apa yang terjadi setelah itu? Orang yang amat mendengar seruan saya tersebut berangkat dari semangat pluralismenya yang tulus akan dengan serta merta menyalahkan orang-orang yang mengklaim kebenaran agama masing-masing. Baik itu dari masyarakat yang seagama dengannya ataupun yang berbeda.
Kesimpulannya, ia telah menciptakan dua musuh dalam waktu yang bersamaan. Musuh dari luar dan musuh dari dalam sendiri. Maka orang tersebut akan menjadi sumber kerusakan dalam rumah sendiri, juga di luar rumah. Sementara yang harus kita yakini sebagai umat beragama adalah perbedaan memang selalu ada dalam hidup bermasyarakat. Ini merupakan kesepakatan semua  orang yang berakal, termasuk di dalamnya perbedaan di dalam beragama dan berkeyakinan. Pluralisme berfungsi dalam arena interaksi dengan sesama untuk menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Berangkat dari memahami perbedaan sesorang akan mudah dalam mewujudkan masyarakat yang pluralis.
Perhatikan, betapa anehnya orang yang mengatakan dua berbeda itu sama; dua kitab  suci yang jelas berbeda bahkan kadang bertentangan adalah  sama; dua  agama  yang  saling bertentangan adalah  sama-sama benar. Akal sehat mana yang bisa  mempercayai pernyataan seperti itu? Ia adalah musuh besar pluralisme yang mendakwakan dirinya sebagai pembela pluralisme. Ia adalah maling pluralisme yang menuduh orang lain sebagai maling. Inilah penyakit yang diidap oleh kaum yang mengaku muslim  akan tetapi mereka tidak menyadari.

Bersama Menuju Pluralisme yang sejati
Ada banyak hal yang amat menghambat kita dalam mewujudkan semangat pluralisme di Indonesia diantaranya :
1.      Problem nasional yang tidak kunjung padam, serta tidak adanya jaminan keamanan bagi masyarakat dari penguasa, berikut lambatnya penguasa menangani konflik. Hal yang akan menjadikan semua serba panas, bikin sesak dada, rasa ingin berontak, saling menyalahkan yang tidak hanya mempertinggi volume ketegangan antar agama tapi juga antar suku yang kadang juga masih seagama. Solusi problem yang satu ini lebih tepat jika diserahkan kepada pemerintah dengan  syarat “sungguh-sungguh”.

2.    Problem  seagama  misalnya dalam Islam masih sering terjadi permusuhan antar kelompok. Berbeda pendapat adalah wajar, tetapi mengklaim kekafiran atau bid`ah terhadap kelompok tertentu tanpa prosedur yang sah dalam Islam amat mengganggu jalannya pluralisme.
Belum lagi adanya isu-isu aneh tentang pemikiran (yang seolah-olah Islami) yang sering diangkat ke permukaan, yang hanya akan menambah suasana yang sudah panas ini bertambah panas.Yaitu islam yang di suarakan oleh kelompok islam liberal yang sungguh mereka adalah perusak keharmonisan dalam masyarakat . Untuk problem ini solusinya adalah mengembalikan permasalahannya kepada pakar Islam. Pakar yang benar-benar pakar, tercatat pernah mempelajari Islam dengan benar dengan bimbingan guru yang benar, punya mata rantai keilmuan dengan guru pluralis Nabi Muhammad SAW.

3.    Problem moral seperti banyaknya kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat  kita, mulai  dari pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, korupsi, dll adalah potret nyata jauhnya masyarakat kita dari tata moral agama. Pelakunya pun merata di seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari rakyat kecil, pejabat, orang awam, bahkan tokoh agama. Hal semacam ini yang menimbulkan keraguan terhadap fungsi agama  sebagai  cara dan  jalan  hidup. Padahal jelas kesalahan bukan di agama  tapi  pada  pemeluk  agama. Orang  yang semacam ini amatlah sulit untuk diajak mengerti tentang pluralisme, apa lagi untuk  menerapkanya. Padahal  pluralisme  adalah  puncak  moralitas.

Untuk  problem  yang  satu  ini  adalah  Pekerjaan Rumah (PR) bagi  semuanya, mulai  dari  penguasa, tokoh  agama, lembaga-lembaga  sosial dan keagamaan dan  setiap  individu, untuk  sama-sama  menyadari pentingnya  bermoral dalam  beragama dan  bermasyarakat. Karena  moral  sifatnya “kesadaran penuh” saat  disaksikan  orang  atau  tidak. Maka  pembinaannyapun  tidak  cukup dengan penegakan  hukum  oleh  penguasa, tapi  lebih  dari  itu, harus tercipta  kesadaran dalam  beragama. Artinya keyakinan akan  adanya  hari  pembalasan, keyakinan bahwa  yang  lolos  dari  hukuman  di dunia  tidak  akan  lolos dari hukuman  Tuhan di hari  pembalasan. Dan  kebaikan  yang  kita  lakukan  sekarang  akan  kitak  petik  buahnya  kelak.
Dengan demikian  pintu  akan terbuka lebar untuk  mewujudkan  pluralisme atau  bahkan  dengan  sendirinya  pluralisme  akan  terwujud. Karena  pluralisme tidak  lain  adalah  tata  moral  dalam bermasyarakat, baik itu sesuku, seagama, antar agama dan antar bangsa dengan menjauhkan  problem  sosial, agama dan  moral dalam individu  dan  masyarakat. dengan penuh pengharapan kepada Allah semoga pluralisme tidak hanya di layar atau di selebaran terbaca dan meja diskusi. Tetapi akan benar-benar tertanam dalam hati bangsa Indonesia lalu  diterjemahkan  kedalam dunia  interaksi hingga negeri ini akan  tentram  damai  penuh  rahmat  dan pengampunan dari Allah SWT.

Sebagai penutup, karena begitu dekatnya istilah pluralisme dengan lidah kelompok islam  liberal maka alangkah bijaknya jika kita setelah ini tidak usah menggunakan istilah tersebut dalam bahasa sosial kita agar tidak menjerumuskan orang yang tulus pada kelompok tersebut. Wallahu a’lam bishshowaab.