Drs. H. Muchlis, M.Pd.I.
Dosen STAI Bunga Bangsa Cirebon
Kata “takwa” sudah sangat akrab
bagi setiap pribadi muslim. Bahkan kata tersebut telah mewarnai rangkaian
kalimat dalam sebuah pernyataan politik, sosial
dan budaya. Namun kata takwa tidak hanya berupa retorika, ataupun
ungkapan yang melayang-layang melainkan harus menukik dalam relung hati yang
paling dalam yang kemudian menjelma dan bisa kita raih dan dapat dibuktikan
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu menjadi penting bagi kita memahami
hakikat taqwa yang sesungguhnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Syekh Thaha
Abdullah al Afifi mengutip ungkapan sahabat Nabi Muhammad SAW Ali bin Abi Thalib ra tentang hakikat takwa, yaitu:
“Al Khaufu minal jalil
wal amalu bittanzil wal i’dadu liyaumir rohil warridho bil qolil “
Artinya
: Takut kepada Allah yang Maha Mulia,
mengamalkan apa yang termuat dala at tanzil (Al-Qur’an), mempersiapkan diri
untuk hari meninggalkan dunia dan ridha (puas) dengan hidup seadanya (sedikit).
Dari
ungkapan sahabat Ali di atas, ada empat hakikat taqwa yang harus dapat kita raih yang menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari:
Pertama, “Al Khaufu minal jalil” yaitu takut kepada Allah.
Salah
satu sikap yang harus kita miliki adalah al khauf (takut) kepada Allah SWT. Yang dimaksud adalah takut kepada murka, siksa dan azab-Nya
sehingga hal-hal yang bisa mendatangkan murka, siksa dan azab Allah SWT sekecil
apapun harus kita jauhi. Thoriqohnya (metodenya) yaitu dengan semakin
dekat kepada Allah. Inilah yang disebut dengan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).
Karena
itu, totalitas perilaku seorang muslim yang takut kepada Allah SWT idealnya
tidak akan melakukan penyimpangan dari segala ketentuan-Nya. Ucapannya,
perbuatannya dan tindakannya senantiasa berada pada wilayah dan berusaha
semaksimal mungkin agar tetap pada bingkai ridha Allah. Bilapun ia melakukan
sebuah kesalahan maka tidak menunggu-nunggu lagi untuk untuk meminta maaf jika
itu menyangkut hak adami.
Sebagai
contoh, pada masa Rasul ada seorang wanita yang berzina dan ia amat
menyesalinya, dari perzinahan itu ia hamil dan sesudah taubat iapun datang
kepada Rasul untuk minta dihukum, namun Rasul tidak menghukumnya saat itu,
karena kehamilannya yang harus dipelihara. Sesudah melahirkan dan menyusui
anaknya, maka wanita itu dihukum sebagaimana hukuman untuk pezina yang
menyebabkan kematiaannya, saat Rasul
menshalatkan jenazahnya, Umar bin Khattab mempersoalkannya karena ia
wanita pezina, Rasulullah kemudian menyatakan: “Ia telah bertaubat, suatu taubat yang seandainya dibagi pada tujuh
puluh orang penduduk Madinah, niscaya masih cukup. Apakah ada orang yang lebih
utama dari seorang yang telah menyerahkan dirinya kepada hukum Allah?” (HR.
Muslim).
Jika
melakukan perbuatan dosa, maka ia tidak menunda-nunda untuk beristigfar kepada
Allah. Sebagaimana firman Allah : “Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa” (Qs
Ali Imran [3] :133).
Kedua.
Wal amalu bit tanzil, yaitu beramal
berdasarkan wahyu. Al Qur’an diturunkan oleh Allah SWT untuk
menjadi petunjuk bagi manusia agar bisa bertaqwa kepada-Nya. Karena itu, orang
muslim yang mengamalkan nilai hakikat takwa
akan selalu beramal atau beraktifitas dalam seluruh aspek kehidupannya selalu berkiblat kepada wahyu yang diturunkan
oleh Allah SWT, termasuk hadits atau sunnah Rasulullah SAW karena ucapan dan
perilaku Nabi memang didasari oleh
wahyu. Dengan kata lain, seseorang dikatakan bertaqwa bila melaksanakan perintah
Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Dalam konteks inilah, menjadi amat penting bagi kita untuk selalu
megkaji al-Qur’an dan al-hadits, sebab alangkah naifnya apabila kita memahaminya saja tidak dan bagaimana pula kita
bisa memahami bila membaca dan mengkajinyapun tidak.
Kita
boleh mengambil i’tibar pada kehidupan
para sahabat, mereka selalu berusaha untuk beramal berdasarkan wahyu. Karenanya
mereka berusaha mengakajinya kepada Nabi dan para sahabat, bahkan tidak sedikit
dari mereka yang suka bertanya. Meskipun mereka suka melakukan sesuatu, tapi
bila ternyata wahyu tidak membenarkan mereka melakukannya, maka merekapun
berusaha untuk meninggalkannya.
Suatu
ketika ada beberapa orang sahabat yang dahulunya beragama Yahudi, mereka ingin
sekali bisa melaksanakan lagi ibadah pada hari sabtu dan menjalankan kitab Taurat,
tapi turun firman Allah SWT yang membuat mereka tidak jadi melakukannya, yaitu
adalah : Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu (QS Al
Baqarah [2]: 208).
Berkaitan dengan ayat di atas, pada firman “Kaaffatan”, seperti yang disampaikan Imam Al Marogi yaitu
menuruti hukum-hukum Allah secara keseluruhan dilandasi dengan berserah diri,
tunduk dan ikhlas kepada Allah. Syaikh Muhammad Ash Shobuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir mempertegas kalimat “Kaaffatan”, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, melaksanakan semua hukum-hukum dan syariat-syariatnya dan janganlah kamu
mengambil sebagian hukum dan meninggalkan sebagian hukum lainnya. Ibnu Abbas
dan sekelompok tabiin menjelaskan firman Allah “masuklah ke dalam Islam
secara keseluruhannya”, maksudnya ialah masuklah ke dalam Islam dan
taatilah segala perintah-Nya secara optimal.
Ketiga : Wal i’dadu li
yaumir rohil yaitu
mempersiapkan diri untuk akhirat. kematian merupakan
sesuatu yang pasti terjadi pada setiap orang. keyakinan kita menunjukkan bahwa
mati bukanlah akhir dari segalanya, tapi mati justru awal dari kahidupan baru,
yakni kehidupan akhirat, yang enak dan tidaknya sangat tergantung pada keimanan
dan amal shaleh seseorang dalam kehidupan di dunia ini. Karena itu, orang yang
bertaqwa akan selalu mempersiapkan dirinya dalam kehidupan di dunia ini untuk
kebahagiaan kehidupan di akhirat. Berkenaan dengan ini Rasulullah bersabda : “Jadilah kamu di
dunia ini seperti orang asing atau penyeberang jalan”. Ibnu Umar berkata, “Jika
kamu di sore, jangan menunggu pagi hari, dan jika kamu di pagi hari, jangan menunggu
sore hari. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum kamu sakit, dan waktu hidupmu
sebelum kamu mati “ (Riwayat Bukhari).
Bila
kita sudah menyadari kepastian adanya kematian, maka kita tidak akan mensia-siakan
kehidupan di dunia yang tidak lama. Kita akan berusaha mengefektifkan
perjalanan hidup di dunia ini untuk melakukan sesuatu yang bisa memberikan
nilai positif, sebagai apapun kita. Waktu dan kesempatan tidak dibiarkan belalu
apalagi bila perbuatan kita dibalut maksiat. Melainkan kehidupan kita bermakna
bagi kita, dan dihindarkan sekecil apaun perbuatan salah dan dosa. Allah SWT
berfirman : “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya” (Qs Al Kahfi [18]:110).
Manakala
seseorang sudah melakukan segala sesuatu sebagai bentuk persiapan untuk
kehidupan sesudah kematian, maka orang seperti inilah yang disebut dengan orang
yang cerdas, meskipun ia bukan sarjana. Karena itu, Rasulullah SAW bersabda :
“Orang yang cerdas adalah orang
yang menundukkan nafsunya dan beamal bagi kehidupan sesudah mati ) HR. Ahmad,
Tirmidzi dan Hakim).
Keempat : “Warridha bil qolil”. Yaitu ridha meskipun sedikit. Setiap kia
pasti ingin mendapat sesuatu khusunya harta dalam jumlah yang banyak sehingga
bisa msencukupi diri dan keluarga serta bisa berbagi kepada orang lain. Namun
keinginan tidak selalu sejalan dengan kenyataan, ada saat dimana kita
mendapatkan banyak, tapi pada saat lain kita mendapatkan sedikit, bahkan sangat
sedikit dan tidak cukup. Orang yang bertaqwa selalu ridha dan menerima apa yang
diperolehnya meskipun jumlahnya sedikit, inilah yang disebut dengan qana’ah,
sedangkan kekurangan dari apa yang diharapkan bisa dicari lagi dengan penuh
kesungguhan dan cara yang halal. Korupsi yang menjadi penyakit bangsa kita
hingga sekarang adalah karena tidak ada sikap ridha menerima yang menjadi
haknya, akibatnya ia masih saja mengambil hak orang lain dan administrasi serta
penguatan hukum atas penyimpangan yang dilakukannya bisa diatur, karenanya
Allah SWT mengingatkan kita semua dalam firman-Nya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan nerbuat)dosa, padahal kamu mengetahui. (QS
Al Baqarah [2]:188)
Wallahu
a’lam