RESENSI BUKU
Oleh: Drh. Dyah
Komala Laksmiwati
(Ketua PDHI Jawa
Barat III)
Kebangkitan
Nasional, sebuah kata yang mudah diucapkan tetapi tidak mudah ditelaah,
dipahami, dihayati, dimaknai bahkan
diterapkan sehingga selalu dapat menjadi nafas kita sehari-hari baik dalam
kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan beragama. Bahkan sedikit orang yang tahu
tentang sejarah, latar belakang kebangkitan bangsa. Kebanyakan orang bahkan mungkin tidak tahu dan cenderung menjadikannya
hanya sebagai sebuah ritual rutinitas yang patut diingat sekejap mata kemudian hilang dilupakan.
Sejarah
mengenai Kebangkitan Nasional Indonesia, yang pernah kita dengar semasa duduk
di bangku sekolah, merupakan sebagian kecil
kebenaran sejarah yang diceritakan oleh para penguasa, karena secara
umum pada hakikatnya, sejarah yang kita dengar adalah sejarah berdasarkan
kepentingan para penguasa pada saat itu. Setidaknya itulah yang pertama kali
tersirat pada saat membaca sub bagian
tentang Kebangkitan Nasional dalam buku Api Sejarah karya Prof. Ahmad Mansur
Suryanegara halaman 335-348.
Kebangkitan
bangsa yang selama ini didengung-dengungkan adalah produk dari Kabinet Hatta.
Ketika itu Kabinet Hatta (1948-1949) mendapat serangan balik dari pelaku
Koedeta 3 Juli 1946 yakni Tan Malaka
dari Marxist Moerba dan Mohammad Yamin dalam pembelaannya di Pengadilan Negeri.
Kabinet Hatta mencoba mengadakan peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Hal ini
diakibatkan pembelaan Tan Malaka dan Mohammad Yamin diangkat di media massa
cetak maupun radio, dinilai oleh Kabinet Hatta, akan menumbuhkan perpecahan bangsa
yang sedang menghadapi perang
kemerdekaan (1364-1369 H/ 1945-1950M).
Guna
menghindari perpecahan tersebut maka perlu membangkitkan kembali kesadaran
sejarah nasional untuk melawan penjajah. Untuk tujuan tersebut, diperlukan
penentuan tanggal awal dan organisasi apa yang mempelopori timbulnya gerakan
kebangkitan nasional pada abad ke-20 M. Tampaklah dipilihlah organisasi yang
telah mati, Boedi Oetomo. Jadi, bukan organisasi sosial pendidikan Islam atau
organisasi partai politik lainnya yang masih eksis dan tetap berjuang membela
Proklamasi 17 Agustus 1945.
Keputusan
Kabinet Hatta tentang Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), jelas terpengaruh
oleh tulisan H. Colijin, 1928, dalam Koloniale
Vraagstukken van Heden en Morgen (Pernyataan Kolonial Hari Ini dan Esok).
Budi
Utomo adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh Dr. Soetomo pada tanggal 20
Mei 1908. Pada saat itu, usia Dr. Soetomo pada lebih kurang 20 tahun. Ia masih
aktif sebagai siswa STOVIA (sekolah dokter Jawa saat itu). Boedi Oetomo sebagai
kumpulan elite bangsawan yang menganut ajaran kejawen yang tidak sejalan dengan
agama Islam, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk bangsa Indonesia.
Ideologi
yang ingin ditegakkan pada saat mendirikan Boedi Oetomo adalah Nasionalis Jawa
sebagai lawan dari nasionalisme Djamiat Choir, yakni Islam (Timur Tengah), 17
Juli 1905. Hal tersebut tergambar dari
keanggotaan Boedi Oetomo. Orang selain bangsawan dan di luar suku Jawa tidak
dapat menjadi anggotanya. Pada Konggres Kedua Boedi Oetomo di Yogyakarta, 11-12
Oktober 1909. Dr. Tjipto Mangunkusumo mengusulkan agar Boedi Oetomo menerima anggota
yang tidak terbatas, bukan hanya dari bangsawan Jawa semata, tetapi membuka
bagi Indiers (“Anak Hindia”), yang
lahir, hidup dan mati di tanah Hindia. Tetapi usul tersubut ditolak oleh Dr.
Radjiman Wediodipoero atau Dr. Radjiman Wediodiningrat. Boedi Oetomo tetap
terbuka bagi orang-orang yang dipersamakan haknya dengan orang Eropa. Belanda
sebagai warga negara kelas satu dapat diterima sebagai anggota Boedi Oetomo. Sedangkan
Cina sebagai warga negara kelas dua, suku bangsa Indonesia lainnya, non Jawa
dan suku bangsa Jawa non bangsawan tidak dapat diterima sebagai anggotanya.
Hal
tersebut dipertegas lagi dalam Algemene
Vergradering Boedi Oetomo di Bandung tahun 1915 M, sikap Djawaisme R. Sastrowidjono yang terpilih
sebagai ketua, meminta hadirin menyerukan Leve
Pulau Djawa, Leve Bangsa Djawa, Leve
Boedi Oetomo (Hidup Pulau Jawa, hidup Bangsa Jawa, Hidup Boedi Oetomo).
Pada saat itu Abdoel Moeis dan Sjarikat Islam yang turut hadir mengingatkan
sikap pimpinan Boedi Oetomo.
Keputusan
Djawaisme pada kongres tersebut
semakin kuat, yaitu mengekalkan dan mengoetkan Agama Djawa, sejalan dengan
tujuan Boedi Oetomo sebagai penyeimbang Djamiat Choir.
Bahkan
guna mengimbangi kepentingan tersebut, para bupati pendukung Boedi Oetomo
kemudian menggeser dan menggantikan kepemimpinan Dr. Soetomo. Pada Kongres
Pertama Boedi Oetomo di Jogyakarta tanggal 3 Oktober 1908 pimpinan organisasi
beralih ke tangan Bupati Karang Anyar, Raden Adipati Tirtokoesoemo. Pada saat itu bupati merupakan tangan kanan
pelaksana Indirect Rule System/
Sistem Pemerintahan Tidak Langsung dari pemerintahan kolonial Belanda. Bupati
saat itu adalah orang yang sangat loyal kepada Belanda karena para bupati
digaji oleh Belanda. Pada tahun 1909 organisasi ini mendapat pengakuan sebagai
Badan Hukum dan telah memilki 10.000 anggota dan tersebar dalam 40 afdeelingen.
Jadi
bagaimana mungkin gerakan nasionalisme
yang notabene adalah gerakan melawan
imperialis pemerintah Belanda, dilakukan bupati yang merupakan pelaksana dari sistem
imperialis Kerajaan Protestan Belanda, dapat melaksanakan kebangkitan nasional
untuk melawan penjajahan Belanda?
Loyalitas
para bupati terhadap kolonial Belanda dilakukan dengan cara mengawasi aktivitas
umat Islam yaitu, shalat, pesantren dan haji. Para bupati mengawasi gerakan
tarekat Naqsabandiyah yang dapat menarik kalangan sosial politik kelas atas.
Bahkan di Yogya dan Surakarta, diberlakukan penduduk yang beragama Islam, mereka
tidak boleh sholat di tempat umum dan keramaian. Begitu dominan pengaruh dan
tekanan penjajahan Belanda hingga sampai saat ini Keraton Surakarta dan
Yogyakarta banyak diintervensi oleh masyarakat non muslim.
Bahkan
Boedi Oetomo adalah organisasi yang menolak cita-cita persatuan Indonesia. Hal tersebut
tergambar sikap Boedi Oetomo menolak Nasional
Conggres Centraal Syarikat Islam (1916 M) di Gedung Merdeka yang menuntut
Indonesia merdeka. Indonesia merdeka pasti mengancam eksistensi bupati atau Regent yang tergabung dalam Boedi
Oetomo.
Mr.
A.K. Pringgodigdo, 1960 dalam Sedjarah
Pergerakan Rakjat Indonesia, menuliskan bahwa Konggres Boedi Oetomo di
Surakarta, 6-9 April 1928 memutuskan Boedi Oetomo menolak pelaksanaan cita-cita persatuan
Indonesia.
Dengan
demikian, bagaimana hakikat kebangkitan nasional yang sesungguhnya? Kebangkitan
nasional yang selalu diperingati seyogyanya bukanlah memperingati berdirinya Boedi
Oetomo, yang tidak sejalan dengan cita-cita dan nafas kita sebagai orang
mukmin, dan sebagai simbol pengambilan keputusan yang salah dari pengambilan
hari bersejarah bangsa Indonesia. Menurut Prof. Ahmad Mansur Suryanegara,
pengambilan keputusan Hari Kebangkitan Nasional yang tepat adalah Hari
Kebangkitan Sarekat Dagang Islam, 16 Oktober 1905.
Kebangkitan
nasional yang kita peringati haruslah dipahami sebagai kebangkitan seluruh
komponen rakyat Indonesia, bebas dari segala macam nafsu setan yang harus
dilawan dan penjajahan terselubung di era modern yaitu penjajahan ekonomi
serta penjajahan moral dan agama.
Satu-satunya
hal yang belum terampas dan terjajah adalah khasanah kebudayaan dan mutiara
hikmah yang tercecer dari unsur budaya ini.
Pungutlah mutiara hikmah milik orang muslim yang tercecer, walaupun
sedikit. Jangan sampai terampas sehingga dimiliki dan dijadikan alat bagi musuh
Islam untuk memerangi Islam itu sendiri.
Jadi
marilah kita membangkitkan kesadaran, bahwa seyogyanya kebangkitan nasional Republik
Indonesia tercinta ini adalah kebangkitan seluruh rakyat Indonesia untuk
membangun bangsa Indonesia menjadi negara yang bermartabat dan sejahtera.
Kesimpulan
: Perlu adanya kajian dan rekonstruksi Sejarah Nasional Indonesia yang benar,
yang merupakan fakta yang benar bukan berdasarkan tendensi dari suatu
kepentingan. Untuk itu perlu didukung dengan Ilmu Sejarah dan Filologi yang
akurat.
Buku yang
diresensi : Api Sejarah I, 2009,
Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, Cetakan Kedua, Penerbit : PT. Salamadani
Semesta, Bandung
Wallohu a’lam bi showab