Kamis, 31 Mei 2012

Bletin Jumat, 01 Juni 2012. “Kebangkitan Nasional Dalam Api Sejarah”


RESENSI BUKU
Oleh: Drh. Dyah Komala Laksmiwati
(Ketua PDHI Jawa Barat III)

Kebangkitan Nasional, sebuah kata yang mudah diucapkan tetapi tidak mudah ditelaah, dipahami, dihayati, dimaknai  bahkan diterapkan sehingga selalu dapat menjadi nafas kita sehari-hari baik dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan beragama. Bahkan sedikit orang yang tahu tentang sejarah, latar belakang kebangkitan bangsa. Kebanyakan orang  bahkan mungkin tidak tahu dan cenderung menjadikannya hanya sebagai sebuah ritual rutinitas yang patut diingat sekejap mata kemudian  hilang  dilupakan.
Sejarah mengenai Kebangkitan Nasional Indonesia, yang pernah kita dengar semasa duduk di bangku sekolah, merupakan sebagian kecil  kebenaran sejarah yang diceritakan oleh para penguasa, karena secara umum pada hakikatnya, sejarah yang kita dengar adalah sejarah berdasarkan kepentingan para penguasa pada saat itu. Setidaknya itulah yang pertama kali tersirat pada saat membaca  sub bagian tentang Kebangkitan Nasional dalam buku Api Sejarah karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara halaman 335-348.
Kebangkitan bangsa yang selama ini didengung-dengungkan adalah produk dari Kabinet Hatta. Ketika itu Kabinet Hatta (1948-1949) mendapat serangan balik dari pelaku Koedeta  3 Juli 1946 yakni Tan Malaka dari Marxist Moerba dan Mohammad Yamin dalam pembelaannya di Pengadilan Negeri. Kabinet Hatta mencoba mengadakan peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Hal ini diakibatkan pembelaan Tan Malaka dan Mohammad Yamin diangkat di media massa cetak maupun radio, dinilai oleh Kabinet Hatta, akan menumbuhkan perpecahan bangsa yang sedang  menghadapi perang kemerdekaan (1364-1369 H/ 1945-1950M).
Guna menghindari perpecahan tersebut maka perlu membangkitkan kembali kesadaran sejarah nasional untuk melawan penjajah. Untuk tujuan tersebut, diperlukan penentuan tanggal awal dan organisasi apa yang mempelopori timbulnya gerakan kebangkitan nasional pada abad ke-20 M. Tampaklah dipilihlah organisasi yang telah mati, Boedi Oetomo. Jadi, bukan organisasi sosial pendidikan Islam atau organisasi partai politik lainnya yang masih eksis dan tetap berjuang membela Proklamasi 17 Agustus 1945.
Keputusan Kabinet Hatta tentang Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), jelas terpengaruh oleh tulisan H. Colijin, 1928, dalam Koloniale Vraagstukken van Heden en Morgen (Pernyataan Kolonial Hari Ini dan Esok).
Budi Utomo adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh Dr. Soetomo pada tanggal 20 Mei 1908. Pada saat itu, usia Dr. Soetomo pada lebih kurang 20 tahun. Ia masih aktif sebagai siswa STOVIA (sekolah dokter Jawa saat itu). Boedi Oetomo sebagai kumpulan elite bangsawan yang menganut ajaran kejawen yang tidak sejalan dengan agama Islam, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk bangsa Indonesia.
Ideologi yang ingin ditegakkan pada saat mendirikan Boedi Oetomo adalah Nasionalis Jawa sebagai lawan dari nasionalisme Djamiat Choir, yakni Islam (Timur Tengah), 17 Juli 1905.  Hal tersebut tergambar dari keanggotaan Boedi Oetomo. Orang selain bangsawan dan di luar suku Jawa tidak dapat menjadi anggotanya. Pada Konggres Kedua Boedi Oetomo di Yogyakarta, 11-12 Oktober 1909. Dr. Tjipto Mangunkusumo mengusulkan agar Boedi Oetomo menerima anggota yang tidak terbatas, bukan hanya dari bangsawan Jawa semata, tetapi membuka bagi Indiers (“Anak Hindia”), yang lahir, hidup dan mati di tanah Hindia. Tetapi usul tersubut ditolak oleh Dr. Radjiman Wediodipoero atau Dr. Radjiman Wediodiningrat. Boedi Oetomo tetap terbuka bagi orang-orang yang dipersamakan haknya dengan orang Eropa. Belanda sebagai warga negara kelas satu dapat diterima sebagai anggota Boedi Oetomo. Sedangkan Cina sebagai warga negara kelas dua, suku bangsa Indonesia lainnya, non Jawa dan suku bangsa Jawa non bangsawan tidak dapat diterima sebagai anggotanya.  
Hal tersebut dipertegas lagi dalam Algemene Vergradering Boedi Oetomo di Bandung tahun 1915 M, sikap Djawaisme R. Sastrowidjono yang terpilih sebagai ketua, meminta hadirin menyerukan Leve Pulau Djawa, Leve Bangsa Djawa,  Leve Boedi Oetomo (Hidup Pulau Jawa, hidup Bangsa Jawa, Hidup Boedi Oetomo). Pada saat itu Abdoel Moeis dan Sjarikat Islam yang turut hadir mengingatkan sikap pimpinan Boedi Oetomo.
Keputusan Djawaisme pada kongres tersebut semakin kuat, yaitu mengekalkan dan mengoetkan Agama Djawa, sejalan dengan tujuan Boedi Oetomo sebagai penyeimbang Djamiat Choir.
Bahkan guna mengimbangi kepentingan tersebut, para bupati pendukung Boedi Oetomo kemudian menggeser dan menggantikan kepemimpinan Dr. Soetomo. Pada Kongres Pertama Boedi Oetomo di Jogyakarta tanggal 3 Oktober 1908 pimpinan organisasi beralih ke tangan Bupati Karang Anyar, Raden Adipati Tirtokoesoemo.  Pada saat itu bupati merupakan tangan kanan pelaksana Indirect Rule System/ Sistem Pemerintahan Tidak Langsung dari pemerintahan kolonial Belanda. Bupati saat itu adalah orang yang sangat loyal kepada Belanda karena para bupati digaji oleh Belanda. Pada tahun 1909 organisasi ini mendapat pengakuan sebagai Badan Hukum dan telah memilki 10.000 anggota dan tersebar dalam 40 afdeelingen.
Jadi bagaimana  mungkin gerakan nasionalisme yang notabene adalah gerakan melawan imperialis pemerintah Belanda, dilakukan bupati yang merupakan pelaksana dari sistem imperialis Kerajaan Protestan Belanda, dapat melaksanakan kebangkitan nasional untuk melawan penjajahan Belanda?
Loyalitas para bupati terhadap kolonial Belanda dilakukan dengan cara mengawasi aktivitas umat Islam yaitu, shalat, pesantren dan haji. Para bupati mengawasi gerakan tarekat Naqsabandiyah yang dapat menarik kalangan sosial politik kelas atas. Bahkan di Yogya dan Surakarta, diberlakukan penduduk yang beragama Islam, mereka tidak boleh sholat di tempat umum dan keramaian. Begitu dominan pengaruh dan tekanan penjajahan Belanda hingga sampai saat ini Keraton Surakarta dan Yogyakarta banyak diintervensi oleh masyarakat non muslim. 
Bahkan Boedi Oetomo adalah organisasi yang menolak cita-cita persatuan Indonesia. Hal tersebut tergambar sikap Boedi Oetomo menolak Nasional Conggres Centraal Syarikat Islam (1916 M) di Gedung Merdeka yang menuntut Indonesia merdeka. Indonesia merdeka pasti mengancam eksistensi bupati atau Regent yang tergabung dalam Boedi Oetomo.
Mr. A.K. Pringgodigdo, 1960 dalam Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, menuliskan bahwa Konggres Boedi Oetomo di Surakarta, 6-9 April 1928 memutuskan Boedi Oetomo  menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia.
Dengan demikian, bagaimana hakikat kebangkitan nasional yang sesungguhnya? Kebangkitan nasional yang selalu diperingati seyogyanya bukanlah memperingati berdirinya Boedi Oetomo, yang tidak sejalan dengan cita-cita dan nafas kita sebagai orang mukmin, dan sebagai simbol pengambilan keputusan yang salah dari pengambilan hari bersejarah bangsa Indonesia. Menurut Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, pengambilan keputusan Hari Kebangkitan Nasional yang tepat adalah Hari Kebangkitan Sarekat Dagang Islam, 16 Oktober 1905.
Kebangkitan nasional yang kita peringati haruslah dipahami sebagai kebangkitan seluruh komponen rakyat Indonesia, bebas dari segala macam nafsu setan yang harus dilawan dan penjajahan terselubung di era modern yaitu penjajahan ekonomi serta  penjajahan moral dan  agama.
Satu-satunya hal yang belum terampas dan terjajah adalah khasanah kebudayaan dan mutiara hikmah yang tercecer dari unsur budaya ini.  Pungutlah mutiara hikmah milik orang muslim yang tercecer, walaupun sedikit. Jangan sampai terampas sehingga dimiliki dan dijadikan alat bagi musuh Islam untuk  memerangi Islam itu sendiri.
Jadi marilah kita membangkitkan kesadaran, bahwa seyogyanya kebangkitan nasional Republik Indonesia tercinta ini adalah kebangkitan seluruh rakyat Indonesia untuk membangun bangsa Indonesia menjadi negara yang bermartabat dan sejahtera.

Kesimpulan : Perlu adanya kajian dan rekonstruksi Sejarah Nasional Indonesia yang benar, yang merupakan fakta yang benar bukan berdasarkan tendensi dari suatu kepentingan. Untuk itu perlu didukung dengan Ilmu Sejarah dan Filologi yang akurat.

Buku yang diresensi : Api Sejarah I, 2009, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, Cetakan Kedua, Penerbit : PT. Salamadani Semesta, Bandung

Wallohu a’lam bi showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar