TANGGUNG JAWAB SEORANG MUSLIM
Oleh : Drs. H. Muchlis,
SK, M.Pd.I
(Dosen UMC)
“Sesungguhnya
kami Telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh”.
(Q.S. Al Ahzab : 72)
Semua “amaliyah (perbuatan) yang dilakukan oleh seorang muslim memiliki konsekuensi
untuk diminta pertanggung jawabannya (mas’uliyah), menyangkut perbuatan
yang baik (hasana), maupun perbuatan yang buruk (sayiat). Sejak di dunia ini, terlebih lagi kelak di akhirat seorang muslim tidak akan luput untuk mempertanggung jawabakannya tentang segala apa yang
dilakukannya di hadapan Allah SWT.
Al
Qur’an mengisyaratkan sebagaimana firman-Nya dalam surat Al zallzalah: “Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya
pula” ( Q. S. Al zalzalah : 7-8).
Berkenaan
dengan ayat di atas , Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka (manusia) beramal dan
akan dibalas amal mereka itu. Bila mereka beramal baik maka mereka akan dibalas amal mereka itu, bila buruk
mereka akan dibalas keburukannya itu. Muhammad Ali ash Shobuni menjelaskan pula
bahwa amal perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk meskipun sebesar debu dari tanah akan dibalas
oleh Allah pada hari Kiamat.
Rasulullah
bersabda : “Peliharalah dirimu dari sentuhan api neraka walaupun dengan
separuh kurma, walaupun dengan kalimat thoyibah” (Hadits Riwayat Bukhari
dari Adi).
Pada hadits lain
Rasulullah mengingatkan, sebagaiamana sabdanhya : “Janganlah kalian
meremehkan perbuatan baik apapun, walaupun berupa pencurahan air dari embermu
ke dalam wadah orang yang meminta air kepadamu, atau engkau menemui saudaramu
dengan wajah yang berseri” (Hadits Riwayat Bukhari).
Manusia (termasuk
muslim), seperti yang disampaikan
Atang Abd.,
Hakim dan Jaih Mubarok adalah makhluk yang menanggung amanah
sebagaimana firman Allah dalam Surat Al ahzab:
72 di atas, maka Al Insan (manusia)
dalam pandangan Al quran memiliki korelasi dengan konsep tanggung jawab. Dalam
hal ini Allah berfirman: “Apakah
manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung
jawaban)?” (Q.S. Al Qiyamah ,75. :36).
Pada ayat lain
Allah berfirman : “Dan Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya
dari pada urat lehernya” (Q.S. Qof, 50:16).
Secara garis besar tanggung jawab seorang muslim ada tiga. Pertama, tanggung jawab seseorang terhadap Tuhannya (masuliyatu shokhsi an robbihi). Bahwa seorang muslim dalam kapasitasnya sebagai ‘abid berkewajiban menghambakan diri kepada Ma’bud (Allah SWT.) semata, dengan ibadah yang
sebenar-benarnya, memurnikan tauhid (purifikasi) dengan sebuah keyakinan yang utuh dan kokoh bahwa
tiada Tuhan (ilah) selain Allah SWT.
Keyakinan itu mengkristal dalam jiwa bahwa Allah SWT., disifati dengan
sifat kesempurnaan dan bersih dari sifat kekurangan (maushufun bijami’i shifatil kamal
waunajahun an jamiish shifatin nuqshon). Allah berfirman :
“Allah
sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain)
beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan membawa
makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan
sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.” (Q.S. Al muminun, 23:91).
Pada ayat lain Allah berfirman : “Katakanlah:
"Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan,. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” ( Q.S. Al ikhlas, 112: 1-4).
Kor (inti) ajaran Islam terletak pada tauhid, sekaligus juga merupakan
kekuatan bagi setiap muslim. Seorang oreintalis, H.R. Gibbs mengatakan : “The
strength of Islam lies on the faith to Allah”. Kekuatan Islam terletak pada iman kepada Allah. Ketika keyakinan
kepada-Nya telah meraga sukma, menyatu dalam jiwa maka akan berbanding
sejajar dengan kesadaran melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Kedua, tanggung jawab seorang muslim kepada dirinya
sendiri (masuliayatushohsyi
an nafsihi). Seorang muslim bertanggung jawab kepada
dirinya sekaligus sebagai khalifatullah
fil
ardhi yang mengandung makna bahwa seorang muslim juga secara linear
memiliki kewajiban sosial yang sejatinya mempunyai tanggung jawab besar dalam kehidupannya di dunia
yang merupakan jalan untuk menuju kehidupan akhirat. Oleh karena itu manusia yang diberi amanah oleh Allah
harus mampu menjalankan amanahnya dengan sebaik mungkin, dengan mengoptimalkan
potensi yang Allah berikan kepadanya
untuk mengatur, mengelola dan melesatrikan bumi. Ruang
lingkap tanggung jawab pribadi seorang muslim meliputi aspek :
1. Tanggung jawab terhadap harta
Tanggung
jawab yang diemban seorang muslim dalam harta yang telah Allah Swt berikan kepadanya,
merupakan amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syari’at. Seorang
muslim seyogyanya memiliki kesadaran bahwa harta yang diterimanya ini hanyalah titipan dari
Allah Swt, yang mesti dipergunakan dan disalurkan untuk kepentingan umat manusia. Dalam
hal ini Allah SWT., menjelaskan melalui friman-Nya, surat Al
hasyr
ayat 7: “Apa saja harta rampasan (fai-i)
yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari
penduduk kota-kota Makka
adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.
2. Tanggung jawab terhadap keluarga.
Yaitu tanggung jawab seorang Muslim dalam
posisi sebagai orang tua. Tanggung jawabnya adalah menjaga keluarganya
agar selamat dalam kehidupan baik dunia maupun akhirat. Allah SWT., menjelaskan melalui firman-Nya, surat Al
tahrim,
ayat 6 : Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ...” Wilayah
tanggung jawab seperti yang dikemukakan Ibnu Katsir bahwa menyelamatkan
keluarga dari api neraka yang dimaksud yaitu istri, anak, saudara, kerabat, sahaya
wanita dan sahaya laki-laki. Mendidik
mereka agar melaksanakan perintah Allah dan membantu dalam merealisasikannya
serta mencegah berbuat maksiat. Muhammad Ali Ash Shobuni memberi komentar pada
ayat tersebut yaitu menyelamatkan keluarga yakni istri dan anak-anak, dengan
memerintahkan mereka berbuat baik dan melarang berbuat buruk, mengajari dan
mendidik mereka agar selamat dari api neraka. Mujahid menambahkan:
“Bertakwalah, nasihatilah keluargamu agar bertakwa kepada Allah”.
Sebagaimana disampaikan
para ahli tafsir ayat tersebut mengandung makna tersirat bahwa untuk
menyelamatkan keluarga dari api neraka, maka betapa pentingnya peran
pendidikan. Dalam proses pendidikan, orang tua memiliki peran utama dalam
melakukan talim, tadib dan tarbiyah, karena orang tualah yang merupakan
lingkungan pertama. Menurut hasil
penelitian ilmu pengetahuan modern menyatakan bahwa yang dominan membentuk jiwa
manusia adalah lingkungan. Dan lingkungan pertama yang dialami sang anak adalah
ibu dan ayah. Sedangkan lingkungan pendidikan terkecil adalah keluarga,
dengan demikian yang berkewajiban melakukan pendidikan terhadap seorang anak
adalah orang tua.
Oleh
karena itu orang pertama yang
bertanggung jawab terhadap keluarga adalah orang tua (ayah dan ibu). Dari kedua
orang inilah pendidikan harus dimulai. Keberhasilan pendidikan tingkat awal ini
akan membawa kepada keberhasilan pendidikan keluarga dan masyarakat. Baqir
Sharif al Qarashi, keluarga penampakan sejati dari ketenangan anak karena
alasan ini, ketenangan serta kematangan
personal anak-anak secara penuh bergantung pada beragam hubungan kualitatif dan kuantitif keluarga. Para analisis menemukan bahwa nilai-nilai agama
dan moral anak terbangun disekeliling keluarga-keluarga.
Ketiga, tanggung jawab seseorang
kepada negerinya (mas’uliyatush shohsi fi baldrihi). Cinta sekaligus
membela tanah dari rongrongan dan penjajahan negeri luar, merupakan sikap,
watak yang telah dicontohkan oleh para pejuang dahulu. Sederet nama para
pahlawan yang telah gugur dalam mengusir penjajah telah terukir dalam lembaran
sejarah bangsa, yang tak lapuk ditimpa hujan, tak lekang ditimpa panas. Meskipun
mereka tidak semua berjuang membawa nama agama, hanya semata-mata untuk
tegaknya kedaulatan Indonesia, namun nilai-nilai juang yang mereka gelorakan, telah menjadi pemacu dan pemicu tumbuh
suburnya semangat jihad dalam bingkai amar
maruf nahi munkar. Saat ini
kontribusi cinta dan membela tanah air dapat direpresentasikan dalam bentuk
kompetensi anak bangsa, baik dalam bentuk mencintai produksi dalam negeri,
bangga dengan budaya bangsa yang beraneka ragam yang selaras dan seimbang
dengan karakter bangsa yang berketuhanan maupun
kompetensi lainnya yang bermanfaat bangsi kepentingan segenap anak bangsa. Maka pada gilirannyalah
generasi bangsa berada pada garda terdepan dalam mengawal proklamasi 17 Agustus
1945 serta bersama-sama berupaya agar terwujud “baldatun toyibatun wa robbun ghofur”