Orang Jawa Cerminan Karakter Para Nabi
Oleh: Wahyudin, M.Pd.
(Sekretaris LAZISWA At-Taqwa Kota Cirebon)
Suku
Jawa adalah suku terbesar yang ada di Indonesia. Sebagai bukti, kemana
pun kita melangkahkan kaki, ke seluruh pelosok negeri, kita pasti
akan menemukan orang dari suku Jawa. Mereka tersebar dan mendiami kawasan
tersebut meskipun jumlahnya minorotas. Tak hanya karena keragaman budaya, orang
Jawa juga terkenal akan keramahtamahannya. Banyak wisatawan asing yang
berkunjung ke Indonesia dan terpukau dengan “keunikan” budaya dan orang jawa.
Sepanjang
sejarah, orang jawa telah banyak mempengaruhi berbagai budaya yang ada di
Indonesia. Sebagai contoh, para ulama dan santri yang ada di wilayah Sumatra
telah terbiasa mengkaji dan membaca kitab-kitab dengan terjemahan jawa. Bahkan
ada beberapa “wirid” yang menggunakan bahasa jawa. Penyebabnya adalah, pada
tahun 1800 an, penyebaran Islam di Nusantara dilaksanakan oleh wali songo yang
berasal dari jawa. Maka tidak heran jika banyak hal di Nusantara ini yang
mendapat pengaruh dari jawa.
Kebesaran
budaya dan orang jawa telah membuat para peneliti dari manca Negara terpesona.
Di masa penjajahan Belanda, salah satu peneliti yang bukunya masih terbit
sampai sekarang. Ia bernama Sir Thomas
Stamford Bingley Raffles (lahir di Jamaica, 6
Juli 1781 – meninggal
di London, Inggris, 5
Juli 1826 pada
umur 44 tahun) adalah Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda yang
terbesar. Ia adalah seorang warga negara Inggris.
Ia dikatakan juga pendiri kota dan negara kota Singapura.
Ia salah seorang Inggris yang
paling dikenal sebagai yang menciptakan kerajaan terbesar di dunia.
Ia menulis buku yang terkenal dan masih banyak dijual sampai sekarang “The History of Java” (Thomas Stamford
Raffles, 1817) . Ia banyak menulis tentang manusia,
aktifitas, dan budaya jawa. Ini mencerminkan kekagumannya terhadap jawa. Buku
tersebut terbit di berbagai Negara, bahkan sebelum di Indonesia telah terbit di
London Inggris.
Karakter
Tradisi Suku Jawa
1. Ramah
Suku
jawa dikenal dengan sikap sopan, ramah, santun, dan menyembunyikan perasaan
alias tidak suka langsung-langsung. Mereka lebih cenderung menjaga etika
berbicara baik secara isi, bahasa, perkataan, maupun objek yang diajak
berbicara. Bahasa Jawa adalah bahasa berstrata, memiliki berbagai tingkatan
yang disesuaikan dengan objek yang diajak bicara. Karakter khas seorang
yang bersuku Jawa adalah menunggu dipersilahkan untuk mencicipi, bahkan
terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati.
2. Religius, eling
sangkan paraning dumadi
Manusia Jawa berkeyakinan
bahwa urip ana sing nguripake (hidup ada yang menghidupkan).
Sikap ini adalah sikap Tauhid seorang hamba. Karena suatu saat manusia akan
kembali kepada yang menghidupkan. Manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali
kepada Tuhan, maka manusia harus bersiap untuk mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya selama hidup. Nasihat eling sangkan paraning dumadi menjadi
pengingat agar manusia selalu menjaga sikap dan perbuatan di dunia karena kelak
akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan. Sehingga dalam menjalani
hidup manusia Jawa akan senantiasa golek dalan padhang, berbuat
lurus, tidak melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan. Sikap-sikap tersebut
menunjukkan religiusitas masyarakat Jawa yang sesuai dengan ayat-ayat dalam
Alquran.
3. Urip
samadya
Dalam menjalani hidup, orang Jawa
memegang prinsip urip samadya. Dengan sikap samadya manusia
akan dapat mengukur kemampuannya, tidak memaksakan kehendak untuk meraih
sesuatu yang tidak mungkin diraihnya. Sikap hidup samadya menjauhkan
seseorang dari perbuatan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang
diinginkannya. Sikap ini adalah sikap qonaah
yang menganjurkan seseorang untuk menerima apa yang ada. Berusaha
semampunya terhadap apa yang dicita-citakan.
Prinsip hidup ini juga melahirkan
sikap nrima ing pandum, menerima dan bersyukur atas segala yang
diberikan oleh Allah SWT. Namun demikian, tidak berarti sikap hidup samadya dan nrima
ing pandum ini diisi dengan bermalas-malasan, tanpa mau berusaha.
4. Rereh,
ririh, dan ngati-ati.
Rereh, artinya sabar dan bisa mengekang
diri. Ririh, artinya tidak tergesa-gesa dalam bertindak,
mempunyai pertimbangan matang untuk sebuah tindakan dan keputusan. Ngati-ati,
artinya berhati-hati dalam bertindak. Dengan sikap rereh, ririh,
dan ngati-ati, berarti manusia dapat menguasai dirinya dan mengendalikan
nafsunya. Manusia akan sempurna bila dapat menguasai nafsu. Dengan sikap rereh,
ririh, dan ngati-ati maka
seseorang dapat menempuh perjuangan yang mulia.
5. Menjauhkan
Diri dari watak adigang, adigung, adiguna.
Watak adigang adalah
watak sombong, karena mengandalkan kekayaan dan pangkat. Watak adigung adalah
watak sombong karena mengandalkan kepandaian dan kepintaran, lantas meremehkan
orang lain. Watak adiguna adalah watak sombong karena
mengandalkan keberanian dan kepintaran berdebat. Oleh karena itu, sikap-sikap
ini harus dihindari. Menghindari sikap seperti ini sesuai dengan ajaran Islam
yang melarang umatnya memiliki sifat sombong, karena sebagaimana syetan masuk
neraka gara-gara sombong.
6. Aja dumeh
Kata yang singkat ini mengandung
ajaran yang sangat luas. Kata ini dapat diterapkan dalam berbagai sikap dan
perbuatan, misalnya aja dumeh pinter, aja dumeh kuasa, aja dumeh kuwat,dan
sebagainya. Aja dumeh sangat dekat dengan watak adigang,
adigung, adiguna. Aja dumeh mengandung maksud “jangan
mentang-mentang”. Sikap hidup aja dumeh akan membawa seseorang
pada sikap rendah hati, sederhana.
7. Mawas diri
Mawas diri adalah tindakan untuk melihat
ke dalam diri sendiri, mengukur nilai dan kemampuan diri. Dengan mawas
diri seseorang akan selalu berupaya melihat kekurangan diri sendiri.
Sikap ini menjauhkan seseorang dari sikap merasa paling benar, sehingga tumbuh
rasa saling menghargai sesama. Menyadari bahwa diri tidak sempurna akan
membuat seseorang menjadi tidak mudah mencela orang lain. Mawas diri menjauhkan
seseorang dari sikap sombong.
8. Tepa slira
Tepa slira berarti tenggang rasa,
tolerasi, menghargai orang lain, nepakke awake dhewe. Apabila kita
merasa senang dan bahagia jika orang lain berperilaku baik kepada kita, maka
hendaknya kita juga berusaha bersikap baik terhadap orang lain. Tepa
slira adalah sikap individu untuk mengontrol pribadinya berdasarkan
kesadaran diri. Seseorang yang memiliki
sikap tepa slira tidak akan mburu menange dhewe, nggugu
karepe dhewe, dan nuhoni benere dhewe.
9. Unggah-ungguh
Unggah-ungguh merupakan salah satu bentuk
etika atau sikap manusia Jawa dalam menempatkan diri ketika bergaul dengan
sesamanya. Seseorang yang memiliki dan memahami sikap unggah-ungguh akan
mengetahui bagaimana cara bergaul dan berperilaku dengan orang yang lebih muda,
sederajat, lebih tua, atau yang memiliki jabatan tertentu, bahkan dalam situasi
tertentu. Dengan menerapkan unggah-ungguh dalam bergaul maka
akan tercipta hubungan yang harmonis. Seseorang yang memiliki unggah-ungguh akan
dapat menempatkan diri dalam menjalin pergaulan dengan orang lain sesuai dengan
tempat dan situasinya, empan papan.
10. Jujur
Jujur merupakan karakter yang
sifatnya universal. Masyarakat Jawa pun menganggap sikap jujur sebagai etika
yang harus dipegang teguh dan dimiliki oleh setiap orang Jawa. Hal ini
tercermin dalam ungkapan-ungkapan Jawa seperti, jujur bakal mujur,
artinya orang yang jujur akan mendapatkan keberuntungan. Kebalikannya
adalah goroh growah, yaitu orang yang berbohong akan mendapat
kerugian. Jujur dalam sifat Nabi dan Rasul adalah Siddiq.
11. Rukun
Hidup rukun selalu menjadi dambaan
manusia yang hidup bermasyarakat. Demikian pula pada masyarakat Jawa yang juga
mendambakan kehidupan yang selalu cinta damai. Cinta damai dapat terwujud jika
antarsesama anggota masyarakat tersebut dapat hidup rukun. Sehingga dalam
masyarakat Jawa terdapat ungkapan rukun agawe santosa, yaitu bahwa
hidup rukun sesama manusia akan membuat kehidupan menjadi sentosa.
12. Kerja keras
Manusia Jawa tidak boleh lalai untuk
selalu berupaya mencukupi kebutuhannya. Oleh karena itu manusia Jawa harus
senantiasa bekerja keras akan mampu hidup mandiri dan layak tanpa bergantung
pada belas kasihan orang lain. Sikap hidup semacam ini tercermin dalam ungkapan
Jawa sapa ubet, ngliwet yaitu siapa yang kreatif dalam
berusaha mencari rezeki, maka pasti akan mendapatkan hasilnya. Di samping itu,
dalam bekerja manusia Jawa juga berprinsip bahwa bekerja tidak melihat pada
besar kecilnya hasil yang harus diperoleh, tetapi lebih mementingkan apa yang
harus dikerjakan.
13. Tanggung jawab
Tanggung jawab merupakan sikap yang
juga harus dimiliki oleh manusia Jawa. Sehingga dalam masyarakat Jawa ditemukan
juga ungkapan tinggal glanggang colong playu yang arti
harfiahnya meninggalkan gelanggang dan secara diam-diam melarikan diri.
Ungkapan ini merupakan sindiran bagi seseorang yang suka lepas tangan, cuci
tangan dari tanggung jawab yang seharusnya diembannya. Oleh karena itu,
perilaku tinggal glanggang colong playu harus dihindari karena
merupakan perilaku negatif dan jauh dari sikap ksatria sejati.
14. Rumangsa melu
handarbeni, rumangsa wajib hangrungkebi
Merasa ikut memiliki, merasa wajib
membela. Sikap ini wajib dimiliki oleh setiap orang agar keadaan dan situasi
terjaga dengan baik. Dengan merasa memiliki orang akan punya keinginan untuk
menjaga dan melestarikan serta membela sesuatu yang menjadi miliknya. Sikap ini
sangat tepat untuk ditanamkan kembali pada generasi ditengah-tengah keterpurukan
bangsa. Bila generasi muda memiliki sikap ini mereka akan berupaya untuk turut
berperan dalam memperbaiki kondisi bangsa dan tidak justru merusak citra
bangsa.
15. Memayu hayuning
bawana
Memayu berarti membuat selamat.
Sedangkan bawana berarti bumi. Memayu hayuning bawana merupakan
sikap dan tindakan untuk menjaga keselamatan dan kelestarian bumi. Sikap ini
perlu ditanamkan pada semua orang, termasuk generasi muda agar kerusakan bumi
dapat dicegah sehingga bumi tetap lestari.
Dari kesemua karakter orang jawa
yang dipaparkan di atas, dapat kita pahami bahwa ternyata karakter-karakter
tersrbut sangat dekat dengan karakter-karakter para Nabi. Ramah, santun, tepa
selira, tanggung jawab, dan lain-lain merupakan sifat yang ada pada diri para
Nabi. Maka, jika kita dapat mengembangkan sifat-sifat dan budaya jawa berarti
telah mencontoh sifat dan karakater para Nabi. Wallahu Alam Bii Showaab.