Kamis, 09 Mei 2013

SEBUAH UPAYA MENGATASI KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA

Oleh. Dr. H. Agus Alwafier By MM 
Dosen UMC (Universitas Muhammadiyah Cirebon)

Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA), Indonesia ditakdirkan Allah sebagai negeri yang kaya raya tetapi rakyatnya banyak yang miskin bahkan kelaparan. Ini merupakan suatau hal yang ironis dan bersifat paradoksal. Dalam berbagai tulisan Prof. Dr. Nurcholis Majid sering mengemukakan adanya hal-hal yang bersifat paradoks di negeri ini, pertama dikatakan bahwa negeri kita kaya tetapi rakyatnya miskin dan banyak yang kelaparan. Kedua jumlah penduduknya sangat banyak tetapi kualits Sumber Daya Manusianya sangat rendah, dalam hali ini sejalan dengan pendapat Prof. KH. Ali Yafie dengan ungkapannya yang sangat populer tetang Muslim Indonesia yaitu “ Katsir fi al‘adat wa qalil fil’udah” (banyak secara kuantitas tetapi sedikit secara kualitas). Ketiga masyarakat dan bangsa Indonesia dikenal sangat religius dan mengagungkan nilai-nilai spiritual, tetapi pelanggaran moral dan praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) terlihat sangat dahsyat dimana-mana. 

Indonesia sudah lebih dari 62 tahun merdeka tetapi kondisi Bangsa Indonesia belum mampu berubah secara totalitas dimana masyarakatnya masih banyak yang terbelakang, kemiskinan masih sangat besar dan korupsi menjalar ke semua lini serta semakin jauh dari harapan dan cita-cita proklamasi. Bahkan justru kita mengalami krisis multi dimensional yang berkepanjangan sebagai imbas dari adanya krisis ekonomi global dan kemudian diteruskan dengan krisis-krisis yang lainnya . Pemerintahan memang telah berganti, sistem pemerintahan juga beralih dari paradigma lama ke paradigma baru dari Orde Baru ke Orde Reformasi dan Pasca Reformasi. Meskipun demikian perubahan sistem tersebut belum dapat dirasakan secara luas manfaatnya oleh masyarakat khususnya dalam peningkatan kesejahteraan bahkan justru semakin suburnya praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme, praktek ketidak adilan, panorama kejahatan terbentang luas di negeri kita di Era Reformasi dan Era Pasca Reformasi. Kita semua tentu berharap bahwa dengan reformasi birokrasi dan percepatan pergeseran sistem pemerintahan ini akan dapat membawa perbaikan dan kemajuan bangsa secara significan dan terus menerus. Namun sejauh ini kita baru melihat sederet konsep mengawang-awang jauh kelangit dan tidak membumi, miskin implementasi dan seringnya tidak konsisten. 

Sesungguhnya kalau kita lihat krisis masa lalu yang bermula dari adanya krisis moneter, lalu krisis ekonomi dan kemudian berlanjut pada krisis dalam segala aspek kehidupan atau krisis multidimensional termasuk di dalamnya krisis moral dan akhlak. Krisis di negeri kita ini mengandung arti yang sangat luas dan mendalam yang saling kait mengkait antara satu dengan yang lain. Keadaannya seperti benang kusut atau lingkaran setan yang sulit diidentifikasi ujung pangkalnya sehingga sangat sulit dibedolnya bahkan sering terjadi perseteruan diberbagai tempat, persetruan politik di birokrat, perseteruan di legislatif sebagai penentu undang-undang dan penyelengara pemerintahan bahkan perseteruan ditengah penegak hukum dan antar masyarakat. Sungguh kondisi seperti ini di eksplor setiap saat, ironisnya pada tingkat penyelesaiannya justru dengan semakin menyuburkan KKN dan perhatian terhadap kemajuan negara dan kesejahteraan masyarakat baru sebagai sebuah wacana dan cenderung hanyalan, lip service, pernyataan politik dan kebohongan publik. 

Pembangunan ekonomi Indonesia dengan idiologie developmentalism yang dianut, diakui memang tidak atau belum mampu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia seperti yang diharapkan. Pembangunan itu dalam beberapa hal justru menimbulkan ketimpangan sosial dan problem kemiskinan yang berkepanjangan dengan indikator sebagai berkut : 

a. Adanya kesenjangan yang semakin tajam antara si kaya dengan si miskin. Praktek ekonomi kapitalistik semakin melonjak dan mencengkeram ekonomi rakyat, ekonomi kuat memakan ekonomi kecil yang sesungguhnya adalah ekonomi Bangsa Indonesia. 

b. Jumlah orang miskin semakin banyak dan merata diseluruh pelosok negeri dan angka pengangguran semakin tinggi. 

c. Pembangunan ekonomi tidak berpusat pada kepentingan rakyat, konsep ekonomi kerakyatan yang semestinya berpihak kepada ekonomi rakyat miskin tetapi justru hak orang miskin semakin tersisih dan termarjinalisasi. 

d. Adanya ketergantungn pada modal asing yang semakin menjadi jadi yang pada gilirannya sangat mudah diintervensi dan aset negeri yang diakatakan zamrud khatulistiwa sedikit demi sedikit dikuasai luar negeri. 

e. Adanya kontradiksi antara kepentingan ekonomis dan ekologis (produksi besar selalu mengeksploitasi pengrusakan alam dan lingkungan). 

Dilihat dari perspektif Islam, kemiskinan bukanlah sebuah takdir, melainkan suatu akibat dari kesalahan manusia dalam mengelola potensi dan sumber-sumber kekayaan yang dianugerahkan oleh Allah Swt kepada manusia. Allah Swt sejatinya telah memberikan dan menyediakan segala yang diperlukan manusia dalam hidupnya. Firman Allah swt. dalam surat Ibrahim ayat 34 : “ Dan Dia telah memberikan kepadamu (untuk keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya dan jika kamu menghitung nikmat Allah tidaklah kamu dapat menghitungnya, sesunguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). 

Jadi kemiskinan dalam pandangan Islam sesungguhnya merupakan ketimpangan dari keadaan yang seharusnya dan tidak boleh terjadi di muka bumi karena Allah Swt. telah menyediakan segala hal yang dibutuhkan manusia dalam hidupnya. Namun kemiskinan tetap terjadi karena manusia seperti diisyaratkan dalam ayat di atas berlaku atau bersifat dzalim dan kufur. Dzalim menurut pakar ilmu tafsir Prof Dr. Qurasy Sihab bermakna perbuatan aniaya yang menyebabkan timbulnya ketidak seimbangan dalam perolehan harta atau dalam penggunaan sumber daya alam. Sementara kufur difahami sebagai sikap malas atau enggan dalam menggali sumber kekayaan alam atau sumber alternatif pengganti. Dzalim dan kufur sesungguhnya adalah pangkal dari kemiskinan. 

Kemiskinan dalam Islam dapat dikatagorikan sebagai sesuatu yang membahayakan (mudhorot) karena menimbulkan kesusahan dan kesulitan bagi manusia. Sementara setiap kepada yang mudlorot harus dihilangkan ( al dhoror yuzalu). Rasulullah saw bersabda : “ jangan kamu mendekati bahaya tetapi juga jangan membuat bahaya bagi orang lain ( H.R Ahmad bin Hambal, Ibnu Majah). Lebih mudhorot lagi dalam hadits lain disebutkan bahwa kemiskinan itu membawa manusia kepada kekufuran. Rasulullah Saw bersabda : “ Kadzal faqru an yakuna kufron” (bahwa hampir saja kemiskinan itu menjadikan manusia menjadi kufur). Karena itu kemiskinan harus diperangi dan dihilangkan. Perjuangan dan usaha pengentasan kemiskinan itu bagi kaum muslim baik laki-laki maupun perempuan merupakan wajib kifayah hukumnya. 

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEMISKINAN 

Miskin atau kemiskinan dapat difahami sebagai situasi ketidak beradaan harta atau ketidak berdayaan yang membuat seorang tak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Dalam bahasa arab terminologi miskin berakar dari kata “`sakana, yaskunu, sukun”, yang secara harfiyah berarti diam, tak bergerak (al sukun ba’da tabarruk). Jadi miskin menunjuk pada kondisi diam, tanpa aktifitas dan dinamisme dalam hidup (malas). Dalam terminologi hukum Islam miskin dikaitkan dengan tiga faktor (1) Harta yang dimiliki secara syah dan ditempat (ma min mamluk haadir), (2) mata pencaharian atau pekerjaan tetap yang dibenarkan oleh hukum ( al Hasab al halal) dan (3) kecukupan terhadap kebutuhan yang pokok (al kifayah). Apabila harta atau penghasilan seseorang tak dapat memenuhi kebutuhannya yang pokok, maka ia dinamakan miskin atau fakir. Dikatakan miskin adalah orang yang hanya mampu memenuhi setengah atau lebih dari kebutuhan dasarnya. Sedang fakir adalah orang yang kemampuannya di bawah itu yang dalam bahasa populer kita kenal dengan istilah “orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan” atau under development. 

Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang lebih buruk kondisinya : si fakir atau si miskin? Dalam satu pendapat dikatakan bahwa miskin lebih parah dibanding fakir. Sementara dalam pendapat yang lain justru sebaliknya fakir dianggap lebih buruk daripada miskin. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa fakir dan miskin keduanya memiliki arti yang sama. Namun demikian pendapat yang masyhur di kalangan kaum Muslim bahwa fakir dianggap lebih buruk kondisinya dibandingkan miskin. 

Meskipun standar kemiskinan berbeda-beda, namun secara umum dapat dipastikan bahwa seseorang disebut miskin manakala ia memiliki salah satu dari kriteria sebagai berikut : 

a. Tidak mempunyai pendapatan atau sumber pendapatan sama sekali 

b. Mempunyai pendapatan atau penghasilan, tetapi tidak mencukupi kebutuhan pokoknya bersama keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. 

c. Tidak mempunyai asset (kekayaan) berupa harta benda, seperti lahan pertanian untuk petani, empang, kolam atau tambak untuk peternak ikan, kebun, modal dagang dan sebagainya. 

d. Tidak mempunyai keahlian dan ketrampilan di bidang tertentu yang memungkinkan ia bekerja dengan gaji atau honor yang memadai. 

Jadi miskin adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar secara wajar dan juga tidak memiliki modal dan ketrampilan yang cukup untuk meningkatkan pendapatannya. Kemiskinan juga dapat dipahami dalam empat katagori. Pertama, kemiskinan formal yakni kemiskinan atau kemelaratan yang timbul oleh sebab-sebab individual. Dalam al Qur’an kemiskinan katagori pertama ini disebut dengan dhu’afa. Kedua kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang timbul sebagai akibat dari struktur sosial yang tidak adil atau timpang. Dalam bahasa al Qur’an kemiskinan ini disebut dengan mustad’afin, orang menjadi lemah karena dilemahkan oleh sistem yang timpang atau kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada kum miskin. Ketiga kemiskinan substansional yaitu kemiskinan dalam arti akibat sikap serakah dan tamak yang membuat seseorang membabi buta dalam mengumpulkan harta dengan berbuat dzalim, mengambil hak orang lain atau melakukan korupsi, pemerasan pajak dll. Keempat yaitu kemiskinan akibat gaya hidup malas, tidak kreatif, tidak memiliki keterampilan, loss kompetensi dan menganggur dan juga terjadinya pemborosan dan hura-hura dalam menggunakan harta. Kemiskinan model ini disebut sebagai kemiskinan iman atau kemiskinan moral yang sejatinya merupakan penyebab semua bentuk kemiskinan. Semua bentuk kemiskinan ini memerlukan solusi sendiri dan Islam sebagai agama yang sempurna (Islam is the best solution) menawarkan konsepsi dan solusi untuk memecahkan masalah kemiskinan dalam berbagai bentuknya. 

Islam mewajibkan kepada umatnya untuk rajin menuntut ilmu dimulai sejak lahir sampai wafat (long life education), ayat pertama yang Allah wahyukan kepada Rasullah Saw. berbunyi “Iqra” (perintah membaca). Membaca ayatul qur’aniyah, membaca dan mengaji ayat suci untuk menambah motivasi dan energi dalam mendekatkan diri kepada Allah Robbul izzati yang telah menciptakan manusia, dengan ini kemudian kita menjadi trus menerus bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah Swt. khusyu, tawadlu dan sabar, takut terhadap dosa. Dan dengan membaca ayatul qur’aniyah mental seseorang semakin meningkat dan kualitas hidupnya semakin hebat, mantap dan bermartabat jauh dari maksiat dan dosa-dosa lain termasuk KKN dan terpenuhilah hak-hak masyarakat dan meningkatlah ekonomi masyarakat. 

Pendidikan membuat orang menjadi pintar, menguasai berbagai bidang dan menjadi orang ahli (profesional). Dalam aspek apapun keahlian seseorang bisa mendapatkan rizki baik bekerja pada orang lain, maupun menciptakan tenaga kerja dan tentunya memperoleh harta sesuai dengan tingkat keahliannya. Pendidikan adalah kunci sukses, dengan pendidikan orang manjadi kaya, dengan pendidikan orang menjadi bahagia dunia dan akhirat, sejalan dengan sabda Nabi Muhammad Saw. “man aroda dunya fahula bil ‘ilmi waman arodal akhiroti fahuwa bil ‘ilmi waman arodahuma fahua bil ‘ilmi” bahwa barang siapa berharap dunia maka harus dengan ilmu, barang siapa berharap akhirat maka dengan ilmu dan barang siapa berharap keduanya maka juga dengan ilmu. Prof Garnadi menulis tentang pendidikan adalah persiapan jangka panjang, katanya bahwa “apabila kita punya rencana hidup untuk satu tahun maka tanamlah padi dan padi jadi beras dan jadi nasi dimakan habis, apabila kita punya rencana hidup sepuluh tahun maka tanamlah pohon, pohon sepuluh tahun berbuah dan buahnya dimakan akan habis. Tetapi jika kita mempunyai rencana hidup seratus tahun atau lebih atau ingin bahagia didunia dan akhirat maka didiklah manusia, galilah ilmu dan buatlah generasi yang rajin, cerdas dan berwawasan.”