Buletin Gema At-Taqwa (Jumat, 22 Juni 2012)
oleh :
Sugino Abdurrahman, S.Pd.I.
Ketua PD Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) Kota
Cirebon
Makna Tajarrud Menurut Syar’iy
Tajarrud menurut syar’iy
berarti memfokuskan diri hanya karena Allah, meniadakan orientasi kepada
siapapun dan apapun selain-Nya. Hendaknya gerak dan diam dalam sembunyi dan
terang hanya dilakukan karena Allah, tidak ada intervensi nafsu, keinginan
pribadi, tidak ada motivasi duniawi, kedudukan dan kekuasaan.
Hal ini tidak berarti
melepaskan diri dari kehidupan dunia dan keperluannya, bahkan menjadikan dunia
sebagai sarana memperoleh balasan di sisi Allah, sebagaimana hadits Rosululloh saw.,
yang artinya; ”Dan pada kemaluan
salah seorang di antaramu terdapat sedekah. Para sahabat bertanya: Ya
Rasulallah, seseorang menyalurkan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala? Jawab
Nabi: Bukankah jika ia menyalurkan di jalan haram mendapatkan dosa, maka
demikianlah jika ia menyalurkan dengan halal maka ia mendapatkan pahala”
(HR. Muslim). ”Sesungguhnya tidak satupun yang kamu infakkan karena
mengharapkan Allah, pasti kamu akan mendapatkan pahala, termasuk yang kamu
infakkan di mulut isterimu” (HR. Al Bukhari)
Dan Allah SWT., berfirman yang
artinya: ”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim
dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum
mereka: "Sesungguhnya Kami berlepas diri dari pada kamu dari dari pada apa
yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu
beriman kepada Allah saja” (QS. Al
Mumtahanah: 4)
Ayat ini dapat kita pahami
muatannya dari beberapa tafsir. Ibrahim as., dan pengikutnya menyatakan lepas
dari kaumnya, dan di dalam kaumnya itu terdapat ayahnya, saudara-saudaranya dan
keluarganya. Mereka melepaskan hubungan dan menolak agama mereka yang batil,
jalan hidup mereka yang sesat, mulai dari penyemabahan berhala, meyakini adanya
sekutu bagi Allah, dan sebagainya.
Nabi Ibrahim dan kaumnya
menyatakan permusuhan dan kebencian dengan mereka. Nabi Ibrahim dan kaumnya
menyatakan dengan bahasa yang tegas dan jelas bahwa permusuhan ini bersifat
permanen, sehingga mereka mau beriman kepada Allah saja. Sikap komunitas muslim ini adalah mufashalah
(pemutusan) permanen antara mereka dengan kaum kafir dan musyrik. Sikap yang
menunjukkan tajarrud mereka yang total kepada Allah SWT.
Demikianlah umat ini–Nabi
Ibrahim dan pengikutnya dijadikan sebagai teladan kebaikan bagi orang beriman
meskipun berbeda ruang dan waktu. Mereka dapat meneladani sikap mulia ini dalam
menghadapi jahiliyah di manapun dan kapan pun mereka berada. Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu
beriman kepada Allah saja. (QS. Al
Mumtahanah: 4)
Kemudian Allah SWT., menerangkan
bahwa kelompok kecil orang beriman ketika meninggalkan kaumnya, berlepas diri
dari mereka, segera mengahadapkan diri kepada Allah SWT., dengan berseru yang
artinya: "Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan
hanya kepada Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami
kembali." (QS. Al Mumtahanah:
4)
Ikatan Iman Terkuat
Perlu diketahui dengan yakin
bahwa meneladani Nabi Ibrahim dan para pengikutnya tidak hanya berlepas diri
dari semua elemen yang bertentangan dengan akidah Islam saja, tetapi perlu
meneladani keseluruhan sirah dan pengalaman yang mereka alami ketika merasakan
hubungan kekerabatan dengan seluruh cabang dan akarnya. Dengan itu maka akan
menjadi cabang atau ranting dari pohon besar yang berakar kuat bercabang lebat,
teduh dan rindang, pohon yang ditanaman oleh kaum muslimin pertama – Nabi
Ibrahim alaihissalam.
Dari sinilah kita temukan hakikat
yang jelas dan gamblang yang dapat kita yakini, yaitu pernyataan permusuhan dan
kebencian kepada siapapun yang lebih mengutamakan dunia dari pada akhirat,
menolak menyembah Allah, atau mensekutukan Allah dengan apa pun; walaupun yang
dimusuhi itu adalah orang yang paling dekat dengan kita seperti ayah, ibu,
anak, saudara, keluarga, isteri. Tidak menyisakan ruang kosong bagi perasaan
cinta dan belas kasihan kepada mereka selama mereka lebih memilih kufur
daripada iman, lebih memilih duniawi dari pada akhirat.
Dapat kami katakan kami tidak
akan menyisakan ruang kosong bagi perasaan belas kasihan di dalam hati kami,
sehingga kami kehilangan teladan yang telah Allah SWT., perintahkan kepada kami
untuk meneladaninya -Nabi Ibrahim as dan para pengikutnya. Allah berfirman yang
artinya:
Katakanlah: "Jika bapa-bapa ,
anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan
dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan
NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (QS. At-Taubah: 24). Rasulullah saw.,
bersabda: ”Sesungguhnya ikatan Iman yang paling adalah engkau mencintai
karena Allah dan membenci karena Allah”.
Cinta dan Benci Karena Allah Bukti Tajarrud
Ketika hakikat cinta dan benci
karena Allah sudah bersemayam dalam jiwa maka hal ini menunjukkan tajarrud yang bersangkutan kepada Allah SWT.
Tajarrud ini juga menunjukan keaslian
agama pertama, ketika Allah mengutus rasul-Nya, menurunkan kitab suci-Nya.
Itulah keikhlasan, seperti yang diterangkan oleh Imam Ibnu Taimiyah
rahimahullah, dalam ungkapannya : ”Prinsip ikhlas ini adalah dasar agama, dan
seberapa besar realisasinya maka itulah hakikat agama seseorang. Karenanya
Allah mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, karenanya pula para rasul,
berdakwah, berjihad, memerintahkan, dan memotovasi, itulah pusat agama yang
semua berputar di atasnya”. Ia juga mengatakan: ”Hati itu jika tidak berpihak menghadap Allah, berpaling dari
selain-Nya, maka ia menjadi orang yang mensekutukan (Allah)”. Allah
berfirman dalam surat Ar-Rum : 30-32 yang artinya: ”Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”, ”dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah
kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah”, ”Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan
mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka”.
Maka bersemangatlah pada dasar
kebaikan dan pemuka semua urusan ini. Sadarilah bahwa kebahagiaan dan
kenikmatan agama ini tersimpan dalam keikhlasan dan tajarrud hanya kepada
Allah, mencintai-Nya dengan mengikuti rasul-Nya, takut hanya kepada-Nya dengan
senantiasa tsabat (kokoh bertahan) di
jalan agama-Nya, tidak sedikitpun keluar dari jalan itu, mengharapkan-Nya
dengan senantiasa berlomba dalam kebaikan, meraih ridha-Nya dengan senantiasa
berdzikir dan mensykuri-Nya, cinta dan benci hanya karena-Nya. Tidak ada makna lain dari kalimat tauhid ” La ilaaha illallah” selain yang kami
jelaskan di atas.
Ibnu Qayyim berkata: ”Sesungguhnya setiap orang memiliki sisi untuk melawan
perintah dan larangan. Maka menjadi keharusan untuk melepaskan diri dari sifat ini
dan istiqamah di atas perintah dan larangan Allah sehingga menjadi manusia yang
menghambakan diri kepada Allah, bukan menjadi hamba bagi diri sendiri”.
Hasan Al Banna mengatakan: ”Tajarrud adalah dengan cara membebaskan
pikiranmu dari selainnya, baik berupa mabadi (dasar-dasar pemikiran), dan
figur. Karena (Islam) adalah fikrah tertinggi, dan terlengkap”. Kemudian ia
sebutkan dalam surat Al Baqoroh :138
dan surat Al Mumtahanah : 4 yang
artinya: ”Shibghah Allah dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada
Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah”. (QS. Al Baqarah:138). ”Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia” (QS. AL
Mumtahanah: 4).
Marilah kita hindari jahiliyah
yang ada sekarang ini, kita lawan karena Allah. Agar kita dapat tajarrud hanya kepada-Nya.
Allah SWT., berfirman yang artinya: ”Karib Kerabat dan anak-anakmu
sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan
antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. AL Mumtahanah: 3).
Isolasi dan perlawanan
terhadap jahiliyah ini dengan seluruh komponennya pada hakekatnya adalah nikmat
dari sekian banyak nikmat Allah yang diberikan kepada kita. Allah SWT., berfirman
yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim:
6).
Abdullah ibnu Abbas memaknai
ayat 6 surah At Tahrim itu dengan
mengatakan: ” Berbuatlah untuk mentaati
Allah SWT., dan jauhilah perbuatan maksiat kepadanya. Serulah
keluargamu untuk senantiasa mengingatnya, niscaya Allah akan selamatkan kamu
dari neraka”. Ibnu Abbas
juga mengatakan: ”Didiklah
keluargamu, demikian juga kita ajak masyarakat di sekitar kita sehingga dakwah
tersebar merata dan semakin banyak orang baik dan semakin banyak penegak
keadilan, kemudian secara bersama-sama masyarakat ini dapat keluar dari
himpitan dunia dan siksa akhirat menuju kebahagian dunia dan keselamatan
akhirat”.
Allah SWT., berfirman surat Al Mumtahanah : 7-9 yang artinya: ”Mudah-mudahan
Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di
antara mereka. dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
Berlaku adil”. ”Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barang siapa menjadikan
mereka sebagai kawan, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. AL Mumtahanah: 7-9).
Ayat ini memberikan busyra
(kabar gembira) kepada kaum mukminin, bahwa Allah SWT., akan menjadikan rasa
cinta antara mereka dengan para musuhnya jika para musuh itu memenuhi seruan
Allah, menolak thaghut. Dan Allah
Maha Kuasa, Maha Pengampun dan Maha Penyayang.