Kamis, 21 Juni 2012

AT TAJARRUD

Buletin Gema At-Taqwa (Jumat, 22 Juni 2012)
oleh  : Sugino Abdurrahman, S.Pd.I.
Ketua PD Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) Kota Cirebon

Makna Tajarrud Menurut Syar’iy
Tajarrud menurut syar’iy berarti memfokuskan diri hanya karena Allah, meniadakan orientasi kepada siapapun dan apapun selain-Nya. Hendaknya gerak dan diam dalam sembunyi dan terang hanya dilakukan karena Allah, tidak ada intervensi nafsu, keinginan pribadi, tidak ada motivasi duniawi, kedudukan dan kekuasaan.
Hal ini tidak berarti melepaskan diri dari kehidupan dunia dan keperluannya, bahkan menjadikan dunia sebagai sarana memperoleh balasan di sisi Allah, sebagaimana hadits Rosululloh saw.,  yang artinya; ”Dan pada kemaluan salah seorang di antaramu terdapat sedekah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulallah, seseorang menyalurkan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala? Jawab Nabi: Bukankah jika ia menyalurkan di jalan haram mendapatkan dosa, maka demikianlah jika ia menyalurkan dengan halal maka ia mendapatkan pahala” (HR. Muslim). ”Sesungguhnya tidak satupun yang kamu infakkan karena mengharapkan Allah, pasti kamu akan mendapatkan pahala, termasuk yang kamu infakkan di mulut isterimu” (HR. Al Bukhari)
Dan Allah SWT., berfirman yang artinya: ”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya Kami berlepas diri dari pada kamu dari dari pada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah: 4)
Ayat ini dapat kita pahami muatannya dari beberapa tafsir. Ibrahim as., dan pengikutnya menyatakan lepas dari kaumnya, dan di dalam kaumnya itu terdapat ayahnya, saudara-saudaranya dan keluarganya. Mereka melepaskan hubungan dan menolak agama mereka yang batil, jalan hidup mereka yang sesat, mulai dari penyemabahan berhala, meyakini adanya sekutu bagi Allah, dan sebagainya.
Nabi Ibrahim dan kaumnya menyatakan permusuhan dan kebencian dengan mereka. Nabi Ibrahim dan kaumnya menyatakan dengan bahasa yang tegas dan jelas bahwa permusuhan ini bersifat permanen, sehingga mereka mau beriman kepada Allah saja. Sikap komunitas muslim ini adalah mufashalah (pemutusan) permanen antara mereka dengan kaum kafir dan musyrik. Sikap yang menunjukkan tajarrud mereka yang total kepada Allah SWT.
Demikianlah umat ini–Nabi Ibrahim dan pengikutnya dijadikan sebagai teladan kebaikan bagi orang beriman meskipun berbeda ruang dan waktu. Mereka dapat meneladani sikap mulia ini dalam menghadapi jahiliyah di manapun dan kapan pun mereka berada. Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (QS. Al Mumtahanah: 4)
Kemudian Allah SWT., menerangkan bahwa kelompok kecil orang beriman ketika meninggalkan kaumnya, berlepas diri dari mereka, segera mengahadapkan diri kepada Allah SWT., dengan berseru yang artinya: "Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali." (QS. Al Mumtahanah: 4)

Ikatan Iman Terkuat
Perlu diketahui dengan yakin bahwa meneladani Nabi Ibrahim dan para pengikutnya tidak hanya berlepas diri dari semua elemen yang bertentangan dengan akidah Islam saja, tetapi perlu meneladani keseluruhan sirah dan pengalaman yang mereka alami ketika merasakan hubungan kekerabatan dengan seluruh cabang dan akarnya. Dengan itu maka akan menjadi cabang atau ranting dari pohon besar yang berakar kuat bercabang lebat, teduh dan rindang, pohon yang ditanaman oleh kaum muslimin pertama – Nabi Ibrahim alaihissalam.
Dari sinilah kita temukan hakikat yang jelas dan gamblang yang dapat kita yakini, yaitu pernyataan permusuhan dan kebencian kepada siapapun yang lebih mengutamakan dunia dari pada akhirat, menolak menyembah Allah, atau mensekutukan Allah dengan apa pun; walaupun yang dimusuhi itu adalah orang yang paling dekat dengan kita seperti ayah, ibu, anak, saudara, keluarga, isteri. Tidak menyisakan ruang kosong bagi perasaan cinta dan belas kasihan kepada mereka selama mereka lebih memilih kufur daripada iman, lebih memilih duniawi dari pada akhirat.
Dapat kami katakan kami tidak akan menyisakan ruang kosong bagi perasaan belas kasihan di dalam hati kami, sehingga kami kehilangan teladan yang telah Allah SWT., perintahkan kepada kami untuk meneladaninya -Nabi Ibrahim as dan para pengikutnya. Allah berfirman yang artinya:
Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (QS. At-Taubah: 24). Rasulullah saw., bersabda: ”Sesungguhnya ikatan Iman yang paling adalah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah”.

Cinta dan Benci Karena Allah Bukti  Tajarrud
Ketika hakikat cinta dan benci karena Allah sudah bersemayam dalam jiwa maka hal ini menunjukkan tajarrud yang bersangkutan kepada Allah SWT. Tajarrud ini juga menunjukan keaslian agama pertama, ketika Allah mengutus rasul-Nya, menurunkan kitab suci-Nya. Itulah keikhlasan, seperti yang diterangkan oleh Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dalam    ungkapannya : ”Prinsip ikhlas ini adalah dasar agama, dan seberapa besar realisasinya maka itulah hakikat agama seseorang. Karenanya Allah mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, karenanya pula para rasul, berdakwah, berjihad, memerintahkan, dan memotovasi, itulah pusat agama yang semua berputar di atasnya”. Ia juga mengatakan: ”Hati itu jika tidak berpihak menghadap Allah, berpaling dari selain-Nya, maka ia menjadi orang yang mensekutukan (Allah)”. Allah berfirman dalam surat  Ar-Rum : 30-32 yang artinya: ”Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, ”dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”, ”Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.
Maka bersemangatlah pada dasar kebaikan dan pemuka semua urusan ini. Sadarilah bahwa kebahagiaan dan kenikmatan agama ini tersimpan dalam keikhlasan dan tajarrud hanya kepada Allah, mencintai-Nya dengan mengikuti rasul-Nya, takut hanya kepada-Nya dengan senantiasa tsabat (kokoh bertahan) di jalan agama-Nya, tidak sedikitpun keluar dari jalan itu, mengharapkan-Nya dengan senantiasa berlomba dalam kebaikan, meraih ridha-Nya dengan senantiasa berdzikir dan mensykuri-Nya, cinta dan benci hanya karena-Nya. Tidak ada makna lain dari kalimat tauhid ” La ilaaha illallah” selain yang kami jelaskan di atas.
Ibnu Qayyim berkata: ”Sesungguhnya setiap orang memiliki sisi untuk melawan perintah dan larangan. Maka menjadi keharusan untuk melepaskan diri dari sifat ini dan istiqamah di atas perintah dan larangan Allah sehingga menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah, bukan menjadi hamba bagi diri sendiri”.
Hasan Al Banna mengatakan: ”Tajarrud adalah dengan cara membebaskan pikiranmu dari selainnya, baik berupa mabadi (dasar-dasar pemikiran), dan figur. Karena (Islam) adalah fikrah tertinggi, dan terlengkap”. Kemudian ia sebutkan dalam surat Al Baqoroh :138 dan surat Al Mumtahanah : 4 yang artinya: ”Shibghah Allah dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah”. (QS. Al Baqarah:138). ”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia” (QS. AL Mumtahanah: 4).
Marilah kita hindari jahiliyah yang ada sekarang ini, kita lawan karena Allah. Agar kita dapat tajarrud  hanya kepada-Nya. Allah SWT., berfirman yang artinya: ”Karib Kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. AL Mumtahanah: 3).
Isolasi dan perlawanan terhadap jahiliyah ini dengan seluruh komponennya pada hakekatnya adalah nikmat dari sekian banyak nikmat Allah yang diberikan kepada kita. Allah SWT., berfirman yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim: 6).
Abdullah ibnu Abbas memaknai ayat 6 surah At Tahrim itu dengan mengatakan: ” Berbuatlah untuk mentaati Allah SWT., dan jauhilah perbuatan maksiat kepadanya. Serulah keluargamu untuk senantiasa mengingatnya, niscaya Allah akan selamatkan kamu dari neraka”. Ibnu Abbas juga mengatakan: Didiklah keluargamu, demikian juga kita ajak masyarakat di sekitar kita sehingga dakwah tersebar merata dan semakin banyak orang baik dan semakin banyak penegak keadilan, kemudian secara bersama-sama masyarakat ini dapat keluar dari himpitan dunia dan siksa akhirat menuju kebahagian dunia dan keselamatan akhirat”.
Allah SWT., berfirman surat Al Mumtahanah : 7-9 yang artinya: ”Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil”. ”Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. AL Mumtahanah: 7-9).
Ayat ini memberikan busyra (kabar gembira) kepada kaum mukminin, bahwa Allah SWT., akan menjadikan rasa cinta antara mereka dengan para musuhnya jika para musuh itu memenuhi seruan Allah, menolak thaghut. Dan Allah Maha Kuasa, Maha Pengampun dan Maha Penyayang.