Kamis, 11 Oktober 2012

“ KEUTAMAAN ORANG YANG MENUNTUT ILMU SYAR’I “


Oleh ;
Drs. H. KOMARUDIN, KS. M.Pd
Dosen Unswagati Cirebon 

Semoga Allah Swt senantiasa  mengaruniakan kepada kita sifat-sifat dan keyakinan, dan meminta kita ke jalan orang –orang yang  bertaqwa, melengkapi diri dengan  ilmu syar’i adalah fardu ‘ ain atas setiap muslim dan muslimah. Karenanya tidak ada alasan sama sekali bagi setiap muslim dan muslimah untuk mengabaikannya.

 Seseorang yang senang  mempelajari ilmu syar’i akan  senantiasa mendapatkan  berbagai macam keutamaan yang tidak akan pernah diperoleh oleh orang yang tidak  mempelajarinya. Oleh karena itu,  saudara – saudara sekalian  disini akan ditegaskan  bahwa sesungguhnya Allah akan   membedakan dan menambahkan  nilai lebih kepada hambah-hamba-Nya berdasarkan ilmu yang dimilikinya.  Sebab telah terbukti ada banyak keutamaan yang dapat diperoleh oleh para penuntut  ilmu syar’i, namun pada kesemptan kali  kami penulis hanya akan menguraikan beberapa keutamaan di antaranya  di antara lain sebagai berikut;
Pertama : Bahwasanya  Allah Ta’ala akan mengangkat derajat orang yang menuntut ilmu,  sebagaimana disebutkan dalam firman- Nya.  Artinya: “… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” ( Qs. Al-Mujadilah: 11)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mengambarkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman karena mereka berhak mendapatkannya.  Huruf al  dalam kata al-‘ilm pada ayat di atas menunjukkan ahdiyyah  atau pengkhususan terhadap satu jenis ilmu, bukan menunjukkan jinsiyyah atau keumuman atas semua jenis ilmu, karena yang mendapatkan hak  untuk dinaikkan derajatnya oleh Allah hanyalah orang yang memiliki ilmu syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan mencakup pada semua jenis ilmu. [Lihat Bahjatun Nazhirin (II/462-463) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/285)]
Al-kisah disebutkan  bahwa pernah ada seseorang yang lehernya cacat, sehingga dia selalu menjadi bahan ejekan orang-orang disekitarnya. Kemudian ibunya berkata kepadanya, “Hendaklah engkau menuntut ilmu, niscaya Allah akan mengangkat derajatmu.”. Lalu orang tersebut menuntut ilmu syar’i sampai dia menjadi seorang yang ‘alim (pandai), sehingga dia diangkat menjadi Hakim di Mekah selama 20 tahun. Dan jika ada seseorang yang memiliki perkara duduk dihadapannya, gemetarlah seluruh tubuhnya sampai dia berdiri. [Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 26) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga  (hal. 33)]
Kedua ;  Allah Ta’ala menjadikan kebaikan untuknya, sebagaimana dalam sabda Nabi saw ; Artinya: “Barang siapa yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah, Dia akan menjadikannya mengerti tentang (urusan) agamanya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (No. 71, 3116,)
Hadits di atas menyebutkan tentang keutamaan mempelajari ilmu syar’i dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya adalah orang yang tidak dikehendaki kebaikannya oleh Allah. Sebaliknya orang yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah maka Dia memberikannya pemahaman dalam agamanya. Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah pernah berkata, “Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 39)]
Ketiga : Bahwasannya orang yang menuntut ilmu syar’i dan memiliki ilmu syar’i dikecualikan dari laknat Allah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat; Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat pula apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim, dan seorang yang menuntut ilmu.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Majah (no. 4112), Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 1708), Ibnu Abi ‘Ashim dalam Az-Zuhd (no. 57), dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/150, no. 135), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Hadits di atas menyebutkan tentang keutamaan ilmu syar’i,  bahwasanya orang-orang yang berilmu, dan orang-orang yang menuntutnya. dalam proses menuntut ilmu syar’i, manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang yang ‘alim sebagai pengajar dan orang yang menuntutnya (pelajar). Keduanya berada di atas jalan yang lurus dan selamat. [Lihat Bahjatun Nazhirin (I/542-543) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (II/307)]
Keempat : Bahwasannya orang yang menuntut ilmu syar’i diibaratkan seperti seorang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,.Artinya: “Barang siapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, dia ibarat seorang yang berjihad di jalan Allah. Dan barang siapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu, dia ibarat orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad  II/350,)
Apabila berjihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan lebih didahulukan dari pada jihad dengan pedang dan tombak. Sebagaimana Allah Ta’ala pernah memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berjihad dengan Al-Qur’an untuk melawan orang-orang kafir, seperti disebutkan dalam firman-Nya . “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah kepada mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.” (Qs. Al-Furqan: 52)
Kelima : Bahwasannya orang yang menuntut ilmu syar’i akan dimudahkan jalannya menuju Surga, dimohonkan ampun oleh penduduk langit dan bumi, serta dinaungi oleh sayap-sayap para Malaikat. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi saw.”Artinya: “Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah memudahkan jalannya menuju Surga. sesungguhnya para Malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha atas apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya orang yang berilmu benar-benar dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi, bahkan oleh ikan-ikan yang berada di dalam air.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3641),
Penjelasan kalimat “jalan untuk menuntut ilmu mengandung dua makna, yaitu:  Pertama, menempuh jalan untuk menuntut ilmu dalam artian yang sebenarnya, seperti berjalan kaki menuju majelis-majelis ilmu. Sedangkan Kedua,  adalah menempuh jalan atau cara yang dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh ilmu syar’i, seperti membaca, menghapal, menela’ah, dan sebagainya.
Sedangkan penjelasan pada kalimat Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga mengandung dua makna juga, yaitu : Pertama, Allah akan memudahkan orang yang menuntut ilmu semata-mata karena mencari keridhaan Allah, mengambil manfaat, dan mengamalkannya, untuk memasuki Surga-Nya.  Sedangkan yang  Kedua, Allah akan senantiasa memudahkan jalan baginya menuju Surga ketika melewati titian ash-shirathal mustaqim pada hari Kiamat dan memudahkannya dari berbagai kengerian pada sebelum dan sesudahnya. [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (II/297,)
Jalan menuju Surga yang diperuntukkan bagi para penuntut ilmu ini merupakan ganjaran dari Allah akibat usaha yang pernah ditempuhnya selama di dunia untuk mencari ilmu yang akan mengantarkannya kepada ridha Rabbnya. Sedangkan para Malaikat yang membentangkan sayap-sayapnya merupakan suatu bentuk kerendahan hati, penghormatan, dan pengagungan mereka kepada para penyandang dan para pencari martabat pewaris kenabian ini.
Keenam : Bahwasannya orang yang memiliki ilmu dan mengajarkannya akan tetap mendapatkan pahala atas ilmu yang telah diajarkannya tersebut selama ilmu itu diamalkan, meskipun dia telah meninggal dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,  Artinya: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, amalannya terputus, kecuali tiga hal (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38),
Hadits ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu juga besarnya buah dari ilmu yang dimiliki seseorang. Karena pahala ilmu yang telah diajarkan kepada orang lain, akan tetap diterima oleh pemiliknya selama ilmu tersebut diamalkan oleh orang lain. Meskipun dia telah meninggal dunia dan seluruh amalannya telah terputus, namun akibat ilmu yang diajarkannya kepada orang lain membuatnya seolah-olah tetap hidup dan amalnya tidak terputus. Hal ini selain menjadi kenangan dan sanjungan bagi pemilik ilmu tersebut, juga menjadi kehidupan kedua baginya, karena dia tetap merasakan pahala yang mengalir untuknya ketika semua pahala amal perbuatan telah terputus darinya. [Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 46)]