Oleh ;
Drs. H.
KOMARUDIN, KS. M.Pd
Dosen Unswagati Cirebon
Semoga Allah Swt senantiasa mengaruniakan kepada kita sifat-sifat dan
keyakinan, dan meminta kita ke jalan orang –orang yang bertaqwa, melengkapi diri dengan ilmu syar’i adalah fardu ‘ ain atas setiap
muslim dan muslimah. Karenanya tidak ada alasan sama sekali bagi setiap muslim
dan muslimah untuk mengabaikannya.
Seseorang yang senang
mempelajari ilmu syar’i akan senantiasa mendapatkan berbagai macam keutamaan yang tidak akan
pernah diperoleh oleh orang yang tidak mempelajarinya. Oleh karena itu, saudara – saudara sekalian disini akan ditegaskan bahwa sesungguhnya Allah akan membedakan dan menambahkan nilai lebih kepada hambah-hamba-Nya berdasarkan
ilmu yang dimilikinya. Sebab telah
terbukti ada banyak keutamaan yang dapat diperoleh oleh para penuntut ilmu syar’i, namun pada kesemptan kali kami penulis hanya akan menguraikan beberapa
keutamaan di antaranya di antara lain
sebagai berikut;
Pertama : Bahwasanya Allah Ta’ala akan mengangkat derajat
orang yang menuntut ilmu, sebagaimana
disebutkan dalam firman- Nya. Artinya: “…
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” ( Qs. Al-Mujadilah: 11)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mengambarkan bahwa
Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman karena mereka
berhak mendapatkannya. Huruf al dalam kata al-‘ilm pada ayat di atas
menunjukkan ahdiyyah atau
pengkhususan terhadap satu jenis ilmu, bukan menunjukkan jinsiyyah atau
keumuman atas semua jenis ilmu, karena yang mendapatkan hak untuk dinaikkan derajatnya oleh Allah hanyalah
orang yang memiliki ilmu syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan bukan mencakup pada semua jenis ilmu. [Lihat Bahjatun
Nazhirin (II/462-463) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah
(IV/285)]
Al-kisah disebutkan bahwa pernah ada seseorang yang lehernya
cacat, sehingga dia selalu menjadi bahan ejekan orang-orang disekitarnya.
Kemudian ibunya berkata kepadanya, “Hendaklah engkau menuntut ilmu, niscaya
Allah akan mengangkat derajatmu.”. Lalu orang tersebut menuntut ilmu syar’i
sampai dia menjadi seorang yang ‘alim (pandai), sehingga dia diangkat menjadi
Hakim di Mekah selama 20 tahun. Dan jika ada seseorang yang memiliki perkara
duduk dihadapannya, gemetarlah seluruh tubuhnya sampai dia berdiri. [Lihat Al-‘Ilmu
Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 26) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga
(hal. 33)]
Kedua ; Allah Ta’ala menjadikan kebaikan
untuknya, sebagaimana dalam sabda Nabi saw ; Artinya: “Barang siapa
yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah, Dia akan menjadikannya mengerti
tentang (urusan) agamanya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (No.
71, 3116,)
Hadits di atas menyebutkan tentang keutamaan mempelajari
ilmu syar’i dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa
orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya adalah orang yang tidak
dikehendaki kebaikannya oleh Allah. Sebaliknya orang yang dikehendaki
kebaikannya oleh Allah maka Dia memberikannya pemahaman dalam agamanya. Imam
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah pernah berkata, “Kebaikan di dunia
adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga.”
[Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230) dan Menuntut Ilmu
Jalan Menuju Surga (hal. 39)]
Ketiga : Bahwasannya orang yang menuntut ilmu syar’i dan
memiliki ilmu syar’i dikecualikan dari laknat Allah, sebagaimana disebutkan
dalam sebuah riwayat; Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat
dan dilaknat pula apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan
ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim, dan seorang yang menuntut ilmu.”
(Hadits hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Majah (no. 4112),
Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 1708), Ibnu Abi ‘Ashim dalam Az-Zuhd
(no. 57), dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/150, no.
135), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Hadits di atas menyebutkan tentang keutamaan ilmu syar’i, bahwasanya orang-orang yang berilmu, dan
orang-orang yang menuntutnya. dalam proses menuntut ilmu syar’i, manusia
terbagi menjadi dua, yaitu orang yang ‘alim sebagai pengajar dan orang yang
menuntutnya (pelajar). Keduanya berada di atas jalan yang lurus dan selamat.
[Lihat Bahjatun Nazhirin (I/542-543) dan Syarah Riyadhush Shalihin
Terjemah (II/307)]
Keempat : Bahwasannya orang yang menuntut ilmu syar’i
diibaratkan seperti seorang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,.Artinya: “Barang
siapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan untuk
mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, dia ibarat seorang yang berjihad di
jalan Allah. Dan barang siapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu, dia
ibarat orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya.” [Hadits hasan,
diriwayatkan oleh Ahmad II/350,)
Apabila berjihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan
lebih didahulukan dari pada jihad dengan pedang dan tombak. Sebagaimana Allah Ta’ala
pernah memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
berjihad dengan Al-Qur’an untuk melawan orang-orang kafir, seperti disebutkan
dalam firman-Nya . “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan
berjihadlah kepada mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.” (Qs.
Al-Furqan: 52)
Kelima : Bahwasannya orang yang menuntut ilmu syar’i akan
dimudahkan jalannya menuju Surga, dimohonkan ampun oleh penduduk langit dan
bumi, serta dinaungi oleh sayap-sayap para Malaikat. Sebagaimana disebutkan
dalam sabda Nabi saw.”Artinya: “Barang siapa menempuh suatu jalan
untuk menuntut ilmu maka Allah memudahkan jalannya menuju Surga. sesungguhnya
para Malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena
ridha atas apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya orang yang berilmu
benar-benar dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi, bahkan oleh
ikan-ikan yang berada di dalam air.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu
Dawud (no. 3641),
Penjelasan kalimat “jalan
untuk menuntut ilmu” mengandung dua makna, yaitu: Pertama,
menempuh jalan untuk menuntut ilmu dalam artian yang sebenarnya,
seperti berjalan kaki menuju majelis-majelis ilmu. Sedangkan Kedua, adalah
menempuh jalan atau cara yang dapat mengantarkan seseorang untuk
memperoleh ilmu syar’i, seperti membaca, menghapal, menela’ah, dan sebagainya.
Sedangkan penjelasan pada kalimat “Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mengandung dua
makna juga, yaitu : Pertama, Allah
akan memudahkan orang yang menuntut ilmu semata-mata karena mencari keridhaan
Allah, mengambil manfaat, dan mengamalkannya, untuk memasuki Surga-Nya. Sedangkan yang
Kedua, Allah
akan senantiasa memudahkan jalan baginya menuju Surga ketika melewati titian ash-shirathal
mustaqim pada hari Kiamat dan memudahkannya dari berbagai kengerian pada
sebelum dan sesudahnya. [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (II/297,)
Jalan menuju Surga yang diperuntukkan bagi para penuntut
ilmu ini merupakan ganjaran dari Allah akibat usaha yang pernah ditempuhnya
selama di dunia untuk mencari ilmu yang akan mengantarkannya kepada ridha
Rabbnya. Sedangkan para Malaikat yang membentangkan sayap-sayapnya merupakan
suatu bentuk kerendahan hati, penghormatan, dan pengagungan mereka kepada para
penyandang dan para pencari martabat pewaris kenabian ini.
Keenam : Bahwasannya orang yang memiliki ilmu dan
mengajarkannya akan tetap mendapatkan pahala atas ilmu yang telah diajarkannya
tersebut selama ilmu itu diamalkan, meskipun dia telah meninggal dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, Artinya: “Apabila seorang manusia
meninggal dunia, amalannya terputus, kecuali tiga hal (yaitu): sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.” [Hadits shahih,
diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no.
38),
Hadits ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan
kemuliaan ilmu juga besarnya buah dari ilmu yang dimiliki seseorang. Karena
pahala ilmu yang telah diajarkan kepada orang lain, akan tetap diterima oleh
pemiliknya selama ilmu tersebut diamalkan oleh orang lain. Meskipun dia telah
meninggal dunia dan seluruh amalannya telah terputus, namun akibat ilmu yang
diajarkannya kepada orang lain membuatnya seolah-olah tetap hidup dan amalnya
tidak terputus. Hal ini selain menjadi kenangan dan sanjungan bagi pemilik ilmu
tersebut, juga menjadi kehidupan kedua baginya, karena dia tetap merasakan
pahala yang mengalir untuknya ketika semua pahala amal perbuatan telah terputus
darinya. [Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242) dan Menuntut
Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 46)]