( Part.2 )
Oleh : Buya Yahya
Penasehat At-Taqwa Centre/
Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah
Cirebon
Sebagai seorang yang beragama Islam kamipun akan mencoba
menampilkan wajah agama yang kami peluk sebagai gambaran umum sekaligus asasi
tentang Islam dan pluralism seperti yang kami ungkapkan di awal tulisan ini
bahwa sebenarnya kita tidak butuh dengan kalimat pluralism, karena kalimat
tersebut telah diperkosa dan di aniaya sekelompok orang demi kepentinganya.
Ada hal penting dalam pluralisme yaitu masalah toleransi
dengan semua yang berbeda. Konon toleransi adalah ruh pluralisme . Agar di
ketauhi jika kita berbuat baik kepada tetangga atau orang yang berbeda agama
dengan kita. Perkenan Islam kepada
non-muslim untuk tinggal di dalam
masyarakat Islam (negara Islam) berikut kebebasanya dalam beraktifitas juga kebebasan dalam beribadah itu semua
bukanlah sebuah toleransi. Akan tetapi hal itu merupakan ketetapan hukum yang
telah ditetapkan oleh Islam. Suatu kesalahan jika ketetapan hukum dianggap
sebagai toleransi. Sebab toleransi tidak lebih dari menjatuhkan hak atau
merelakan haknya untuk tidak dipenuhi dan itupun ada batasan-batasan yang harus
dipatuhi. Yang ada dalam Islam lebih
agung dari toleransi yaitu kewajiban
memenuhi hak orang lain.
Untuk lebih jelasnya kita bisa merujuk pada Nabi Islam,
sosok pencipta dan pencetus keindahan dalam kebersamaam yang paripurna. Para
pengikutnya pun seharusnya meniti jejak beliau. Mewujudkan keindahan dalam
kebersamaan dalam Islam tidak diperlukan
berbagai macam toleransi, sebab makna kebersamaan sendiri telah ditetapkan Islam dalam
hukum-hukum yang jelas. Hanya dengan kembali kepada agamanya seorang
muslim akan menjadi seorang yang indah
dalam kebersamaan.
Di saat Nabi Muhammad SAW memasuki Madinah, beliau menjamin
masyarakat Yahudi dengan kebebasan beraktifitas dan menikmati haknya serta
memberikan perlindungan keamanan dari penghianatan dan gangguan dari luar (Ibnu
Hisyam 106/2). Padahal jika seandainya Nabi SAW menghardik atau memusnahkan
mereka, beliau tidak akan dicela. Sebab Nabi SAW pernah dikhianati oleh Yahudi
Bani Quraidhoh pasca perang Badar Kubra begitu juga Yahudi Bani Nadzir pasca
perang Uhud. Penghianatan yang lain datang dari Yahudi Bani Quraidhah pasca perang
Khondak. Pun demikian Nabi SAW yang diutus untuk membawa dan memberikan kasih
sayang itu, senantiasa lemah lembut terhadap mereka dengan harapan keharmonisan
bisa tercipta, biarpun orang-orang Yahudi tidak menghendakinya.
Begitu pula pada masa Kholifah Abu Bakar r.a, penerus
dakwah Nabi SAW. Amat banyak cerita yang menunjukan bahwa beliau itu amat indah
menghadapi perbedaan sebagaimana pendahulunya. Diantaranya adalah sepuluh
wasiat beliau yang diberikan kepada Usamah bin Zaid yang berisi larangan menghianati
lawan (dalam perang), membunuh anak kecil, orang tua, wanita, mencincang,
merusak tanaman,membunuh binatang kecuali untuk dimakan,menghancurkan tempat
peribadatan dst. Wasiat semacam ini disampaikan di saat ada perlawanan dari
orang non Islam. Dalam Islam tidak ada istilah memusnahkan orang di luar
Islam akan tetapi yang ada adalah
menyampaikan kebenaran kepada mereka dengan
penuh damai. Status keberadaan non muslim dalam masyarakat Islam juga beliau
kukuhkan sebagaimana pendahulunya
Nabi Muhammad SAW.
Kholifah
Umar r.a pun demikian, seiring
dengan berbondong-bondongnya orang
masuk Islam, wilayah Islampun
dengan sendirinya meluas.
Persilangan budaya, tradisi dan agama beliau
selesaikan dengan cukup kembali kepada hukum yang ditetapkan pendahulunya Nabi
Muhammad SAW. Bahkan di saat terjadinya
peperangan sekalipun beliau tidak lupa mengingatkan pasukannya
seperti yang disampaikan
kepada Sa’ad bin Abi Waqqas
agar menjauhkan pasukannya dari pemukiman non muslim. Ini dengan tujuan
agar tidak memasuki pemukiman mereka kecuali orang yang
benar-benar bisa dipercaya, sehingga tidak berbuat aniaya terhadap hak milik
mereka. Sebab mereka punya hak dan
kehormatan yang harus dilindungi. Yang mereka lakukan bukanlah untuk sebuah
toleransi, tetapi karena itulah ketetapan hukum Islam. Dan masih banyak lagi
suri-tauladan pluralisme pada masa Nabi SAW dan sahabat. Begitu juga sejarah
perluasan Islam, termasuk masuknya Islam ke negara kita yang penuh kedamaian,
bukan melalui peperangan atau penindasan.
Pluralisme punya
satu hakikat yang sungguh diseru oleh Islam. Siapapun harus bisa membedakan
antara pemeluk Islam dan Islam itu sendiri. Gagalnya pluralisme dalam
masyarakat Islam di sebabkan oleh kurang dekatnya mereka kepada ajaran
agamanya.
Musuh-Musuh Pluralisme
Jika kita mengamati sekitar kita, terdapat dua kelompok
yang amat berbahaya terhadap eksistensi pluralisme. Bahkan keberadaan mereka tanpa disadari telah
menghancurkan bangunan pluralisme yang semakin hari semakin rapuh. Mereka adalah
:
1.
Orang-orang yang
eksklusif dalam pemikiran keberagamaan, terkesan sekali dalam sepak terjang
mereka menganggap dunia ini hanya mereka saja yang layak menghuninya. Sementara
pemeluk lain tidak lebih sebagai makhluk jahat yang tidak boleh diberi
kesempatan untuk hidup di bumi ini.
Ekstrimisme inipun hadir bukan tanpa sebab, tetapi ia
adalah sesuatu yang terlahir dari salah satu dari dua hal berikut ini :
a)
Keberadaan agama itu
sendiri yang eksklusif, sarat dengan doktrin-doktrin memusnahkan siapapun yang
tidak sepaham dengan agama tersebut. Hakikat ini ada dalam doktrin agama selain
Islam. Kita bisa lihat bagaimana kelompok Kristen di beberapa kota dan daerah di Sulawesi dan Irian disaat populasi mereka
semakin banyak akan terasa diskriminasi bahkan upaya memusnahkan kaum muslimin
dari tengah tengah mereka.Yang sungguh sangat berbeda jika kaum minoritas
kristen berada di tengah-tengah
mayoritas kaum muslimin.
b)
Kebodohan sang
pemeluk agama (padahal agamanya sangat
inklusif). Beragam aktifitas yang diatas namakan agama yang sering dikomandokan
oleh tokoh pemikir agama yang sempit
dan bukan agamanya yang sempit (tidak kami pungkiri hal ini juga ada dalam
Islam). Hal semacam inilah yang hanya
akan menciptakan masyarakat eksklusif, sempit pandangan dan acuh tak acuh dalam aktifitas ditengah masyarakat yang
plural. Orang seperti ini
telah mengotori agamanya
sendiri tanpa ia sadari.
2.
Orang yang tidak
teguh dalam beragama dalam arti tidak teguh dalam meyakini agamanya (kelompok
ini datang khusus dari agama yang tidak menyeru pada eksklusifisme).
Bahaya yang datang dari kelompok yang terakhir ini lebih besar dari yang
sebelumnya. Sebab sebelum segala sesuatunya kelompok ini telah menghianati
agama itu sendiri dan kemudian membohongi pemeluk-pemeluknya. Kelompok ini
sering hadir dalam bentuk penyamaan terhadap semua agama dan membenarkan semua
agama. Jelasnya begini,sebagai contoh kami
adalah pemeluk agama Islam, lalu kami menyeru kepada umat Islam bahwa
agama Kristen itu juga sama seperti agama Islam. Kitab suci orang Kristen juga
masih asli seperti Al-Qur’an. Kemudian masyarakat yang percaya kepada kami akan
menerima omongan kami mentah-mentah dan meyakininya. Namun setelah mereka
benar-benar berinteraksi dengan agama Kristen ternyata antara dua agama itu terdapat
perbedaan dan pertentangan. Di saat ia mencoba mengerti tentang agama Kristen
ternyata agama itu telah mengklaim kebenaran agamanya, begitu juga saat ia
kembali pada agama Islam, masyarakat Islam pun demikian meyakini kebenaran
agamanya.
Apa yang terjadi setelah itu? Orang yang amat mendengar
seruan saya tersebut berangkat dari semangat pluralismenya yang tulus akan
dengan serta merta menyalahkan orang-orang yang mengklaim kebenaran agama
masing-masing. Baik itu dari masyarakat yang seagama dengannya ataupun yang
berbeda.
Kesimpulannya, ia telah menciptakan dua musuh dalam waktu
yang bersamaan. Musuh dari luar dan musuh dari dalam sendiri. Maka orang
tersebut akan menjadi sumber kerusakan dalam rumah sendiri, juga di luar rumah.
Sementara yang harus kita yakini sebagai umat beragama adalah perbedaan memang
selalu ada dalam hidup bermasyarakat. Ini merupakan kesepakatan semua orang yang berakal, termasuk di dalamnya
perbedaan di dalam beragama dan berkeyakinan. Pluralisme berfungsi dalam arena
interaksi dengan sesama untuk menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat.
Berangkat dari memahami perbedaan sesorang akan mudah dalam mewujudkan
masyarakat yang pluralis.
Perhatikan, betapa anehnya orang yang mengatakan dua
berbeda itu sama; dua kitab suci yang jelas
berbeda bahkan kadang bertentangan adalah
sama; dua agama yang
saling bertentangan adalah
sama-sama benar. Akal sehat mana yang bisa mempercayai pernyataan seperti itu? Ia adalah
musuh besar pluralisme yang mendakwakan dirinya sebagai pembela pluralisme. Ia
adalah maling pluralisme yang menuduh orang lain sebagai maling. Inilah
penyakit yang diidap oleh kaum yang mengaku muslim akan tetapi mereka tidak menyadari.
Bersama Menuju
Pluralisme yang sejati
Ada
banyak hal yang amat menghambat kita dalam mewujudkan semangat pluralisme di
Indonesia diantaranya :
1.
Problem nasional yang
tidak kunjung padam, serta tidak adanya jaminan keamanan bagi masyarakat dari
penguasa, berikut lambatnya penguasa menangani konflik. Hal yang akan
menjadikan semua serba panas, bikin sesak dada, rasa ingin berontak, saling
menyalahkan yang tidak hanya mempertinggi volume ketegangan antar agama tapi
juga antar suku yang kadang juga masih seagama. Solusi problem yang satu ini
lebih tepat jika diserahkan kepada pemerintah dengan syarat “sungguh-sungguh”.
2.
Problem seagama misalnya dalam Islam masih sering terjadi
permusuhan antar kelompok. Berbeda pendapat adalah wajar, tetapi mengklaim
kekafiran atau bid`ah terhadap kelompok tertentu tanpa prosedur yang sah
dalam Islam amat mengganggu jalannya pluralisme.
Belum lagi adanya isu-isu aneh tentang pemikiran (yang
seolah-olah Islami) yang sering diangkat ke permukaan, yang hanya akan menambah
suasana yang sudah panas ini bertambah panas.Yaitu islam yang di suarakan oleh
kelompok islam liberal yang sungguh mereka adalah perusak keharmonisan dalam
masyarakat . Untuk problem ini solusinya adalah mengembalikan permasalahannya
kepada pakar Islam. Pakar yang benar-benar pakar, tercatat pernah mempelajari
Islam dengan benar dengan bimbingan guru yang benar, punya mata rantai keilmuan
dengan guru pluralis Nabi Muhammad SAW.
3.
Problem moral seperti
banyaknya kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat kita, mulai
dari pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, korupsi, dll adalah potret
nyata jauhnya masyarakat kita dari tata moral agama. Pelakunya pun merata di
seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari rakyat kecil, pejabat, orang awam,
bahkan tokoh agama. Hal semacam ini yang menimbulkan keraguan terhadap fungsi
agama sebagai cara dan
jalan hidup. Padahal jelas
kesalahan bukan di agama tapi pada
pemeluk agama. Orang yang semacam ini amatlah sulit untuk diajak
mengerti tentang pluralisme, apa lagi untuk
menerapkanya. Padahal
pluralisme adalah puncak
moralitas.
Untuk problem yang
satu ini adalah
Pekerjaan Rumah (PR) bagi
semuanya, mulai dari penguasa, tokoh agama, lembaga-lembaga sosial dan keagamaan dan setiap
individu, untuk sama-sama menyadari pentingnya bermoral dalam beragama dan
bermasyarakat. Karena moral sifatnya “kesadaran penuh” saat disaksikan
orang atau tidak. Maka
pembinaannyapun tidak cukup dengan penegakan hukum
oleh penguasa, tapi lebih
dari itu, harus tercipta kesadaran dalam beragama. Artinya keyakinan akan adanya
hari pembalasan, keyakinan bahwa yang
lolos dari hukuman
di dunia tidak akan
lolos dari hukuman Tuhan di
hari pembalasan. Dan kebaikan
yang kita lakukan
sekarang akan kitak
petik buahnya kelak.
Dengan demikian
pintu akan terbuka lebar
untuk mewujudkan pluralisme atau bahkan
dengan sendirinya pluralisme
akan terwujud. Karena pluralisme tidak lain
adalah tata moral
dalam bermasyarakat, baik itu sesuku, seagama, antar agama dan antar
bangsa dengan menjauhkan problem sosial, agama dan moral dalam individu dan
masyarakat. dengan penuh pengharapan kepada Allah semoga pluralisme
tidak hanya di layar atau di selebaran terbaca dan meja diskusi. Tetapi akan
benar-benar tertanam dalam hati bangsa Indonesia lalu diterjemahkan
kedalam dunia interaksi hingga
negeri ini akan tentram damai
penuh rahmat dan pengampunan dari Allah SWT.
Sebagai penutup, karena begitu dekatnya istilah pluralisme
dengan lidah kelompok islam liberal maka
alangkah bijaknya jika kita setelah ini tidak usah menggunakan istilah tersebut
dalam bahasa sosial kita agar tidak menjerumuskan orang yang tulus pada kelompok
tersebut. Wallahu a’lam bishshowaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar