Oleh:
Ibnu Malik, S.Pd.I.
(Redaktur
Gema At-Taqwa)
Rasulullah
saw., jika bersabda akan menjadi tuntunan dan teladan bagi umatnya. Sabda yang
ia sampaikan semuanya adalah benar, karena sifat Rasulullah adalah Shiddiq (Benar). Hisyam bin Amir pernah
bertanya kepada Aisyah ra., tentang akhlak Rasulullah saw. Aisyah menjawab, "Akhlak Nabi saw., adalah Al quran."
(HR Muslim). Maka, dalam kehidupan kita wajib mengikuti langkah-langkah dan
ucapan yang berteladan kepada Rasulullah saw.
Ucapan atau
sabda Nabi saw., biasa kita sebut dengan Hadits. Setiap langkah dan ucapan
Rasulullah saw., (Hadits) saat ini terkumpul dalam kitab-kitab Hadits yang
disusun oleh para ulama besar antara lain, Shohih
Bukhori, Muslim, Musnad Imam Hanmbal, Turmudzi, dan Al Muwatho Malik.
Ratusan ribu bahkan jutaan Hadits telah banyak dibukukan oleh para ulama. Kemudian
untuk mempermudah dalam pembelajaran, Hadits tersebut diklasifikasi berdasarkan
kriteria tertentu.
Salah
satu yang menarik adalah kisah seorang hakim yang mencoba merangkum dari banyak
Hadits menjadi 4 makna saja. Sebagaimana dinukil dalam Nashoihul Ibaad karya Imam Nawawi al Bantani bahwa Abdullah bin
Mubarak berkata: “Ada seorang hakim yang
sangat arif dan bijaksana telah mengumpulkan 40.000 hadits. Kemudian dipilihnya
lagi hingga 4.000 Hadits. Lalu dipilihnya lagi hingga menjadi 400 Hadits. Lalu
dipilihnya lagi hingga menjadi 40 Hadits. Dari 40 Hadits ini ia simpulkan hanya
4 kalimat, yaitu:
1. Janganlah memberi kebebasan sepenuhnya terhadap isterimu
dalam segala hal.
2. Jangan tertipu oleh harta dalam segala hal.
3. Jangan mengisi perutmu dengan makanan/minuman yang tidak
mampu ditampung oleh perutmu.
4. Jangan mengumpulkan ilmu apa pun yang tidak bisa memberi
manfaat”.
Jangan memberi kebebasan sepenuhnya terhadap
isteri dalam segala hal. Maksudnya adalah setiap suami sudah seyogyanya memiliki
rasa cemburu agar jangan ada lelaki lain yang mengganggu miliknya. Suami adalah
pemimpin dalam keluarga sehingga sudah sepantasnya menjadi penentu keputusan
dalam keluarga. Namun memang, dalam pelaksanaannya perlu ada musyawarah sebagai
landasan pengambilan keputusan, agar maslahat untuk keluarga.
Jangan tertipu oleh harta. Maksudnya adalah
jangan sampai berkeyakinan bahwa dengan memiliki harta, Anda akan selamat dari
bencana. Sehingga Anda melupakan semua urusan lain selain harta. Apa lagi
sampai melupakan ibadah dan akhirat. Begitu juga Anda jangan tertipu oleh
banyaknya harta.
Dalam
kitab Nashoihul Ibaad, Imam Nawawi al
Bantani juga menukilkan bahwasannya Rasulullah saw., bersabda: “Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai
tujuannya, maka Allah akan membuat baik semua urusannya, menjadikan kekayaannya
ada di hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dengan mudah. Barang siapa yang
menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan mencerai-beraikan
urusannya, menjadikan kefakiran ada di depan matanya, dan dunia tidak akan
datang kepadanya, kecuali sebatas yang telah ditentukan”.
Pada
kesempatan lain Rasulullah saw., bersabda: “Bekerjalah untuk duniamu seakan kau
hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kau mati esok hari”. Didapat
kesimpulan bahwa jika ingin mencapai kebahagiaan, kita harus seimbang dalam mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun jika tidak bisa keduanya, paling tidak kita
harus berorientasi pada kepentingan akhirat. Karena, dengan begitu dunia akan sendirinya
datang kepada kita. Namun jika kita mengutamakan dunia atau harta saja, maka
yang akan kita dapatkan adalah kesengsaraan bahkan kefakiran.
Berkaitan dengan poin 3, Rasulullah saw.,
pernah bersabda: “Sumber segala penyakit
ada kaitannya dengan perut yang kekenyangan”. (H.R. Daruquthni melalui Anas
ibn Sinni dan Anu Naim melalui Ali ibn Said melalui Az Zuhri). Maksud Hadits
ini adalah bahwa sumber segala macam penyakit itu berhubungan erat dengan
ketidakmampuan lambung dalam mencerna makanan. Yakni dengan cara menjejalkan makanan
ke mulut sehingga tidak sempat dikunyah. Begitu juga memasukkan minuman sesudah
makanan atau memasukkan minuman diantara dua suapan makanan tanpa mengunyah
suapan yang pertama terlebih dahulu.
Para ahli kesehatan telah banyak membuktikan penyakit
yang bersumber dari perut. Sir Arbuthnot Lane, M.D dari London mengatakan: “Saya telah mengalami bahwa banyak kasus
pembedahan dapat dihindari dengan cara mencuci usus, karena 90%
dari penyakit manusia di masa kini disebabkan oleh usus yang kotor dan tidak
berfungsi dengan normal.” Begitu
juga Dr. Norman Walker, Dsc, Phd. USA: “Cuci usus akan menghilangkan sembelit, rasa lesu, penyakit lemah
pencernaan, sakit sendi, sakit pinggang, perut kembung, kencing manis, dan
lain-lain.” Sumber: (http://www.facebook.com/sehat.mandiri?v=app_4949752878)
Dari
fakta ini membuktikan bahwa betapa pentingnya menjaga kesehatan perut, karena
sumber penyakit bisa berasal dari perut seperti yang disabdakan Nabi saw.
Bahkan Nabi saw., telah menyatakannya lebih dulu. Barulah para ahli dan
peneliti membuktikannya.
Berkaitan
dengan poin nomor 4, diriwayatkan bahwa pernah ada seorang lelaki berkata
kepada Abu Hurairah ra.,: ”Aku ingin
mempelajari ilmu, tetapi aku takut kalau aku menyia-nyiakannya”. Abu
Hurairah ra., berkata: “Sudah cukup
dikatakan menyia-nyiakan ilmu bila engkau sendiri tidak mau mempelajarinya”.
Imam
Syafii berkata: “Barang siapa mempelajari Al quran, maka tinggilah nilai
dirinya. Barang siapa mempelajari ilmu fiqih, menjadi mulialah kedudukannya.
Barang siapa mempelajari aritmetika, maka cemerlanglah pikirannya. Barang siapa
mempelajari bahasa Arab, maka haluslah perangainya. Dan barang siapa tidak bisa
memelihara dirinya, maka ilmunya tidak akan bermanfaat”.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa orang yang menyia-nyiakan ilmu bukan
hanya yang memiliki ilmu kemudian tidak mengamalkannya, tetapi juga orang yang
tidak mau mempelajari ilmu. Selain itu juga termasuk ke dalam orang yang
menyia-nyiakan ilmu adalah yang tidak bisa memelihara dirinya dari segala
perbuatan tercela atau dosa.
Wallahu Alam bishowaab...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar