Kamis, 06 September 2012

MERAIH JATI DIRI DENGAN ISTIQAMAH


Oleh: Ahmad Syatory, M.Ag.
(Direktur Laziswa At-Taqwa dan Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

Pendahuluan
Dari Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah radhiyallahu anhu, ia berkata : " Aku telah berkata : ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu’. Bersabdalah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Katakanlah : Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’ “. [Muslim no. 38]
Kalimat “katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu”, maksudnya adalah ajarkanlah kepadaku satu kalimat yang pendek, padat berisi tentang pengertian Islam yang mudah saya mengerti, sehingga saya tidak lagi perlu penjelasan orang lain untuk menjadi dasar saya beramal. Maka Rasulullah saw., menjawab : “katakanlah : ‘Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’ “. Ini adalah kalimat pendek, padat berisi yang Allah berikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Dalam dua kalimat ini telah terpenuhi pengertian iman dan Islam secara utuh. Beliau menyuruh orang tersebut untuk selalu memperbaharui imannya dengan ucapan lisan dan mengingat di dalam hati, serta menyuruh dia secara teguh melaksanakan amal-amal shalih dan menjauhi semua dosa. Hal ini karena seseorang tidak dikatakan istiqamah jika ia menyimpang walaupun hanya sebentar. Hal ini sejalan dengan firman Allah : " Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah). (Fushilat: 30).
‘Umar bin khaththab berkata : “Mereka (para sahabat) istiqamah demi Allah dalam menaati Allah dan tidak sedikit pun mereka itu berpaling, sekalipun seperti berpalingnya musang”. Maksudnya, mereka lurus dan teguh dalam melaksanakan sebagian besar ketaatannya kepada Allah, baik dalam keyakinan, ucapan, maupun perbuatan dan mereka terus-menerus berbuat begitu (sampai mati). Demikianlah pendapat sebagian besar para musafir. Inilah makna hadits tersebut, Begitu pula firman Allah : “Maka hendaklah kamu beristiqamah seperti yang diperintahkan kepadamu” (Q.S.  Hud : 112).
Menurut Ibnu ‘Abbas, tidak satu pun ayat Al Qur’an yang turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang dirasakan lebih berat dari ayat ini. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda : “Aku menjadi beruban karena turunnya Surat Hud dan sejenisnya”.
Abul Qasim Al Qusyairi berkata : “Istiqamah adalah satu tingkatan yang menjadi penyempurna dan pelengkap semua urusan. Dengan istiqamah, segala kebaikan dengan semua aturannya dapat diwujudkan. Orang yang tidak istiqamah di dalam melakukan usahanya, pasti sia-sia dan gagal”. Ia berkata pula : “Ada yang berpendapat bahwa istiqamah itu hanyalah bisa dijalankan oleh orang-orang besar, karena istiqamah adalah menyimpang dari kebiasaan, menyalahi adat dan kebiasaan sehari-hari, teguh di hadapan Allah dengan kesungguhan dan kejujuran. Oleh karena itu, Nabi saw., bersabda : Istiqamahlah kamu sekalian, maka kamu akan selalu diperhitungkan orang’.
Al Washiti berkata : “Istiqamah adalah sifat yang dapat menyempurnakan kepribadian seseorang dan tidak adanya sifat ini rusaklah kepribadian seseorang”.
Pengertian Istiqomah
Istiqamah artinya teguh hati, taat asas, atau konsisten. Meskipun tidak semua orang bisa bersikap istiqamah, namun memeluk agama, untuk memperoleh hikmahnya secara optimal, sangat memerlukan sikap itu. Allah menjanjikan demikian: "Dan seandainya mereka itu bersikap istiqamah di atas jalan kebenaran, maka pastilah Kami siramkan kepada mereka air yang melimpah." (QS. Al-Jinn/72:16).
Air adalah lambang kehidupan dan lambang kemakmuran. Maka Allah menjanjikan mereka yang konsisten mengikuti jalan yang benar akan mendapatkan hidup yang bahagia. Tentu saja keperluan kepada sikap istiqamah itu ada pada setiap masa, dan mungkin lebih-lebih lagi diperlukan di zaman modern ini. Karena kemodernan (modernitas, modernity) bercirikan perubahan. Bahkan para ahli menyebutkan bahwa kemodernan ditandai oleh "perubahan yang terlembagakan" (institutionalized change). Artinya, jika pada zaman-zaman sebelumnya perubahan adalah sesuatu yang "luar biasa" dan hanya terjadi di dalam kurun waktu yang amat panjang, di zaman modern perubahan itu merupakan gejala harian, dan sudah menjadi keharusan.
Lihat saja, misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi microchip (harfiah: kerupuk kecil) dalam teknologi elektronika. Siapa saja yang mencoba bertahan pada suatu bentuk produk, baik dia itu produsen atau konsumen, pasti akan tergilas dan merugi sendiri. Karena itulah maka "Lembah Silikon" atau Silicon Valley di California selalu diliputi oleh ketegangan akibat kompetisi yang amat keras. Adanya kesan bahwa "perubahan yang terlembagakan" itu tidak memberi tempat istiqamah adalah salah. Kesalahan itu timbul antara lain akibat persepsi bahwa istiqamah mengandung makna yang statis.
Memang istiqamah mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekan. Melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Dapat dikiaskan dengan kendaraan bermotor: semakin tinggi teknologi suatu mobil, semakin mampu dia melaju dengan cepat tanpa guncangan. Maka disebut mobil itu memiliki stabilitas atau istiqamah. Dan mobil disebut dengan stabil bukanlah pada waktu ia berhenti, tapi justru ketika dia melaju dengan cepat. Maka begitu pula dengan hidup di zaman modern ini. Kita harus bergerak, melaju, namun tetap stabil, tanpa goyah. Ini bisa saja terwujud kalau kita menyadari dan meyakini apa tujuan hidup kita, dan kita dengan setia mengarahkan diri kepadanya, sama dengan mobil yang stabil terus melaju ke depan, tanpa terseok ke kanan-kiri.
Lebih-lebih lagi, yang sebenarnya mengalami "perubahan yang terlembagakan" dalam zaman modern ini hanyalah bidang-bidang yang bersangkutan dengan "cara" hidup saja, bukan esensi hidup itu sendiri dan tujuannya. Ibarat perjalanan Jakarta-Surabaya, yang mengalami perubahan hanyalah alat transportasinya, mulai dari jalan kaki, sampai naik pesawat terbang. Tujuannya sendiri tidak terpengaruh oleh "cara" menempuh perjalanan itu sendiri. Maka ibarat mobil yang stabil yang mampu melaju dengan cepat, begitu pula orang yang mencapai istiqamah tidak akan goyah, apalagi takut, oleh lajunya perubahan. Dia hidup dinamis, berjalan di atas kebenaran demi kebenaran, untuk sampai akhirnya kembali kepada Tuhan, sang Kebenaran Mutlak dan Abadi. Dan kesadaran akan hidup menuju Tuhan itulah yang akan memberi kebahagiaan sejati sesuai janji Tuhan di atas.
Manfaat Istiqomah
Dalam surat Fushshilat Allah Ta'ala juga berfirman:
" Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ". (QS Fushshilat: 30-32).
Merujuk pada ayat diatas maka manfaat Istiqamah antara lain:
1.      Mendapat petunjuk hidup yang benar sesuai kehendak Allah
2.      Tidak mudah terpengaruh pada hal-hal yang menyesatkan
3.      Didoakan oleh malaikat
4.      Diperhitungkan orang lain karena memiliki sikap dan kepribadian yang kuat
5.      Akan dimasukkan kedalam surga
6.      Malaikat akan selalu menjadi pelindungnya, baik di dunia maupun di akhirat
Al Washiti berkata : “Istiqamah adalah sifat yang dapat menyempurnakan kepribadian seseorang dan tidak adanya sifat ini rusaklah kepribadian seseorang”.

Kamis, 30 Agustus 2012

Karakter Jawa adalah Karakter Para Nabi


Orang Jawa Cerminan Karakter Para Nabi
Oleh: Wahyudin, M.Pd.
(Sekretaris LAZISWA At-Taqwa Kota Cirebon)
Suku Jawa adalah suku terbesar yang ada di Indonesia. Sebagai bukti, kemana pun kita melangkahkan kaki, ke seluruh pelosok negeri, kita pasti akan menemukan orang dari suku Jawa. Mereka tersebar dan mendiami kawasan tersebut meskipun jumlahnya minorotas. Tak hanya karena keragaman budaya, orang Jawa juga terkenal akan keramahtamahannya. Banyak wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia dan terpukau dengan “keunikan” budaya dan orang jawa.
Sepanjang sejarah, orang jawa telah banyak mempengaruhi berbagai budaya yang ada di Indonesia. Sebagai contoh, para ulama dan santri yang ada di wilayah Sumatra telah terbiasa mengkaji dan membaca kitab-kitab dengan terjemahan jawa. Bahkan ada beberapa “wirid” yang menggunakan bahasa jawa. Penyebabnya adalah, pada tahun 1800 an, penyebaran Islam di Nusantara dilaksanakan oleh wali songo yang berasal dari jawa. Maka tidak heran jika banyak hal di Nusantara ini yang mendapat pengaruh dari jawa.
Kebesaran budaya dan orang jawa telah membuat para peneliti dari manca Negara terpesona. Di masa penjajahan Belanda, salah satu peneliti yang bukunya masih terbit sampai sekarang. Ia bernama Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (lahir di Jamaica6 Juli 1781 – meninggal di LondonInggris5 Juli 1826 pada umur 44 tahun) adalah Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda yang terbesar. Ia adalah seorang warga negara Inggris. Ia dikatakan juga pendiri kota dan negara kota Singapura. Ia salah seorang Inggris yang paling dikenal sebagai yang menciptakan kerajaan terbesar di dunia. Ia menulis buku yang terkenal dan masih banyak dijual sampai sekarang “The History of Java” (Thomas Stamford Raffles, 1817) . Ia banyak menulis tentang manusia, aktifitas, dan budaya jawa. Ini mencerminkan kekagumannya terhadap jawa. Buku tersebut terbit di berbagai Negara, bahkan sebelum di Indonesia telah terbit di London Inggris.
Karakter Tradisi Suku Jawa
1.      Ramah
Suku jawa dikenal dengan sikap sopan, ramah, santun, dan menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung-langsung. Mereka lebih cenderung menjaga etika berbicara baik secara isi, bahasa, perkataan, maupun objek yang diajak berbicara. Bahasa Jawa adalah bahasa berstrata, memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan objek yang diajak bicara. Karakter khas seorang yang bersuku Jawa adalah menunggu dipersilahkan untuk mencicipi, bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati.

2.      Religius, eling sangkan paraning dumadi
Manusia Jawa berkeyakinan bahwa urip ana sing nguripake (hidup ada yang menghidupkan). Sikap ini adalah sikap Tauhid seorang hamba. Karena suatu saat manusia akan kembali kepada yang menghidupkan. Manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, maka manusia harus bersiap untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama hidup. Nasihat eling sangkan paraning dumadi menjadi pengingat agar manusia selalu menjaga sikap dan perbuatan di dunia karena kelak akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan. Sehingga dalam menjalani hidup manusia Jawa akan senantiasa golek dalan padhang, berbuat lurus, tidak melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan. Sikap-sikap tersebut menunjukkan religiusitas masyarakat Jawa yang sesuai dengan ayat-ayat dalam Alquran.
3.      Urip samadya
Dalam menjalani hidup, orang Jawa memegang prinsip urip samadya. Dengan sikap samadya manusia akan dapat mengukur kemampuannya, tidak memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya. Sikap hidup samadya menjauhkan seseorang dari perbuatan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Sikap ini adalah sikap qonaah yang menganjurkan seseorang untuk menerima apa yang ada. Berusaha semampunya terhadap apa yang dicita-citakan.
Prinsip hidup ini juga melahirkan sikap nrima ing pandum, menerima dan bersyukur atas segala yang diberikan oleh Allah SWT. Namun demikian, tidak berarti sikap hidup samadya dan nrima ing pandum ini diisi dengan bermalas-malasan, tanpa mau berusaha.
4.      Rereh, ririh, dan ngati-ati.
Rereh, artinya sabar dan bisa mengekang diri. Ririh, artinya tidak tergesa-gesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan matang untuk sebuah tindakan dan keputusan. Ngati-ati, artinya berhati-hati dalam bertindak. Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati, berarti manusia dapat menguasai dirinya dan mengendalikan nafsunya. Manusia akan sempurna bila dapat menguasai nafsu. Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati maka seseorang dapat menempuh perjuangan yang mulia.
5.      Menjauhkan Diri dari watak adigang, adigung, adiguna.
Watak adigang adalah watak sombong, karena mengandalkan kekayaan dan pangkat. Watak adigung adalah watak sombong karena mengandalkan kepandaian dan kepintaran, lantas meremehkan orang lain. Watak adiguna adalah watak sombong karena mengandalkan keberanian dan kepintaran berdebat. Oleh karena itu, sikap-sikap ini harus dihindari. Menghindari sikap seperti ini sesuai dengan ajaran Islam yang melarang umatnya memiliki sifat sombong, karena sebagaimana syetan masuk neraka gara-gara sombong.
6.      Aja dumeh
Kata yang singkat ini mengandung ajaran yang sangat luas. Kata ini dapat diterapkan dalam berbagai sikap dan perbuatan, misalnya aja dumeh pinter, aja dumeh kuasa, aja dumeh kuwat,dan sebagainya. Aja dumeh sangat dekat dengan watak adigang, adigung, adigunaAja dumeh mengandung maksud “jangan mentang-mentang”. Sikap hidup aja dumeh akan membawa seseorang pada sikap rendah hati, sederhana.
7.      Mawas diri
Mawas diri adalah tindakan untuk melihat ke dalam diri sendiri, mengukur nilai dan kemampuan diri. Dengan mawas diri seseorang akan selalu berupaya melihat kekurangan diri sendiri. Sikap ini menjauhkan seseorang dari sikap merasa paling benar, sehingga tumbuh rasa saling menghargai sesama. Menyadari bahwa diri tidak sempurna  akan membuat seseorang menjadi tidak mudah mencela orang lain. Mawas diri menjauhkan seseorang dari sikap sombong.
8.      Tepa slira
Tepa slira berarti tenggang rasa, tolerasi, menghargai orang lain, nepakke awake dhewe. Apabila kita merasa senang dan bahagia jika orang lain berperilaku baik kepada kita, maka hendaknya kita juga berusaha bersikap baik terhadap orang lain. Tepa slira adalah sikap individu untuk mengontrol pribadinya berdasarkan kesadaran diri.  Seseorang yang memiliki sikap tepa slira tidak akan mburu menange dhewenggugu karepe dhewe, dan nuhoni benere dhewe. 
9.      Unggah-ungguh
Unggah-ungguh merupakan salah satu bentuk etika atau sikap manusia Jawa dalam menempatkan diri ketika bergaul dengan sesamanya. Seseorang yang memiliki dan memahami sikap unggah-ungguh akan mengetahui bagaimana cara bergaul dan berperilaku dengan orang yang lebih muda, sederajat, lebih tua, atau yang memiliki jabatan tertentu, bahkan dalam situasi tertentu. Dengan menerapkan unggah-ungguh dalam bergaul maka akan tercipta hubungan yang harmonis. Seseorang yang memiliki unggah-ungguh akan dapat menempatkan diri dalam menjalin pergaulan dengan orang lain sesuai dengan tempat dan situasinya, empan papan.
10.  Jujur
Jujur merupakan karakter yang sifatnya universal. Masyarakat Jawa pun menganggap sikap jujur sebagai etika yang harus dipegang teguh dan dimiliki oleh setiap orang Jawa. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan Jawa seperti, jujur bakal mujur, artinya orang yang jujur akan mendapatkan keberuntungan. Kebalikannya adalah goroh growah, yaitu orang yang berbohong akan mendapat kerugian. Jujur dalam sifat Nabi dan Rasul adalah Siddiq.
11.  Rukun
Hidup rukun selalu menjadi dambaan manusia yang hidup bermasyarakat. Demikian pula pada masyarakat Jawa yang juga mendambakan kehidupan yang selalu cinta damai. Cinta damai dapat terwujud jika antarsesama anggota masyarakat tersebut dapat hidup rukun. Sehingga dalam masyarakat Jawa terdapat ungkapan rukun agawe santosa, yaitu bahwa hidup rukun sesama manusia akan membuat kehidupan menjadi sentosa.
12.  Kerja keras
Manusia Jawa tidak boleh lalai untuk selalu berupaya mencukupi kebutuhannya. Oleh karena itu manusia Jawa harus senantiasa bekerja keras akan mampu hidup mandiri dan layak tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain. Sikap hidup semacam ini tercermin dalam ungkapan Jawa sapa ubet, ngliwet yaitu siapa yang kreatif dalam berusaha mencari rezeki, maka pasti akan mendapatkan hasilnya. Di samping itu, dalam bekerja manusia Jawa juga berprinsip bahwa bekerja tidak melihat pada besar kecilnya hasil yang harus diperoleh, tetapi lebih mementingkan apa yang harus dikerjakan.
13.  Tanggung jawab
Tanggung jawab merupakan sikap yang juga harus dimiliki oleh manusia Jawa. Sehingga dalam masyarakat Jawa ditemukan juga ungkapan tinggal glanggang colong playu yang arti harfiahnya meninggalkan gelanggang dan secara diam-diam melarikan diri. Ungkapan ini merupakan sindiran bagi seseorang yang suka lepas tangan, cuci tangan dari tanggung jawab yang seharusnya diembannya. Oleh karena itu, perilaku tinggal glanggang colong playu harus dihindari karena merupakan perilaku negatif dan jauh dari sikap ksatria sejati.
14.  Rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib hangrungkebi
Merasa ikut memiliki, merasa wajib membela. Sikap ini wajib dimiliki oleh setiap orang agar keadaan dan situasi terjaga dengan baik. Dengan merasa memiliki orang akan punya keinginan untuk menjaga dan melestarikan serta membela sesuatu yang menjadi miliknya. Sikap ini sangat tepat untuk ditanamkan kembali pada generasi ditengah-tengah keterpurukan bangsa. Bila generasi muda memiliki sikap ini mereka akan berupaya untuk turut berperan dalam memperbaiki kondisi bangsa dan tidak justru merusak citra bangsa.
15.  Memayu hayuning bawana
Memayu berarti membuat selamat. Sedangkan bawana berarti bumi. Memayu hayuning bawana merupakan sikap dan tindakan untuk menjaga keselamatan dan kelestarian bumi. Sikap ini perlu ditanamkan pada semua orang, termasuk generasi muda agar kerusakan bumi dapat dicegah sehingga bumi tetap lestari.
Dari kesemua karakter orang jawa yang dipaparkan di atas, dapat kita pahami bahwa ternyata karakter-karakter tersrbut sangat dekat dengan karakter-karakter para Nabi. Ramah, santun, tepa selira, tanggung jawab, dan lain-lain merupakan sifat yang ada pada diri para Nabi. Maka, jika kita dapat mengembangkan sifat-sifat dan budaya jawa berarti telah mencontoh sifat dan karakater para Nabi. Wallahu Alam Bii Showaab.






Minggu, 12 Agustus 2012

Enam Perkara yang Dirahasiakan Allah SWT.


(Oleh: Ibnu Malik, S.Pd.I.)
Dalam hidup ini kadang kita tidak sadar akan banyaknya rahasia yang sering kita lupakan. Rahasia terbesar dan terbanyak adalah rahasia yang bersumber dari Allah SWT. Rahasia tersebut bisa menambah keimanan dan ketaqwaan, jika kita mengingatnya. Rahasia yang Allah sembunyikan antara lain ada enam hal. Keenam rahasia ini sering terlupakan dari benak kita. Hal ini dikarenakan manusia yang sangat dekat dengan sifat lupa.
Dalam Nashoihul Ibaad Karya Imam Nawawi Al Bantani Umar ra., berkata:
“Allah menyembunyikan enam perkara dalam enam perkara yang lain, yaitu:
1.    Allah menyembunyikan keridhaan-Nya dalam ketaatan kepada-Nya.
Tujuannya adalah agar manusia bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Sehingga tidak sepantasnya bagi siapa pun untuk meremehkan ketaatan meskipun sangat kecil. Sebab boleh jadi justru di situlah ada ridha Allah SWT. Ketaatan seseorang tidak menjamin mendapatkan ridho Allah SWT. Ada orang yang ketaatannya besar tetapi tidak mendapat ridho Allah. Misalnya orang taat beribadah tetapi menyekiti hati orang tuanya. Maka tidak mungkin dia mendapatkan ridho Allah meskipun rajin beribadah. Namun sebaliknya, jika ada seseorang yang taat kepada Allah, walau pun kecil atau sedikit ibadahnya jika mendapatkan ridho dari kedua orang tuanya, maka ia akan mendapatkan ridho Allah SWT. 
2.    Allah menyembunyikan murka-Nya dalam kemaksiatan seorang  hamba-Nya.
Ini bertujuan agar manusia mau menjauhi segala bentuk kemaksiatan dan takut terjerumus ke dalamnya, sehingga tidak sepantasnya bagi siapa pun untuk meremehkan kemaksiatan meskipun sangat kecil. Sebab boleh jadi justru di situlah ada murka Allah SWT. Jika manusia menjauhi kemaksiatan tanpa melihat murka Allah, maka keikhlasan telah timbul dalam dirinya. Akan berbeda halnya jika manusia menjauhi kemaksiatan karena dia melihat murka Allah, maka yang ada adalah ketakutan karena murka-Nya dan bukan karena ikhlas.
3.    Allah menyembunyikan Lailatul Qodar dalam bulan Ramadhan.
Ini dimaksudkan agar ada kesungguhan dalam menghidupkan seluruh hari pada Bulan Ramadhan. Sebab, sebagai mana disebutkan dalam hadits, pahala ibadah sunnah dalam Bulan Ramadhan sama dengan pahala ibadah wajib pada bulan selainnya. Juga agar bersungguh-sungguh dalam mencari Lailatul Qadar. Sebab nilainya lebih baik dari pada seribu bulan (83 tahun 4 bulan).

Allah SWT., berfirman:
1.    “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu?
2.    malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
3.    pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
4.    malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar”. (Q.S. Al Qadar ; 1-5).

4.    Allah menyembunyikan para wali di antara manusia.
Rahasia ini bertujuan agar manusia mau menghormati setiap orang dan tidak meremehkannya. Sebab, kalau seseorang meremehkan orang lain, boleh jadi orang yang diremehkannya itu justru Wali Allah. Banyak Wali Allah yang ada di dunia tanpa mencirikan bahwa ia adalah Wali. Orang yang mulia ini, sering kali berpenampilan seperti manusia biasa, bahkan ada yang berpenampilan seperti gelandangan. Sudah seyogyanya kita menghormati semua orang yang kita temui. Karena ada kemungkinan, orang yang kita temui adalah Wali Allah walau pun penampilannya tidak bersih atau berpakaian putih.
5.    Allah menyembunyikan kematian dalam umur.
Agar manusia selalu mempersiapkan diri untuk menyambut kematiannya. Jika manusia mengetahui kapan dia akan mati maka sangat dimungkinkan ia hanya akan taat beribadah pada saat menjelang kematiannya saja. Sehingga Allah merahasiakan kematian dari siapa pun agar manusia berusaha meningkatkan ketaqwaan dan keimanannya setiap saat. Dikarenakan tidak tahu kapan ia akan menemui kematian. Sebagai Umat Islam perlu kiranya sesekali merenungkan dan mengingat kematian karena pasti kita akan menemuinya walau tidak ada orang yang tahu tentang itu. Dengan tujuan agar kita sesekali tertambah motivasi dan semangat untuk beramal sholeh dan menjauhi segala perbuatan dosa dan bertaubat kepada-Nya.
6.    Allah menyembunyikan ash-Sholatul Wustha (sholat yang paling utama) dalam sholat lima waktu”.
Sholat lima waktu dirahasiakan yang utamanya agar seorang Muslim betul-betul memelihara semua sholat wajibnya. Rahasia ini bertujuan agar manusia selalu berusaha melaksanakan sholat dengan sebaik-baiknya dan sesempurna mungkin di setiap sholat 5 waktu. Karena jika kita mengetahui sholat mana (dalam lima waktu) yang paling utama, bisa dimungkinkan kita hanya berusaha maksimal dalam satu atau beberapa waktu sholat saja.
Contohnya, dalam bulan Ramadhan. Kita diberi tahu dalam Al quran bahwa bulan ini adalah bulan yang paling mulia di antara bulan-bulan yang lain. Maka pada Bulan Ramadhan sangat banyak orang yang melaksanakan tadarus, tahajud, shodaqoh, dan ibadah-ibadah sunnah yang lain. Namun, pada bulan-bulan yang lain kita dapat melihat keadaan ibadah sebagian Umat Islam menjadi biasa-biasa saja. Begitu juga dalam sholat, manusia dirahasiakan dari waktu sholat yang utama agar selalu melaksanakannya dengan baik di semua waktu sholat yang lima waktu.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Gara-gara Alquran, Korea Selatan Maju

Ayat Al-Quran Menjadi Inspirasi Slogan Korea Selatan

Pada tahun 1970an, Presiden Korea Selatan Park Chung Hee berkunjung ke Indonesia, tepatnya ke serambi Mekkah, atau Aceh. Pada waktu itu ada kunjungan bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan. Pada suatu hari yang tidak sibuk, pak presiden Korea Selatan ini berkunjung ke salah satu masjid yang ada di Aceh, yaitu masjid Baitturahman. Pada saat itu juga beliau merasa tertarik pada satu ayat Alquran yang dipajang di salah satu dinding masjid. Beliau bertanya kepada salah satu pengurus masjid, “Artinya apa ?”, 

“Innallaah laa yughoyyiru maa biqoumin, hatta yughoyyiru maa bi anfusihim” yang artinya Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka (QS 13 : 11).

Sang presiden terkejut dan merasa kagum dengan ayat tersebut, walaupun presiden bukan seorang muslim tapi beliau sangat terkagum-kagum mendengar satu potongan ayat tersebut. Lalu sang presiden bertanya lagi pada pengurus masjid, “Bolehkah saya bawa ke negara saya ?”, pengurus masjid berkata, “tentu saja oleh”.

Jadilah ayat tersebut dibawa ke Korea Selatan dan dijadikan slogan resmi negara ini. “Tuhan tidak mengubah keadaan Korea Selatan, sampai rakyat Korea Selatan yang mengubah keadaannya sendiri”. Padahal hanya satu ayat, tapi luar biasa mampu merubah satu bangsa Korea Selatan sampai sekarang.

Jika kita mampu mengaplikasikan semua ayat Alquran, Insya Allah bangsa indonesia akan maju dan sejahtera dari negara manapun. Korea selatan yang bukan negara Muslim saja mampu mengubah nasib bangsanya hanya terinspirasi oleh satu ayat saja. Bukankah Umat Islam membaca Alquran diperbolehkan setiap saat? kapan pun boleh dan berapa ayat pun silahkan. Semoga perubahan dapat kita dapatkan dengan berawal dari Kalamullah, Amiin. wallahu a’lam

Jumat, 03 Agustus 2012

Hikmah Di Balik Musibah


(  Apakah  Hukuman, Ujian , Atau  Penghapus Dosa )
Oleh: Jemi Naitboho, M.Si.

Apabila kita berbicara tentang  suatu musibah pasti tidak ada batasnya, karena begitu kompleks dan cara pandang manusia tentang kata musibah. Ada orang  yang akan  berfikir bahwa musibah itu adalah merupakan bentuk  hukuman yang Allah turunkan kepada manusia karena banyak dosa, ada juga orang yang mendefinisikan bahwa musibah itu adalah ujian yang Allah berikan kepada manusia untuk mengukur tingkat kesabaran. Ada juga orang yang akan menyatakan bahwa musibah adalah salah satu bentuk kasih sayang Allah terhadap manusia sebagai penghapus dosa.
Dalam pandangan dan perasaan manusia, semua jenis musibah pasti merupakan sesuatu yang jelek, menyakitkan, atau menyedihkan. Dengan kata lain, secara manusiawi kita tentu tidak menginginkan musibah, apapun bentuknya, kapan pun dan di mana pun. Namun, apabila kita membaca beberapa keterangan ayat Alquran dan haditst nabi, akan kita dapati bahwa musibah yang dialami oleh manusia dalam pandangan Allah ternyata memiliki makna. Ada tiga makna bisa kita terjemahkan dari sebuah musibah. Pertama, sebagai hukuman Allah atas pembangkangan yang dilakukan manusia terhadap aturan yang telah ditetapkan-Nya. Kedua, sebagai penghapus dosa. Artinya, di akhirat nanti ada dosa yang tidak diperhitungkan lagi karena hukumannya sudah ditunaikan oleh allah di dunia. Ketiga, sebagai ujian untuk kenaikan derajat manusia di mata Allah.
Antara Musibah dan Hukuman
Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Demikianlah salah satu hadits Nabi menjelaskan tentang manusia. Kita bisa berbuat salah apabila kita tidak tahu petunjuk atau ilmunya. Akan tetapi, perbuatan salah tidak selalu berkaitan dengan ketidaktahuan. Sering pula manusia berbuat salah padahal sudah tahu petunjuk atau ilmunya. Atau, bisa jadi bukannya tidak tahu tetapi memang tidak mau tahu dengan petunjuk-petunjuk atau aturan-aturan yang sudah ada.
Allah SWT., telah memberikan petunjuk dan ilmu yang bisa digali oleh manusia di dalam firman-Nya yang juga didukung dengan hadits-hadits Nabi saw. Itu semua merupakan peraturan yang patut dilakukan agar manusia mencapai kebahagiaan dalam kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika Allah membuat peraturan, maka Allah juga membarikan ‘hadiah’ dan ‘hukuman’ bagi peraturan itu. Dalam bahasa yang lebih tepat, itu disebut dengan konsekuensi logis atau ‘hukum alam’.
Jadi, ketika manusia ditimpa musibah, maka merupakan suatu konsekuensi logis atas apa yang telah dilakukannya. Musibah itu merupakan akibat dari sesuatu yang telah diperbuat atau diabaikan oleh manusia. Dalam salah satu ayat Alquran Allah SWT., berfirman: “dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) (Q.S. Asy-syuara 42:30).
Dalam ayat yang lain: Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun” (Q.S. An-Nisa 4:79).
Kita sering mengaitkan musibah yang terjadi dengan takdir Allah. Musibah memang sebuah takdir, tetapi bukan berarti tidak ada kaitannya dengan amal perbuatan manusia. Ustadz Quraish Shihab dalam buku Lentera Hati mengungkapkan bahwa adalah keliru apabila seseorang mengingat takdir ketika terjadi malapetaka yang menimpanya itu. lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa adalah benar kita tidak bisa terlepas dari takdir Tuhan. Tetapi takdir-Nya tidak hanya satu. Kita diberi kemampuan untuk memilih berbagai takdir Tuhan, berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Sehingga apabila seseorang tidak menghindar darinya pasti ia akan menerima akibatnya, dan itu aadalah takdir. Tetapi apabila ia menghindar dan luput dari marabahaya, ia pun adalah takdir. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan manusia kemampuan untuk memilih?
Dengan melihat penjelasan tersebut maka dapat kita pahami bahwa musibah yang menimpa manusia merupakan hukuman dari Allah atau konsekuensi logis atas kesalahan yang dilakukan manusia. Kesalahan itu bisa berupa kelalaian, kebodohan, atau pengingkaran kita terhadap hukum yang sudah ada.
dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. dan apabila mereka ditimpa suatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa.  (Q.S. Ar Rum 30:36).
Di dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw., pernah bersabda, “akan datang suatu zaman atas manusia. Perut-perut mereka menjadi Tuhan-Tuhan mereka. Perempuan-perempuan menjadi kiblat mereka. Dinar-dinar menjadi agama mereka. Kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka. Ketika itu, tidak tersisa iman sedikitpun kecuali namanya saja. tidak tersisa islam sedikitpun kecuali upacara-upacara saja. Tidak tersisa Alquran sedikiktpun kecuali pelajarannya saja. Masjid-masjid mereka makmur dan damai. Akan tetapi hati mereka kosong dari petunjuk. Ulama-ulama mereka menjadi makhluk-makhluk Allah yang paling buruk dipermukaan bumi. Kalau terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa mereka dan menimpakan kepada mereka berbagai bencana, kekejaman para penguasa, kekeringan dan kekejaman para pejabat serta para pengambil keputusan.” Maka takjublah para sahabat mendengarkan penjelasan Nabi ini. Mereka bertanya, “ya Rasulullah, apakah mereka menyembah berhala?” Nabi menjawab, “ya, bagi mereka, setiap serpihan dan kepingan uang menjadi berhala.”
Antara Musibah  dan Ujian
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.” (Q.S. Al Baqarah 2:214)
Ayat di atas menjelaskan dengan jelas dan sesungguhnya menerangkan bahwa golongan manusia yang kelak akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat dengan hadiah surganya Allah  yang penuh dengan kenikmatan, adalah mereka yang ketika di dunia telah diuji oleh Allah SWT.  Ujiannya berupa malapetaka, kesengsaraan, dan berbagai hal yang menguji keimanan seseorang sehingga ia pun sampai kepada pertolongan Allah SWT.
Tapi, apakah orang yang tidak diuji dengan kesengsaraan lantas tidak akan mendapatkan kebahagiaan kelak diakhirat? Tidak demikian, sebab ujian atau cobaan itu tidak hanya dalam bentuk malapetaka dan kesengsaraan. Ujian dan cobaan bisa pula dalam bentuk kekayaan atau kepintaran dan kegembiraan  dari  Allah SWT.,  sesuai dengan  firman-Nya sebagai berikut : “Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku". sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (Q.S Az-Zumar 39:49)
Tentunya kita semua harus menerima atas berbagai macam  ujian dan cobaan yang ada didunia ini.  Sebab banyak orang yang memang berhasil menghadapi ujian malapetaka dan kesengsaraan, tetapi  ada pula yang ternyata  gagal dalam menghadapi ujian  tersebut  yang berupa kesenangan dan kenikmatan. Sebagaimana  Allah SWT., berfirman; “dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, Maka ia banyak berdoa.(Q.S. Fushilat 41:51)
Antara Musibah dan Penghapus Dosa
Selain sebagai hukuman dan ujian, musibah yang menimpa manusia bisa juga sebagai proses penghapusan dosa manusia. Di dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa Allah SWT., berfirman, “Demi kejayaan dan keagungan-Ku, tidak akan aku matikan hamba-Ku yang Aku kehendaki kebaikan baginya, sehingga aku menghapuskan dosa-dosa yang pernah ia lakukan melalui rasa sakit dibadannya, kerugian pada hartanya, dan kematian anaknya. Maka apabila masih terdapat dosa padanya maka Aku perberat baginya saat sakaratul maut., sehingga ia menemui Aku seperti saat ia dilahirkan dari rahim ibunya  (tidak mengemban satu dosapun). Dan demi kejayaan dan keagungan-Ku. Tidak akan aku mematikan hambaku yang aku tetapkan keburukan atasnya, sehingga aku menghapuskan perbuatan-perbuatan baiknya melalui kesehatan tubuhnya(tidak pernah sakit). Bertambah hartanya, dan bertambah anaknya; maka sekiranya masih ada kebaikan padanya, Aku ringankan baginya sakaratulmaut sehingga dia mengharap-ku tidak memiliki kebaikan apa pun.”
Selain hadits qudsi diatas, mari kita simak pula sebuah hadits lain. Nabi Muhammad saw., bersabda, “tidak ada seorang muslim pun yang ditimpa gangguan semacam tusukan duri atau yang lebih berat daripadanya melainkan dengan ujian itu Allah menghapuskan perbuatan buruknya serta digugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon kayu menggugurkan daun-daunnya.” (H.R. Muttafaqun ‘Alaih).
Kita sering menganggap musibah yang menimpa kita sebagai sesuatu yang buruk. Padahal bisa jadi ada hikmah yang sangat besar dibalik itu semua. Jalaludin Rakhmat dalam bukunya Meraih Cinta Ilahi mengungkapkan bahwa Allah SWT., memelihara manusia bukan saja dengan kegembiraan tetapi juga dengan kesedihan. Allah SWT., mengurus kita tidak hanya dengan kenikmatan tetapi juga dengan penderitaan. Tujuannya adalah agar kita bisa mencapai perkembangan yang baik. Orang-orang yang tidak pernah dipelihara dengan penderitaan biasanya tidak berkembang kearah kesempurnaan. Jalaluddin pun mengingatkan bahwa kebaikan Allah SWT., kepada kita jauh lebih besar daripada ujian-Nya dan kebaikan Allah SWT., tidak pernah berhenti.

Kamis, 26 Juli 2012

TARAWIH DI MASJID RAYA AT-TAQWA KOTA CIREBON 1433 H.


Oleh: H. Abas Sirad, S.H.
(Ketua DKM Raya AT-Taqwa Kota Cirebon)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakw”., (Q.S. Al Baqarah: 183)
Umat Islam baik yang berada di pelosok tanah air maupun yang berada di seluruh mancanegara menyambut Bulan Suci Ramadhan dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah dan rasa gembira suka cita atas kedatangan Bulan Puasa Ramadhan. Marhaban yaa Ramadhan.
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah karena kita masih diberikan kesempatan umur panjang untuk dapat melaksanakan ibadah puasa dengan rasa senang karena dalam bulan yang suci ini merupakan bulan yang penuh limpahan rahmat dan hidayah. Penuh pengampunan dari segala dosa dan noda. Pada bulan yang mulia ini diberikan pula kebebasan dari siksa api neraka.
Di dalam Bulan Puasa ini Umat Islam diberikan angin segar dengan turunnya Alquran sebagai sumber hukum (peraturan perundangundangan) yang fundamental bagi tatanan kehidupan manusia di muka bumi Allah SWT., yang mencakup berbagai aspek kehidupan umat seperti bidang perekonomian, politik, sosial kemasyarakatan, dan berbagai macam peraturan yang membedakan antara yang hak dan yang bathil.
Hal ini terungkap dalam firman Allah dalam Surat Al Baqarah (Q.S. 2 : 185) yaitu:
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (Q.S. 2 : 185).
Syiar agama Islam yang sangat efektif adalah sholat malam yang kini terkenal dengan nama tarawih. Sholat tarawih di malam hari oleh Rasulullah saw., sangat digemari namun tidak diwajibkan, jadi setatus hukumnya sholat tarawih adalah sunnah.
Menurut suatu hadist yang diriwayatkan bukhori bahwa Nabi Muhammad saw., pernah keluar malam hari pergi ke masjid shalat berjamaah dengan sahabat-sahabatnya sampai malam ketiga, sedangkan malam-malam berikutnya beliau tidak hadir tidak mengikuti sholat berjamaah karena dihawatirkan hukumnya bagi umat berikutnya. Padahal yang terkandung dalam sholat malam di Bulan Rhamadhon pahalanya sangat besar sekali yaitu akan diampuni segala dosa-dosa yang terdahulu.
Hal ini sesuai dengan hadist muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad saw., pernah bersabda: “ Barang siapa yang sholat malam di Bulan Ramadhon karena imannya kepada Allah Swt., dan karena mengharapa pahala dan ampunan serta mohon keridhoan-Nya niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
Selanjutnya Rasulullah saw., menekankan dalam suatu hadist berasal dari Abu Hurairah bahwa Bulan Ramadhon adalah bulan yang Allah fardhukan atas kamu puasa dan aku telah mensunnahkan bagimu sholat malam (tarawih).
Maka barang siapa berpuasa di siang harinya dan sholat malam (tarawih) dimalam harinya karena iman kepada Allah SWT., dan mengharap pahala dan keridhoannya, niscaya diampuni dari dosa-dosanya dan dalam keadaaan suci seperti pada waktu dilahirkan oleh ibunya.
Diwaktu malam hari Allah SWT., senang sekali atas kehadiran hambanya untuk selalu merenung, mengingat, berdzikir, berdoa dan tadarusan (membaca ayat-ayat suci Alquran).
Karena dengan banyak mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, hati kita mejadi tenanag dan tentram sebagaimana firman Allah SWT., dalam surat Ar-Ra’du (Q.S 13: 28).
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Q.S 13: 28).
Selanjutnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Ahzab (Q.S 33:41)
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya”.
Dari uraiain tersebut tampak ada 4 (Empat) macam kegiatan yang memasuki Bulan Suci Ramadhan yaitu : Sholat, Infaq (Shodaqah, Zakat), Amal Sholeh dan menghidupkan malam-malam harinya.
Dari 4 (Empat) aspek kegiatan ini kita memasuki pintu gerbang Bulan Ramadhon, siapa yang memasuki gerbang (training centre) ini? Tidak lain adalah (puasa) yang memasuki bulan suci Ramadhon.
Sholat Khusyu
Nabi Muhammad saw., telah mengatakan bahwa sholat adalah mirajnya kaum muslimin dan muslimat. Oleh karena itu perintah menjalankan ibadah sholat perlu ditingkatkan kualitasnya, artinya tertib rukunnya dilaksanakan dengan khusyu. Bila ibadah sholat sudah baik maka ibadah lainnya dijamin sudah cukup baik, karena itu yang pertama-pertama dihisab pada hari kiamat nanti adalah sholatnya.
Bila sholatnya baik maka ibadah yang lainnya tidak akan dihisab lagi dianggap baik (seperti ujian disekolah bila mata pelajaran pokok hasilnya sangat memuaskan, maka yang lainnya dianggap sudah lulus).
Siapa yang dijanjikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala masuk surga ? Dalam surat Al-Mukminun (QS. 23 : 1 s/d 11) Allah SWT., berfirman:
1.” Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya”. (QS. 23: 1 s/d 2).
Selanjutnya Allah berjanji akan memberikan pusakan yaitu warisan berupa Surga Firdaus di akhirat nanti, penghuninya tidak lain adalah orang-orang yang beriman, bertaqwa dan yang dapat memelihara sholatnya dengan baik yaitu orang-orang tersebut sebagai penghuni surga baik yaitu orang-orang tersebut sebagai penghuni surga “ Firdaus” hidupnya langgeng tidak terputus-putus.
Hal ini terungkap dalam firman Allah SWT., dalam surat Al-Mukminun (QS. 23) ; 9, 10, 11 yaitu :
9. “dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.
10. mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi,
11. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya”.
Akhir kata, kami atas nama DKM Raya At-Taqwa kota Cirebon mengucapkan Selamat menunaikan ibadah Ramadhan 1433 H. Semoga kita mencapai kemenangan dalam ibadah kita.



Minggu, 22 Juli 2012

Tiga Sandaran Yang Rapuh


HIKMAH
Seorang Ulama bijak mengatakan:
1.      “Barang siapa hanya berpegang teguh pada akalnya, niscaya ia akan sesat jalan hidupnya.
2.      Barang siapa mengandalkan hartanya, berarti dia orang yang miskin, karena betapa pun banyak harta yang dimilikinya, ia tidak akan merasa puas dengannya.
3.      Barang siapa menggantungkan kemuliaannya kepada makhluk, dia adalah orang yang terhina”. (Nashoihul Ibad, Imam Nawawi al Bantani).