( Apakah
Hukuman, Ujian , Atau Penghapus
Dosa )
Oleh:
Jemi Naitboho, M.Si.
Apabila
kita berbicara tentang suatu musibah
pasti tidak ada batasnya, karena begitu kompleks dan cara pandang manusia
tentang kata musibah. Ada orang yang
akan berfikir bahwa musibah itu adalah
merupakan bentuk hukuman yang Allah
turunkan kepada manusia karena banyak dosa, ada juga orang yang mendefinisikan
bahwa musibah itu adalah ujian yang Allah berikan kepada manusia untuk mengukur
tingkat kesabaran. Ada juga orang yang akan menyatakan bahwa musibah adalah
salah satu bentuk kasih sayang Allah terhadap manusia sebagai penghapus dosa.
Dalam
pandangan dan perasaan manusia, semua jenis musibah pasti merupakan sesuatu
yang jelek, menyakitkan, atau menyedihkan. Dengan kata lain, secara manusiawi
kita tentu tidak menginginkan musibah, apapun bentuknya, kapan pun dan di mana pun.
Namun, apabila kita membaca beberapa keterangan ayat Alquran dan haditst nabi,
akan kita dapati bahwa musibah yang dialami oleh manusia dalam pandangan Allah ternyata
memiliki makna. Ada tiga makna bisa kita terjemahkan dari sebuah musibah. Pertama,
sebagai hukuman Allah atas pembangkangan yang dilakukan manusia terhadap aturan
yang telah ditetapkan-Nya. Kedua, sebagai penghapus dosa. Artinya, di akhirat
nanti ada dosa yang tidak diperhitungkan lagi karena hukumannya sudah
ditunaikan oleh allah di dunia. Ketiga, sebagai ujian untuk kenaikan
derajat manusia di mata Allah.
Antara Musibah dan Hukuman
Manusia
adalah tempatnya salah dan lupa. Demikianlah salah satu hadits Nabi menjelaskan
tentang manusia. Kita bisa berbuat salah apabila kita tidak tahu petunjuk atau
ilmunya. Akan tetapi, perbuatan salah tidak selalu berkaitan dengan
ketidaktahuan. Sering pula manusia berbuat salah padahal sudah tahu petunjuk atau
ilmunya. Atau, bisa jadi bukannya tidak tahu tetapi memang tidak mau tahu
dengan petunjuk-petunjuk atau aturan-aturan yang sudah ada.
Allah
SWT., telah memberikan petunjuk dan ilmu yang bisa digali oleh manusia di dalam
firman-Nya yang juga didukung dengan hadits-hadits Nabi saw. Itu semua
merupakan peraturan yang patut dilakukan agar manusia mencapai kebahagiaan
dalam kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika Allah membuat
peraturan, maka Allah juga membarikan ‘hadiah’ dan ‘hukuman’ bagi peraturan
itu. Dalam bahasa yang lebih tepat, itu disebut dengan konsekuensi logis atau
‘hukum alam’.
Jadi,
ketika manusia ditimpa musibah, maka merupakan suatu konsekuensi logis atas apa
yang telah dilakukannya. Musibah itu merupakan akibat dari sesuatu yang telah diperbuat
atau diabaikan oleh manusia. Dalam salah satu ayat Alquran Allah SWT., berfirman:
“dan apa saja musibah yang menimpa kamu
Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan
sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) (Q.S. Asy-syuara 42:30).
Dalam
ayat yang lain: “Apakah
kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah
membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun” (Q.S.
An-Nisa 4:79).
Kita
sering mengaitkan musibah yang terjadi dengan takdir Allah. Musibah memang
sebuah takdir, tetapi bukan berarti tidak ada kaitannya dengan amal perbuatan manusia.
Ustadz Quraish Shihab dalam buku Lentera Hati mengungkapkan bahwa adalah keliru
apabila seseorang mengingat takdir ketika terjadi malapetaka yang menimpanya
itu. lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa adalah benar kita tidak bisa
terlepas dari takdir Tuhan. Tetapi takdir-Nya tidak hanya satu. Kita diberi
kemampuan untuk memilih berbagai takdir Tuhan, berdasarkan hukum-hukum yang
telah ditetapkan-Nya. Sehingga apabila seseorang tidak menghindar darinya pasti
ia akan menerima akibatnya, dan itu aadalah takdir. Tetapi apabila ia
menghindar dan luput dari marabahaya, ia pun adalah takdir. Bukankah Tuhan
telah menganugerahkan manusia kemampuan untuk memilih?
Dengan
melihat penjelasan tersebut maka dapat kita pahami bahwa musibah yang menimpa
manusia merupakan hukuman dari Allah atau konsekuensi logis atas kesalahan yang
dilakukan manusia. Kesalahan itu bisa berupa kelalaian, kebodohan, atau
pengingkaran kita terhadap hukum yang sudah ada.
“dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat
kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. dan apabila mereka
ditimpa suatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh
tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa. (Q.S. Ar Rum 30:36).
Di
dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw., pernah bersabda, “akan datang suatu zaman atas manusia.
Perut-perut mereka menjadi Tuhan-Tuhan mereka. Perempuan-perempuan menjadi
kiblat mereka. Dinar-dinar menjadi agama mereka. Kehormatan mereka terletak
pada kekayaan mereka. Ketika itu, tidak tersisa iman sedikitpun kecuali namanya
saja. tidak tersisa islam sedikitpun kecuali upacara-upacara saja. Tidak
tersisa Alquran sedikiktpun kecuali pelajarannya saja. Masjid-masjid mereka
makmur dan damai. Akan tetapi hati mereka kosong dari petunjuk. Ulama-ulama
mereka menjadi makhluk-makhluk Allah yang paling buruk dipermukaan bumi. Kalau
terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa mereka dan menimpakan kepada
mereka berbagai bencana, kekejaman para penguasa, kekeringan dan kekejaman para
pejabat serta para pengambil keputusan.” Maka takjublah para sahabat
mendengarkan penjelasan Nabi ini. Mereka bertanya, “ya Rasulullah, apakah
mereka menyembah berhala?” Nabi menjawab, “ya, bagi mereka, setiap serpihan dan
kepingan uang menjadi berhala.”
Antara
Musibah dan Ujian
“Apakah kamu mengira bahwa
kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana
halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan
kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga
berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah
datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu
Amat dekat.” (Q.S. Al Baqarah 2:214)
Ayat
di atas menjelaskan dengan jelas dan sesungguhnya menerangkan bahwa golongan manusia
yang kelak akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat dengan hadiah surganya Allah
yang penuh dengan kenikmatan, adalah
mereka yang ketika di dunia telah diuji oleh Allah SWT. Ujiannya berupa malapetaka, kesengsaraan, dan
berbagai hal yang menguji keimanan seseorang sehingga ia pun sampai kepada
pertolongan Allah SWT.
Tapi,
apakah orang yang tidak diuji dengan kesengsaraan lantas tidak akan mendapatkan
kebahagiaan kelak diakhirat? Tidak demikian, sebab ujian atau cobaan itu tidak
hanya dalam bentuk malapetaka dan kesengsaraan. Ujian dan cobaan bisa pula
dalam bentuk kekayaan atau kepintaran dan kegembiraan dari Allah SWT.,
sesuai dengan firman-Nya sebagai
berikut : “Maka apabila manusia ditimpa
bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari
Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena
kepintaranku". sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu
tidak mengetahui.” (Q.S Az-Zumar 39:49)
Tentunya
kita semua harus menerima atas berbagai macam ujian dan cobaan yang ada didunia ini. Sebab banyak orang yang memang berhasil
menghadapi ujian malapetaka dan kesengsaraan, tetapi ada pula yang ternyata gagal dalam menghadapi ujian tersebut
yang berupa kesenangan dan kenikmatan. Sebagaimana Allah SWT., berfirman; “dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan
menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, Maka ia banyak berdoa.(Q.S.
Fushilat 41:51)
Antara Musibah dan Penghapus Dosa
Selain
sebagai hukuman dan ujian, musibah yang menimpa manusia bisa juga sebagai
proses penghapusan dosa manusia. Di dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa
Allah SWT., berfirman, “Demi kejayaan dan
keagungan-Ku, tidak akan aku matikan hamba-Ku yang Aku kehendaki kebaikan
baginya, sehingga aku menghapuskan dosa-dosa yang pernah ia lakukan melalui
rasa sakit dibadannya, kerugian pada hartanya, dan kematian anaknya. Maka
apabila masih terdapat dosa padanya maka Aku perberat baginya saat sakaratul
maut., sehingga ia menemui Aku seperti saat ia dilahirkan dari rahim ibunya (tidak mengemban satu dosapun). Dan demi
kejayaan dan keagungan-Ku. Tidak akan aku mematikan hambaku yang aku tetapkan
keburukan atasnya, sehingga aku menghapuskan perbuatan-perbuatan baiknya
melalui kesehatan tubuhnya(tidak pernah sakit). Bertambah hartanya, dan
bertambah anaknya; maka sekiranya masih ada kebaikan padanya, Aku ringankan
baginya sakaratulmaut sehingga dia mengharap-ku tidak memiliki kebaikan apa
pun.”
Selain
hadits qudsi diatas, mari kita simak pula sebuah hadits lain. Nabi Muhammad saw.,
bersabda, “tidak ada seorang muslim pun
yang ditimpa gangguan semacam tusukan duri atau yang lebih berat daripadanya
melainkan dengan ujian itu Allah menghapuskan perbuatan buruknya serta
digugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon kayu menggugurkan daun-daunnya.” (H.R.
Muttafaqun ‘Alaih).
Kita
sering menganggap musibah yang menimpa kita sebagai sesuatu yang buruk. Padahal
bisa jadi ada hikmah yang sangat besar dibalik itu semua. Jalaludin Rakhmat
dalam bukunya Meraih Cinta Ilahi mengungkapkan bahwa Allah SWT., memelihara manusia
bukan saja dengan kegembiraan tetapi juga dengan kesedihan. Allah SWT., mengurus
kita tidak hanya dengan kenikmatan tetapi juga dengan penderitaan. Tujuannya
adalah agar kita bisa mencapai perkembangan yang baik. Orang-orang yang tidak
pernah dipelihara dengan penderitaan biasanya tidak berkembang kearah
kesempurnaan. Jalaluddin pun mengingatkan bahwa kebaikan Allah SWT., kepada kita
jauh lebih besar daripada ujian-Nya dan kebaikan Allah SWT., tidak pernah
berhenti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar