Kamis, 04 April 2013

PLURALISME DALAM ISLAM

( Part.2 )
Oleh : Buya Yahya
Penasehat At-Taqwa Centre/
 Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah Cirebon

Sebagai seorang yang beragama Islam kamipun akan mencoba menampilkan wajah agama yang kami peluk sebagai gambaran umum sekaligus asasi tentang Islam dan pluralism seperti yang kami ungkapkan di awal tulisan ini bahwa sebenarnya kita tidak butuh dengan kalimat pluralism, karena kalimat tersebut telah diperkosa dan di aniaya sekelompok orang demi kepentinganya.
Ada hal penting dalam pluralisme yaitu masalah toleransi dengan semua yang berbeda. Konon toleransi adalah ruh pluralisme . Agar di ketauhi jika kita berbuat baik kepada tetangga atau orang yang berbeda agama dengan kita.  Perkenan Islam kepada non-muslim  untuk tinggal di dalam masyarakat Islam (negara Islam) berikut kebebasanya dalam beraktifitas  juga kebebasan dalam beribadah itu semua bukanlah sebuah toleransi. Akan tetapi hal itu merupakan ketetapan hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Suatu kesalahan jika ketetapan hukum dianggap sebagai toleransi. Sebab toleransi tidak lebih dari menjatuhkan hak atau merelakan haknya untuk tidak dipenuhi dan itupun ada batasan-batasan yang harus dipatuhi. Yang  ada dalam Islam lebih agung dari toleransi yaitu  kewajiban memenuhi hak orang lain.
Untuk lebih jelasnya kita bisa merujuk pada Nabi Islam, sosok pencipta dan pencetus keindahan dalam kebersamaam yang paripurna. Para pengikutnya pun seharusnya meniti jejak beliau. Mewujudkan keindahan dalam kebersamaan  dalam Islam tidak diperlukan berbagai macam toleransi, sebab makna kebersamaan  sendiri telah ditetapkan Islam dalam hukum-hukum yang jelas. Hanya dengan kembali kepada agamanya seorang muslim  akan menjadi seorang yang indah dalam kebersamaan.
Di saat Nabi Muhammad SAW memasuki Madinah, beliau menjamin masyarakat Yahudi dengan kebebasan beraktifitas dan menikmati haknya serta memberikan perlindungan keamanan dari penghianatan dan gangguan dari luar (Ibnu Hisyam 106/2). Padahal jika seandainya Nabi SAW menghardik atau memusnahkan mereka, beliau tidak akan dicela. Sebab Nabi SAW pernah dikhianati oleh Yahudi Bani Quraidhoh pasca perang Badar Kubra begitu juga Yahudi Bani Nadzir pasca perang Uhud. Penghianatan yang lain datang dari Yahudi Bani Quraidhah pasca perang Khondak. Pun demikian Nabi SAW yang diutus untuk membawa dan memberikan kasih sayang itu, senantiasa lemah lembut terhadap mereka dengan harapan keharmonisan bisa tercipta, biarpun orang-orang Yahudi tidak menghendakinya.
Begitu pula pada masa Kholifah Abu Bakar r.a, penerus dakwah Nabi SAW. Amat banyak cerita yang menunjukan bahwa beliau itu amat indah menghadapi perbedaan sebagaimana pendahulunya. Diantaranya adalah sepuluh wasiat beliau yang diberikan kepada Usamah bin Zaid yang berisi larangan menghianati lawan (dalam perang), membunuh anak kecil, orang tua, wanita, mencincang, merusak tanaman,membunuh binatang kecuali untuk dimakan,menghancurkan tempat peribadatan dst. Wasiat semacam ini disampaikan di saat ada perlawanan dari orang non Islam. Dalam Islam tidak ada istilah memusnahkan orang di luar Islam  akan tetapi yang ada adalah menyampaikan kebenaran kepada mereka dengan  penuh damai. Status keberadaan non muslim dalam  masyarakat Islam juga  beliau  kukuhkan sebagaimana  pendahulunya Nabi Muhammad SAW.
Kholifah Umar r.a pun demikian, seiring  dengan  berbondong-bondongnya  orang  masuk  Islam, wilayah  Islampun  dengan  sendirinya meluas. Persilangan budaya, tradisi dan  agama beliau selesaikan dengan cukup kembali kepada hukum yang ditetapkan pendahulunya Nabi Muhammad SAW. Bahkan di saat terjadinya  peperangan sekalipun beliau tidak lupa mengingatkan pasukannya seperti  yang  disampaikan  kepada Sa’ad bin Abi Waqqas agar menjauhkan pasukannya dari pemukiman non muslim. Ini dengan tujuan agar  tidak  memasuki pemukiman mereka kecuali orang yang benar-benar bisa dipercaya, sehingga tidak berbuat aniaya terhadap hak milik mereka. Sebab mereka punya   hak dan kehormatan yang harus dilindungi. Yang mereka lakukan bukanlah untuk sebuah toleransi, tetapi  karena  itulah ketetapan  hukum Islam. Dan masih banyak lagi suri-tauladan pluralisme pada masa Nabi SAW dan sahabat. Begitu juga sejarah perluasan Islam, termasuk masuknya Islam ke negara kita yang penuh kedamaian, bukan melalui peperangan atau penindasan.
 Pluralisme punya satu hakikat yang sungguh diseru oleh Islam. Siapapun harus bisa membedakan antara pemeluk Islam dan Islam itu sendiri. Gagalnya pluralisme dalam masyarakat Islam di sebabkan oleh kurang dekatnya mereka kepada ajaran agamanya.

Musuh-Musuh Pluralisme
Jika kita mengamati sekitar kita, terdapat dua kelompok yang amat berbahaya terhadap eksistensi pluralisme. Bahkan  keberadaan mereka tanpa disadari telah menghancurkan bangunan pluralisme yang semakin hari semakin rapuh. Mereka adalah :
1.    Orang-orang yang eksklusif dalam pemikiran keberagamaan, terkesan sekali dalam sepak terjang mereka menganggap dunia ini hanya mereka saja yang layak menghuninya. Sementara pemeluk lain tidak lebih sebagai makhluk jahat yang tidak boleh diberi kesempatan untuk hidup di bumi ini.
Ekstrimisme inipun hadir bukan tanpa sebab, tetapi ia adalah sesuatu yang terlahir dari salah satu dari dua hal berikut ini :
a)      Keberadaan agama itu sendiri yang eksklusif, sarat dengan doktrin-doktrin memusnahkan siapapun yang tidak sepaham dengan agama tersebut. Hakikat ini ada dalam doktrin agama selain Islam. Kita bisa lihat bagaimana kelompok Kristen di  beberapa kota dan daerah  di Sulawesi dan Irian disaat populasi mereka semakin banyak akan terasa diskriminasi bahkan upaya memusnahkan kaum muslimin dari tengah tengah mereka.Yang sungguh sangat berbeda jika kaum minoritas kristen berada di tengah-tengah  mayoritas kaum muslimin.
b)      Kebodohan sang pemeluk agama (padahal agamanya  sangat inklusif). Beragam aktifitas yang diatas namakan agama yang sering dikomandokan oleh    tokoh pemikir agama yang sempit dan bukan agamanya yang sempit (tidak kami pungkiri hal ini juga ada dalam Islam).  Hal semacam inilah yang hanya akan menciptakan masyarakat eksklusif, sempit pandangan dan acuh tak acuh  dalam aktifitas ditengah masyarakat yang plural. Orang  seperti  ini  telah  mengotori  agamanya  sendiri tanpa ia sadari.
2.    Orang yang tidak teguh dalam beragama dalam arti tidak teguh dalam meyakini agamanya (kelompok ini datang khusus dari agama yang tidak menyeru pada eksklusifisme).
Bahaya yang datang dari kelompok  yang terakhir ini lebih besar dari yang sebelumnya. Sebab sebelum segala sesuatunya kelompok ini telah menghianati agama itu sendiri dan kemudian membohongi pemeluk-pemeluknya. Kelompok ini sering hadir dalam bentuk penyamaan terhadap semua agama dan membenarkan semua agama. Jelasnya begini,sebagai contoh kami  adalah pemeluk agama Islam, lalu kami menyeru kepada umat Islam bahwa agama Kristen itu juga sama seperti agama Islam. Kitab suci orang Kristen juga masih asli seperti Al-Qur’an. Kemudian masyarakat yang percaya kepada kami akan menerima omongan kami mentah-mentah dan meyakininya. Namun setelah mereka benar-benar berinteraksi dengan agama Kristen ternyata antara dua agama itu terdapat perbedaan dan pertentangan. Di saat ia mencoba mengerti tentang agama Kristen ternyata agama itu telah mengklaim kebenaran agamanya, begitu juga saat ia kembali pada agama Islam, masyarakat Islam pun demikian meyakini kebenaran agamanya.
Apa yang terjadi setelah itu? Orang yang amat mendengar seruan saya tersebut berangkat dari semangat pluralismenya yang tulus akan dengan serta merta menyalahkan orang-orang yang mengklaim kebenaran agama masing-masing. Baik itu dari masyarakat yang seagama dengannya ataupun yang berbeda.
Kesimpulannya, ia telah menciptakan dua musuh dalam waktu yang bersamaan. Musuh dari luar dan musuh dari dalam sendiri. Maka orang tersebut akan menjadi sumber kerusakan dalam rumah sendiri, juga di luar rumah. Sementara yang harus kita yakini sebagai umat beragama adalah perbedaan memang selalu ada dalam hidup bermasyarakat. Ini merupakan kesepakatan semua  orang yang berakal, termasuk di dalamnya perbedaan di dalam beragama dan berkeyakinan. Pluralisme berfungsi dalam arena interaksi dengan sesama untuk menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Berangkat dari memahami perbedaan sesorang akan mudah dalam mewujudkan masyarakat yang pluralis.
Perhatikan, betapa anehnya orang yang mengatakan dua berbeda itu sama; dua kitab  suci yang jelas berbeda bahkan kadang bertentangan adalah  sama; dua  agama  yang  saling bertentangan adalah  sama-sama benar. Akal sehat mana yang bisa  mempercayai pernyataan seperti itu? Ia adalah musuh besar pluralisme yang mendakwakan dirinya sebagai pembela pluralisme. Ia adalah maling pluralisme yang menuduh orang lain sebagai maling. Inilah penyakit yang diidap oleh kaum yang mengaku muslim  akan tetapi mereka tidak menyadari.

Bersama Menuju Pluralisme yang sejati
Ada banyak hal yang amat menghambat kita dalam mewujudkan semangat pluralisme di Indonesia diantaranya :
1.      Problem nasional yang tidak kunjung padam, serta tidak adanya jaminan keamanan bagi masyarakat dari penguasa, berikut lambatnya penguasa menangani konflik. Hal yang akan menjadikan semua serba panas, bikin sesak dada, rasa ingin berontak, saling menyalahkan yang tidak hanya mempertinggi volume ketegangan antar agama tapi juga antar suku yang kadang juga masih seagama. Solusi problem yang satu ini lebih tepat jika diserahkan kepada pemerintah dengan  syarat “sungguh-sungguh”.

2.    Problem  seagama  misalnya dalam Islam masih sering terjadi permusuhan antar kelompok. Berbeda pendapat adalah wajar, tetapi mengklaim kekafiran atau bid`ah terhadap kelompok tertentu tanpa prosedur yang sah dalam Islam amat mengganggu jalannya pluralisme.
Belum lagi adanya isu-isu aneh tentang pemikiran (yang seolah-olah Islami) yang sering diangkat ke permukaan, yang hanya akan menambah suasana yang sudah panas ini bertambah panas.Yaitu islam yang di suarakan oleh kelompok islam liberal yang sungguh mereka adalah perusak keharmonisan dalam masyarakat . Untuk problem ini solusinya adalah mengembalikan permasalahannya kepada pakar Islam. Pakar yang benar-benar pakar, tercatat pernah mempelajari Islam dengan benar dengan bimbingan guru yang benar, punya mata rantai keilmuan dengan guru pluralis Nabi Muhammad SAW.

3.    Problem moral seperti banyaknya kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat  kita, mulai  dari pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, korupsi, dll adalah potret nyata jauhnya masyarakat kita dari tata moral agama. Pelakunya pun merata di seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari rakyat kecil, pejabat, orang awam, bahkan tokoh agama. Hal semacam ini yang menimbulkan keraguan terhadap fungsi agama  sebagai  cara dan  jalan  hidup. Padahal jelas kesalahan bukan di agama  tapi  pada  pemeluk  agama. Orang  yang semacam ini amatlah sulit untuk diajak mengerti tentang pluralisme, apa lagi untuk  menerapkanya. Padahal  pluralisme  adalah  puncak  moralitas.

Untuk  problem  yang  satu  ini  adalah  Pekerjaan Rumah (PR) bagi  semuanya, mulai  dari  penguasa, tokoh  agama, lembaga-lembaga  sosial dan keagamaan dan  setiap  individu, untuk  sama-sama  menyadari pentingnya  bermoral dalam  beragama dan  bermasyarakat. Karena  moral  sifatnya “kesadaran penuh” saat  disaksikan  orang  atau  tidak. Maka  pembinaannyapun  tidak  cukup dengan penegakan  hukum  oleh  penguasa, tapi  lebih  dari  itu, harus tercipta  kesadaran dalam  beragama. Artinya keyakinan akan  adanya  hari  pembalasan, keyakinan bahwa  yang  lolos  dari  hukuman  di dunia  tidak  akan  lolos dari hukuman  Tuhan di hari  pembalasan. Dan  kebaikan  yang  kita  lakukan  sekarang  akan  kitak  petik  buahnya  kelak.
Dengan demikian  pintu  akan terbuka lebar untuk  mewujudkan  pluralisme atau  bahkan  dengan  sendirinya  pluralisme  akan  terwujud. Karena  pluralisme tidak  lain  adalah  tata  moral  dalam bermasyarakat, baik itu sesuku, seagama, antar agama dan antar bangsa dengan menjauhkan  problem  sosial, agama dan  moral dalam individu  dan  masyarakat. dengan penuh pengharapan kepada Allah semoga pluralisme tidak hanya di layar atau di selebaran terbaca dan meja diskusi. Tetapi akan benar-benar tertanam dalam hati bangsa Indonesia lalu  diterjemahkan  kedalam dunia  interaksi hingga negeri ini akan  tentram  damai  penuh  rahmat  dan pengampunan dari Allah SWT.

Sebagai penutup, karena begitu dekatnya istilah pluralisme dengan lidah kelompok islam  liberal maka alangkah bijaknya jika kita setelah ini tidak usah menggunakan istilah tersebut dalam bahasa sosial kita agar tidak menjerumuskan orang yang tulus pada kelompok tersebut. Wallahu a’lam bishshowaab.

Kamis, 28 Maret 2013

Pengaruh Nama Pada Anak


dakwatuna.com - Para ahli sosiologi berpendapat bahwa nama yang berikan orangtua kepada anaknya akan mempengaruhi kepribadian, kemampuan anak dalam berinteraksi dengan orang lain, dan bagaimana cara orang menilai diri si pemilik nama.

Banyak alasan dan pertimbangan para orangtua dalam memilihkan nama anak. Ada yang menyukai anaknya memiliki nama yang unik dan tidak ‘pasaran’. Mungkin mereka tidak suka membayangkan ketika nama anaknya dipanggil di depan kelas, ternyata ada lima orang anak yang maju karena kebetulan namanya sama. Ada yang lebih suka anaknya memiliki nama yang singkat dan mudah diingat. Orangtua seperti ini akan beralasan, “Toh nanti anakku akan dipanggil dengan nama bapaknya di elakang namanya.” Walaupun pernah kejadian orang Indonesia yang diharuskan mengisi suatu formulir di negara Eropa agak kebingungan karena diharuskan mengisi kolom nama keluarga. Padahal sebagaimana juga kebanyakan orang Indonesia, nama yang ada di kartu indentitasnya hanya nama tunggal, tanpa nama keluarga atau bin/binti.

Beberapa orangtua lain memilihkan nama yang megah untuk buah hati mereka. Sementara bagi kalangan tertentu ada kepercayaan jika anak ‘keberatan nama’ nanti bisa sakit-sakitan. Sebagian orang ada yang menganggap nama sebagai sesuatu yang biasa, sekedar identitas yang membedakan seseorang dengan yang lain. Ada lagi yang memilihkan nama untuk anaknya berdasarkan rasa penghargaan terhadap seseorang yang dianggap telah berjasa atau dikagumi. “As a tribute to,” demikian alasannya.

Sebagai orangtua, kita perlu tahu makna dari sebuah nama dan mempertimbangkan yang terbaik untuk anak kita. Bayangkan bahwa anak kita akan menyandang nama tersebut sejak tertulis di akte kelahiran, hingga di hari akhir nanti.

Bagi umat muslim, nama adalah doa yang berisi harapan masa depan si pemilik nama. Para calon orang tua yang peduli tidak hanya berusaha memilih nama yang indah bagi anaknya, tapi juga nama yang memiliki arti yang baik dan memberikan dampak atau sugesti kebaikan bagi anak. Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam buku Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam menyebutkan beberapa hal penting tentang pemberian nama kepada anak.

Menurut beliau kita para orangtua hendaknya:

  • Memberikan nama segera setelah bayi dilahirkan. Lamanya berkisar antara sehari hingga tujuh hari setelah dilahirkan. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Tadi malam telah lahir seorang anakku. Kemudian aku menamakannya dengan nama Abu Ibrahim.” (Muslim). Dari Ashhabus-Sunan dari Samirah, Rasulullah saw. bersabda, “Setiap anak itu digadaikan dengan aqiqahnya. Disembelihkan (binatang) baginya pada hari ketujuh (dari hari kelahiran)nya, diberi nama, dan dicukur kepalanya pada hari itu.”
  • Memperhatikan petunjuk pemberian nama, dengan mengatahui nama-nama yang disukai dan dibenci. Ada pun nama-nama yang dianjurkan Rasulullah saw. adalah: Nama-nama yang baik dan indah. Rasulullah saw. menganjurk, “Sesungguhnya pada hari kiamat nanti kamu sekalian akan dipanggil dengan nama-nama kamu sekalian dan nama-nam bapak-bapak kamu sekalian. Oleh karena itu, buatlah nama-nama yang baik untuk kamu sekalian.” 

Nama-nama yang paling disukai Allah yaitu Abdullah dan Abdurrahman. Nama-nama para nabi seperti Muhammad, Ibrahim, Yusuf, dan lain-lain. Sedangkan nama-nama yang sebaiknya dihindari adalah: Nama-nama yang dapat mengotori kehormatan, menjadi bahan celaan atau cemoohan orang. Nama yang berasal dari kata-kata yang mengandung makna pesimis atau negatif. Nama-nama yang khusus bagi Allah SWT., seperti Al-Ahad, Ash-Shamad, Al-Khaliq, dan lain-lain. 

Pengaruh nama pada anak

Orangtua seharusnya berusaha memberikan sebutan nama yang baik, indah dan disenangi anak, karena nama seperti itu dapat membuat mereka memiliki kepribadian yang baik, memumbuhkan rasa cinta dan menghormati diri sendiri. Kemudian mereka kelak akan terbiasa dengan akhlak yang mulia saat berinteraksi dengan orang-orang disekelilingnya.

Anak juga perlu mengetahui dan paham tentang arti namanya. Pemahaman yang baik terhadap nama mereka akan menimbulkan perasaan memiliki, perasaan nyaman, bangga dan perasaan bahwa dirinya berharga.

Bagi lingkungan keluarga, adalah hal yang penting untuk menjaga agar nama anak-anak mereka disebut dan diucapkan dengan baik pula. Sebab ada kebiasaan dalam masyarakat kita yang suka mengubah nama anak dengan panggilan, julukan, atau nama kecil. Sayangnya nama panggilan ini terkadang malah mengacaukan nama aslinya. Nama panggilan ini kadang selain tidak bermakna kebaikan juga bisa mengandung pelecehan. Hal ini kadang terjadi karena nama anak terlalu sulit dilafalkan, baik oleh orang-orang disekitarnya bahkan bagi sang anak sendiri.

Nama yang terdiri dari tiga suku kata atau lebih akan membuat orang menyingkat nama tersebut menjadi satu atau dua suku kata. Misalnya Muthmainah akan disingkat menjadi Muti atau Ina. Sedangkan nama yang memiliki huruf ‘R’ biasanya akan lebih sulit dilafalkan anak yang cenderung cedal pada usia balita. Maka nama-nama seperti Rofiq (yang artinya kawan akrab) akan dilafalkan menjadi Opik, nama Raudah (taman) dilafalkan menjadi Auda.

Nama yang unik dan berbeda apalagi megah, mungkin memiliki keuntungan tersendiri. Namun nama yang demikian dapat menyebabkan beberapa masalah. Nama yang sulit diucapkan dapat membuat orang-orang sering salah mengucapkan atau menuliskannya. Ada suatu penelitian yang menunjukkan bahwa orang sering memberikan penilaian negatif pada seseorang yang memiliki nama yang aneh atau tidak biasa. Dr. Albert Mehrabian, PhD. melakukan penelitian tentang bagaimana sebuah nama mengubah persepsi orang lain tentang moral, keceriaan, kesuksesan, bahkan maskulinitas dan feminitas. Dalam pergaulan anak yang memiliki nama yang tidak biasa mungkin akan mengalami masa-masa diledek atau diganggu oleh teman-temannya karena namanya dianggap aneh. Pernah mendengar ada seseorang yang bernama Rahayu ternyata seorang laki-laki?

Jika ingin menamai anak dengan nama orang lain, ada baiknya memilih nama orang yang sudah meninggal dunia dan telah terbukti kebaikannya. Jika orang tersebut masih hidup, dikuatirkan suatu saat orang tersebut berubah atau mengalami kehidupan yang tercela. Sudah banyak contoh orang-orang yang pada sebagian hidupnya dianggap sebagai orang besar, ternyata di kemudian hari atau di akhir hayatnya digolongkan sebagai orang yang banyak dicela masyarakat. Kita harus menjaga jangan sampai anak kita menanggung malu karena suatu saat dirinya diasosiasikan dengan orang yang tidak baik.

Beruntunglah kita, karena di Indonesia nama-nama Islami sangat biasa dan banyak. Sehingga tidak ada alasan merasa malu atau aneh memiliki nama yang Islami. Hanya saja mungkin dari segi kepraktisan perlu dipertimbangkan nama anak yang cukup mudah diucapkan, tidak terlalu pasaran tapi tidak aneh, dan sebuah nama yang akan disandang anak kita dengan bangga sejak masa kanak-kanak hingga dewasa nanti. Wallahu alam.


Selasa, 26 Maret 2013

RUMAH SEJATI ITU BERNAMA MASJID

Oleh : Drs. H. Muchlis, SK, M.PdI 
(Pengawas Dinas Pendidikan Kota Crebon) 

“Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan Shalat, menunaikan Zakat, dan tidak takut(kepada siapa pun) selain kepada Allah maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS: At-Taubah: 18) 

“Home sweet home” begitu kata orang bule kala rindu kampung halaman. “Baiti jannatii,” begitu pula kata orang Arab kala bertemu handai taulan. “Home” atau “bait” atau “rumah” adalah kata yang sangat ajaib bagi manusia. Rumah adalah tempat kembali, tempat bernaung, tempat berlindung, dan terutama tempat untuk tumbuh dan melakukan segala aktivitas. 

Rumah adalah suatu tempat di mana kita dapat melakukan dan merasakan berbagai hal dengan sepenuh jiwa. Hanya saja orang sering lupa betapa tempat yang paling layak mendapatkan predikat rumah sejati bukanlah suatu bangunan persegi dengan komposisi kamar tidur, kamar mandi, dapur, garasi, dan ruang tamu di mana kita meninggalinya selama bertahun-tahun, melainkan bangunan (sederhana) bernama masjid. 

Masjid amatlah layak dikatakan rumah sejati karena masjidlah satu-satunya tempat yang selama ini setia menyertai perjalanan panjang kaum Muslimin dalam mengarungi hidup. Bahkan sejarah telah berulang kali mencatat betapa orang-orang hebat yang menjadi tokoh perubahan dunia mengawali “karier”-nya dari masjid ke masjid! 

MENGOPTIMALKAN FUNGSI MASJID 

1. Masjid Sebagai Sarana Pembinaan Iman 

Dalam surah yang sama (At Taubat) di ayat yang ke 108, Firman Allah: “… Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” [At-Taubah: 108] 

Pada ayat yang pertama Allah menjanjikan akan memberikan petunjuk (hidayah) kepada orang2 yang memakmurkan masjid yang istiqamah dalam ketha’atannya kepada Allah. Dan kita telah tahu, “… man yahdillahu fa laa mudhilalah…” (barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah niscaya tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Sedang di ayat berikutnya, meskipun yang dimaksud adalah masjid Quba namun (insya Allah) kita dapat mengimplementasikan pada masjid-masjid sekarang ini: mendirikan masjid haruslah atas dasar taqwa, sehingga akan dijumpai di dalamnya orang2 yang betul2 berazzam untuk membersihkan diri. 

Abu Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Darda ra., ia mendengar bahwa Salman Alfarisi ra., membeli budak untuk pelayan, maka Abu Darda ra menulis surat kepada Salman yang isinya: “Hai saudaraku pergunakan masa hidupmu untuk kepentingan ibadat sebelum tiba bala yang menyebabkan tidak dapat beribadat, dan pergunakan kesempatanmu untuk mendapat berkah doa dari orang yang menderita bala, dan kasih sayanglah kamu pada anak yatim, usaplah kepalanya dan berikan makanan padanya, supaya lunak hatimu dan tercapai hajatmu. Hai saudaraku saya pernah menyaksikan ketika Rasulullah SAW didatangi seorang yang mengeluh karena merasa keras hatinya, maka sabda Nabi SAW: “Kasihanilah anak yatim, dan usaplah kepalanya, dan berikan makanan kepadanya, niscaya akan lunak hatimu dan tercapai hajatmu”. Saudaraku, jadikan masjid bagaikan rumahmu sebab saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Masjid itu sebagai rumah orang yang bertaqwa, Dan Allah telah menjamin bagi orang-orang yang masjid itu adalah rumahnya, dengan kelapangan hati, dan kesenangan, kepuasan serta kemudahan menyeberangi shirat, dan selamat dari api neraka dan segera menuju pada keridhaan Allah SWT.” 

Alhakim bin Umar ra., berkata, “Jadilah kamu didunia ini bagaikan tamu dan jadikan masjid bagaikan rumahmu dan ajarkan hatimu lunak, kasih sayang, banyak-banyaklah bertafakkur dan menangis dan jangan sampai kamu dikacau oleh hawa nafsu.” 

Masjid adalah rumah orang yang bertaqwa, lebih tegas lagi Qatadah menyatakan, “Tidak layak seorang muslim kecuali di tiga tempat: masjid yang dimakmurkan, rumah yang menutupinya, atau hajat yang dibutuhkannya.” 

Dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, dari Abu Hurairah ra Nabi saw., menyebutkan ada 7 golongan yang akan dinaungi Allah di hari di mana tiada naungan lagi kecuali naungan-Nya, salah satunya (bahkan yang disebutkan pertama) adalah orang yang hatinya senantiasa tergantung di dalam masjid tentunya untuk beribadah. (diriwayatkan oleh imam bukhari, ahmad, muslim, tirmidzi, dan nasaa’i) 

Alhasan bin Ali ra berkata, “Tiga macam orang yang dibawah lindungan Allah: Seorang yang masuk masjid tidak masuk kecuali untuk Allah. Maka ia sebagai tamu Allah sehingga kelua kembali ke rumahnya.Dan seorang yang ziarah kepada saudaranya sesama muslim tiada berziarah kecuali karena Allah, maka ia termasuk ziyarah kepada Allah sehingga kembali. Dan seorang yang berhaji atau umrah tiada bepergian kecuali karena Allah, maka ia sebagai utusan Allah sehingga kembali pulang ke rumahnya. "

Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda: “Barangsiapa membersihkan diri di rumahnya, kemudian berjalan ke sebuah rumah diantara rumah-rumah Allah (masjid) untuk menunaikan satu fardhu, maka langkahnya yang sebelah menurunkan dosa sedang yang lain menaikkan derajat.” (diriwayatkan oleh Imam Muslim) 

Dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Nabi saw bersabda: “Barangsiapa dalam waktu pagi atau sore menuju masjid, maka ALlah menyediakan baginya hidangan di surga setiap datang waktu pagi dan sore.” (diriwayatkan oleh Bukhariy dan Muslim) 

Sub-haanallah, sedemikian tingginya ‘penghormatan’ Allah kepada para ‘tamuNya’. Sehingga para shahabat dulu memilih berjalan kaki ketika menuju ke masjid. Diceritakan oleh Ubay bin Ka’ab ra, “ada seorang lelaki dari shahabat Anshar yang saya ketahui tidak ada seorangpun yang rumahnya lebih jauh dari masjid daripada rumahnya, tetapi ia tidak pernah terlambat shalat. Pernah dikatakan kepadanya: “seandainya kamu membeli seekor keledai yang dapat kamu kendarai dalam kegelapan dan pada hari yang sangat panas.” Dia menjawab: “Tidaklah menggembirakan seandainya rumahku berada di samping masjid. Sungguh aku menginginkan dituliskan jalanku menuju ke masjid da kepulanganku kembali kepada keluargaku.” Maka Rasulullah saw bersabda: “Allah telah mengumpulkan untukmu semua itu (pahala berjalan berangkat dan kembali).” (diriwayatkan oleh Imam Muslim). 

2. Mesjid Sebagai Sarana Memperkuat Ukhuwah Islamiyah 

Mesjid mengajarkan kaum Muslimin banyak hal. Dalam shalat berjamaah misalnya, banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil. Roh Jama`i dan kebersamaan, ketaatan kepada pemimpin, tujuan hidup yang satu, kesamaan langkah dan gerak, dan masih banyak pelajaran lainya bisa kita ambil dari tempat yang suci ini. 

Ukhuwah Islamiyah juga bisa dibina dan dikembangkangkan dengan semangat Mesjid. Setelah melakukan Shalat berjamaah adalah cara yang sangat tepat dalam memperkuat tali silaturrahmi. Bahkan dalam kajian Fiqih disunnahkan bagi sang imam untuk menghadap kearah Jamaah, rahasianya adalah seorang Imam bisa melihat jamaahnya. 

Mungkin ada diantara mereka yang tidak shalat ke mesjid karena sakit atau uzur lainya. 
Unsur persamaan derajat juga bisa diambil dari roh dan semangat mesjid. Tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin ketika berada dalam masjid. Mereka yang datang lebih dahulu bisa duduk di shaf bagian depan, tanpa ada yang melarangnya. 

Kebersihan juga pelajaran penting yang bisa diambil dari roh dan semangat Mesjid. Berangkat ke mesjid dalam keadaan berwudhuk dan melepas alas kaki ketika memasuki mesjid. Hal ini mengajarkan kepada setiap pribadi muslim untuk menjaga kebersihan, Setiap mereka harus memulai pekerjaan sehari-harinya dengan niat yang bersih. 

Oleh karena itu kita harus bisa memposisikan mesjid sebagai wadah pemersatu kaum muslimin. Menghidupkan kembali peranan mesjid dengan segala macam aktivitas yang telah kita paparkan diatas yang telah terbukti membawa kaum muslim pada puncak peradaban besar. 

3. Mesjid Sebagai Pusat Informasi 

Disinilah sumber berita tentang perkembangan kehidupan yang layak diketahui kaum muslimin. Mulai dari isu perpolitikan, perang dan damai, dan kebijakan-kebijakan negara lainya. Disamping itu masjid menjadi pusat informasi keilmuan, dijadikan pusat kajian keislaman, pendalaman ulumul Islam sehingga masjid menjadi dambaan bagi orang-orang yang haus ilmu, apalagi bila masjid telah dilengkapi dengan perpustakaan yang memadai dan akses informasi melalui IT mudah diperoleh 


MENGHIDUPKAN KEMBALI RISALAH MASJID. 

Rumah Pertama di Muka Bumi Masjid langit bumi beserta isinya milik Allah. Tetapi Allah menyebut secara khusus bahwa masjid adalah kepunyaanNya. Masjid merupakan rumah pertama yg dibangun di muka bumi. Allah berfirman : “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping Allah.”( Q.S Al Jin : 18) 

Masjid Rasulullah saw adalah masjid yg berasaskan Taqwa. Maka jadilah masjid tersebut sebuah tempat menimba ilmu menyucikan jiwa dan raga. Menjadi tempat yg memberikan arti tujuan hidup dan cara-cara meraihnya. Menjadi tempat yang mendahulukan praktek kerja nyata sebelum teori. Sebuah masjid yang telah mengangkat esensi kemanusiaan manusia sebagai hamba terbaik di muka bumi. 

Pada saat ini secara umum ada dua tipe kecenderungan penyimpangan dalam pengelolaan masjid-masjid zaman sekarang. Pertama pengelolaan masjid secara konvensional. Gerak dan ruang lingkup masjid dibatasi pada dimensi-dimensi vertikal saja sedang dimensi-dimensi horizontal kemasyarakatan dijauhkan dari masjid. Indikasi tipe pengelolaan masjid jenis ini adalah masjid tidak digunakan kecuali untuk shalat berjamaah setelah itu masjid dikunci rapat-rapat. Bahkan terkadang jamaah pun hanya tiga waktu; Maghrib Isya’ dan Shubuh. Tipe lainnya adalah pengelolaan masjid yang melewati batasan syara’. Biasanya mereka berdalih untuk memberi penekanan pada fungsi sosial masjid tetapi mereka kebablasan. Maka diselenggarakanlah berbagai acara menyimpang di masjid . Misalnya pesta pernikahan dengan pentas musik atau tarian perayaan hari-hari besar Islam dengan ragam acara yangg tak pantas diselenggarakan di masjid dan sebagainya. Mereka lebih mengutamakan dimensi sosial yang ironinya menabrak syari’at Islam dan tidak mengabaikan fungsi masjid sebagai sarana ibadah dalam arti luas. 

Belum lagi tiap masjid akan mempunyai masalah tersendiri yang berbeda dari masjid lainnya. Misalnya masjid kurang terurus jarangnya pengurus dan jamaah sekitarnya yang shalat ke masjid, terjadinya perselisihan antar pengurus dalam menentukan kebijaksanaan masjid yang tidak lagi buka 24 jam dan lain sebagainya. Nampaknya faktor internallah yang menjadi penyebab utama terbengkalainya rumah-rumah Allah tersebut. 

Di era modern sekarang ini kita harus mampu memerankan dan memakmurkan masjid. Memakmurkan masjid mempunyai dua pengertian. Hissi dan maknawi. Hissi berarti membangun masjid secara fisik, membersihkanya, melengkapi sarana wudhuk dan yang lainya. Sedangkan memakmurkan masjid secara maknawi adalah meramaikan masjid dengan shalat berjama`ah, membaca Al-quran, i`tikaf, dan ibadah lainya. Dan yang tidak kalah penting adalah menjadikan Mesjid sebagai pusat kegiatan dan pengembangan masyaraakat 

Oleh karena itu para pengurus masjid terdiri dari hamba-hamba Allah yang berbasis ketaqwaan dan modal utamanya adalah niat yang ikhlas karena Allah kesungguhan dalam bekerja, kemauan dalam berusaha serta mau menghadapi tantangan dan ganjalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Semoga kita menjadi pelayan-pelayan umat. Amin

Rabu, 13 Maret 2013

DASYATNYA BAHAYA KEMUNAFIKAN (ANNIFAQ)

Oleh: Wahyudin, M.Pd.I
(Dosen Bahasa Arab IAIN Syekh Nurjati Cirebon) 

Untaian Puji dipersembahkan kepada Dzat yang Mahasuci, Allah Rubul Izzati yang tak pernah berhenti membelikan rizi pada seluruh abdi-Nya. Syukur kita persembahkan kepada Sang Penguasa jagat raya yang tak pernah bosan menaburkan kasih saying-Nya kepada makhluknya yang bersyukur. Sholawat dan salam ta’dzim semoga selalu tercurahkan kepada Nbi terakhir dan pilihan-Nya Nabi Muhammad saw.,  untuk mengawali tulisan ini, penulis menyampaikan sebuah puisi sederhana berikuti ini: 

Tanah tak terasa dipijak, 
pandangan mata gelap dan hati mengeras.. 
itulah yang terjadi ketika ego menguasai hati, 
dia tidak memberikan ruang sedikitpun kepada rasa cinta dan kasih sayang, untuk berlabuh. 

Hanya sesaat saja… 
bagaikan kemarau setahun dihapus hujan sehari. 
Kasih sayang yang dibina dengan ketulusan tidak dianggap dan lenyap begitu saja. 

Hujatan, makian keluar dari mulut tanpa henti, 
ketidakpuasan, kelemahan menjadi senjata untuk saling memaki dan memaki. Kemanakah hatinurani itu pergi, 
dan mengapa emosi dan ego itu menguasai…?

Hati memang cinta dan terkadang mulut tak dikontrol menjadi pemicunya… keinginan untuk menjadikan keadaan lebih baik dan membuat orang berubah menjadikan mulut tidak terkontrol. 
Semua merasa tersakiti…
Ketika disadari perubahan itu mesti dimulainya bukan untuk diinginkan saja 

Mari kita merenung sesaat petikan puisi tersebut, ditengah-tengah kesibukan akitifitas dan pekerjaan rutin kita. siapa kita sebenarnya? apa yang telah kita lakukan selama melanjalani kehidupan ini? adakah manfaat yang dirasakan orang lain dari apa yang kita lakukan? sudahkah kita melaksanakan apa yang selama ini kita katakan, berapa banyak janji yang kita ucapkan dan sejauhmana kita mampu menepatinya? 

Beberapa pertanyaan di atas, hanyalah sebuah renungan untuk mengintropeksi diri kita. terkadang kita selalu melihat suatu kesalahan, kekeliruan dan kekurangan selalu datang dari orang lain. padahal boleh jadi kita saat ini lebih bedjat dari orang selama ini kita cibir. lebih nista dari orang yang selama ini kita anggap pembohong. bahkan lebih membahayakan dari binatang yang paling buas dan penyakit yang mematikan, astagfirullah wa na’udzubilahi min dzalik. 

Manusia adalah mahluk Allah yang memiliki bentuk ideal (ahsanutaqwim), tetapi juga bisa menjadi makhluk yang sangat rendah (asfalasafilin). hal ini disebabkan karena ulah manusia itu sendiri. ada berbagai penyakit yang menyerang qolb manusia yang menjadikan manusia sangat rendah dihadapan Allah SWT., diantaranya adalah kemunafikan. 

Kemunafikan dalam diri manusia bisa datang kapan dan dimanapun manusia itu berada. tidak ada jaminan status sosial seseorang akan terbebas sifat dan penyakit ini. ada tiga tanda kemunafikan yang ada pada diri manusia seperti yang terdapat dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari abu hurairah antara lain: 1). Apabila ia berbicara berdusta. 2). Apabila berjanji ingkar dan 3). apabila dipercaya khianat. Andaikan satu poin saja ada pada diri kita segeralah bertaubat dan minta perlindung Allah agar terbebas dari penyakit ini. 

Kenapa Kemunafikan (Annifaq) sangat berbahaya ?

Nifaq adalah penyakit yang berbahaya dan membinasakan. Orang yang telah terserang penyakit ini (المنافق) tidak mungkin mendapatkan keberuntungan selamanya, kecuali jika bertaubat. Di dalam hati mereka terdapat penyakit dan Allah menambah lagi penyakitnya itu, karena mereka adalah pendusta. Munafik adalah sebutan untuk orang yang menyembunyikan kekufuran dengan menampilkan keislaman. Mereka sengaja melakukan tindakan demikian sebab ingin agar mereka diakui di tengah masyarakat Islam, dan dapat hidup aman dalam kekufurannya. 

Itulah munafiqin, penjual akhirat dengan kesenangan sesaat di dunia. Allah telah membongkar kedok dan isi hati mereka, bahwasanya mereka adalah orang yang benci terhadap apa yang diturunkan oleh Allah sehingga perbuatan baik yang mereka tampakkan tidaklah bermakna, lenyap hilang begitu saja di hadapan Allah. Sebagaimana firman-Nya 

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad:9) 

Berdusta dalam setiap ucapan, mengkhianati janji, curang di dalam perdebatan, tidak mau bersikap inshaf (adil), senang dengan penyelewengan dan enggan terhadap ayat adalah sebagian sifat mereka. 

Kalau di ajak melakukan kebaikan mereka lari, ketika melihat harta dan gemerlap dunia mereka berkerumun, tidak memegang sumpah, tidak mensyukuri nikmat dan di dadanya menyimpan kekufuran. Hati mereka gelap dan hitam pekat, tidak ada cahaya Islam dan tauhid, bahkan terselimuti kesyirikan, kekufuran dan kemaksiatan. Selalu menuruti hawa nafsu dan syahwat, enggan berbuat taat kepada Allah dan RasulNya, bahkan justru membelakanginya. bahayanya adalah bisa memecah belah perstuan kaum muslimin serta akan mendapatkan adzab dari Allah berupa neraka yang paling bawah dan dasyat panasnya (fi darqilasfal). 

Di sini kami akan sampaikan beberapa ciri-ciri orang munafiq selain yang telah disebutkan dalam hadits imam Bukhori dan imam Muslim tersebut di atas. bukan untuk diikuti, namun agar jangan sampai sifat-sifat tersebut melekat pada diri kita. Sebagaimana yang sering diungkapkan, bahwa kita mengetahui keburukan bukan untuk dikerjakan, namun agar dapat berhati-hati, barangsiapa tidak mengatahui keburukan, maka sangat mungkin akan terjerumus ke dalamnya. 

Pertama : Berdusta 

Dusta adalah sifat yang paling dominan dari seorang munafik, dan kedustaan terbesar adalah mengatakan keimanan, padahal hatinya ingkar. Ahlun nifaq selalu identik dengan kedustaan yang senantiasa melekat pada mereka, di mana pun berada dalam setiap gerak dan diamnya. Allah SWT., telah berfirman: 
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui, bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (al-Munafiqun:1) 

Setiap muslim yang suka berdusta berarti telah terkena virus kemunafikan, maka hendaklah segera mengobati penyakit ini dan menjauh sejauh-jauhnya. Seorang salaf mengatakan, “Termasuk dosa terbesar adalah lisan yang banyak berdusta (al-lisan al kadzub). 

Kedua ; Membuat Kerusakan di Bumi 

Setiap kali mereka membuat kerusakan di muka bumi, mereka menyangka telah melakukan perbaikan. Allah swt telah memberitahukan tentang mereka melalui firman Nya: “Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (al-Baqarah:11-12) 

Kerusakan orang munafik yang paling mendasar adalah mendahulukan akal dan hawa nafsu daripada syariat Allah. Mereka menyangka sedang memperbaiki atau meluruskan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. Mereka mengutak atik ayat dan hadits beserta pemahamannya dengan alasan penyegaran dan pembaharuan, dan fenomena ini akan terus berkembang dari masa ke masa. Jadi yang mereka maksudkan dengan ishlah (perbaikan) adalah segala yang mengikuti akal dan pendapat mereka, bukan Syariat Islam. 

Satu contoh yang paling mudah kita temukan, dengan mengatasnamakan kemajuan Islam kaum munafikin berusaha memodernkan pemahaman tentang Islam. Berbagai ayat dan hadis mereka ta’wil dengan sebuah sistem baru yang bernama hermeneutik. Akibatnya, ajaran-ajaran yang dibakukan di dalam al-Qur’an dan hadis dirombak dengan nama dekonstruksi. 

Ketiga : Merendahkan Orang yang Berpegang dengan Syari’at Islam 

Ini adalah sifat yang sangat klasik dan terus ada hingga kini, para munafiqin sangat benci terhadap orang yang berpegang teguh dengan syari’at Islam. Mereka beranggapan, bahwa tunduk terhadap syariat adalah kedunguan, kebodohan, kemunduran, keterbalakangan dan kehinaan. Allah SWT., berfirman :
“Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman. Mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman”. Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.” (al-Baqarah:13) 

Semoga materi diatas sebagai refleksi dan hikmah bagi kita semua, apapun profesinya, selama dia muslim, maka harus berupaya menghindari sifat-sifat munafik tersebut dalam kehidupan sehari-hari, agar kita senantiasa mendapat jaminan hidup dan sukses baik dunia maupun akhirat, serta mau mempelajari Islam, untuk mengetahuinya secara kaffah. tegasnya Allah SWT., menjelaskan, bahwa orang munafik sebenarnya mengetahui yang benar namun tidak mau menjalankan ajaran Islam dalam kehidupannya. Wallahu’alam bishowab.. 



Kamis, 07 Maret 2013

Perbedaan itu Rahmah

Oleh : Drs. HM. ’Utsmani Hs, MHI. 
Sekretaris Umum At-Taqwa Centre 
( Masjid Raya At-Taqwa dan Islamic Centre ) 


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ 

Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti ( klarifikasi ), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu “. 

Fakta Perbedaan 
Perbedaan ummatku adalah Rahmah“ masih di perdebatkan dalam kedudukannya apakah ungkapan Rasulullah atau ungkapan ulama, tapi secara subtansi selama dalam masalah-masalah furu’iyyah ( khilafiyah ) bukan masalah-masalah yang usuliyyah ( muhakkamat ) maka perbedaan pendapat adalah menjadi rahmah alternatif dan opsi ummat Islam dalam mengamalkan ajarannya selama perbedaan itu tetap merujuk dan beristhimbat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. 

Secara umum yang namanya manusia pasti senang dan suka cita berorganisasi, bergaul dan bersosialisasi dengan memiliki teman, sahabat, mitra, dan pasangan, karena nabi Adam pun luar biasa senangnya ketika dalam kesendiriannya kemudian Allah menganugerahi teman Sayidati “Hawa“ sebagai pasangan hidupnya. Oleh karena itulah manusia tidak mungkin bisa hidup sendiri, makanya disebut makhluk sosial. Namun di sisi lain manusia harus juga paham bahwa berorganisasi dengan berteman atau bermitra itu berarti siap untuk menerima perbedaan. Dan perbedaan itulah sebenarnya yang menjadikan pertemanan itu mengasyikkan. Coba bayangkan kalau semua teman kita sama jenisnya, sifatnya, dan tingkah lakunya dengan jenis, sifat dan tingkah laku kita, mungkin kita sama seperti hidup dalam dunia robot yang serba kaku dan tidak mengasyikkan tidak mendapatkan Rahmah. 

Allah berfirman : 

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ 

Artinya : “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” 

Dalam penjelasan Allah diatas jelas bahwa di anatara tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah adalah penciptaan manusia dalam bentuk dan warna kulit tubuh yang bermacam-macam serta berbahasa yang berbeda-beda. Allah menciptakan anak-anak Adam dalam perbedaan dan diperbedaan itulah Allah tunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya. 

Hakekat terpenting dari perbedaan itu adalah bagaimana perbedan-perbedaan tersebut dapat berkolaborasi, bekerja sama, saling mendukung, saling mengingatkan, menjadi kebaikan dan saling memberikan manfaat. Begitu juga halnya dengan berorganisasi, berteman, bersahabat dan bermitra agar perbedaan dapat dikelola dengan baik dan memberikan hasil positif bagi setiap individu dan klompok tertentu. Allah menciptakan manusia bermacam-macam bentuk dan rupa dengan tujuan bagi kita agar saling mengenal dan akhirnya bisa saling memberikan nilai dan hasil yang positif. 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ 

Artinya : “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. “ 

Menyikapi dan Mengemas Perbedaan 
Dalam berorganisasi, berteman dan persahabatan yang dibangun dengan nawaitu ” Lilla “ insya Allah akan dibimbing dan dituntun Oleh Allah untuk saling membangun kebaikan dan manfaat diantara mereka dengan berlomba untuk mengawali senyum, sapa, salam, salaman dan silaturrahim. 

Ketika ada kesalah pahaman tentang informasi dan prilaku diantara mereka maka bersegera untuk saling tabayyun ( klarifikasi ) bukan saling menghujat, salam tarik diri, saling memfitnah, saling menyombongkan kehebatan diri masing-masing dan menyimpulkan sendiri-sendiri yang justru tidak menyelesaikan masalah dan perbedaan. Allah wanti-wanti kepada kita dalam menyikapi informasi : 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ 

Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti ( klarifikasi ), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu “. 

Pertemanan dan kemitraan hendaknya dibungkus dan disemangati untuk salaing ingin melakukan perbaikan, jangan saling mengolok-olok karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok dan difitnah) lebih baik dari yang mengolok-olok, jangan saling mencela, jangan saling memanggil dengan gelar-gelar (panggilan) yang buruk (panggilan yang tidak disukai oleh yang dipanggil), menjahui kebanyakan prasangka jelek ( negatif thingking ), jangan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan saling menggunjing, dan harus jujur dan tidak membangun kebohongan dan kemunafikan diantara sahabat dan mitra. 

Tanda-tanda kehancuran umat Islam adalah : Melupakan dan menutupi kesalahan / kekurangan diri, Mengingat-ingat dan mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang lain, Mengingat-ingat kebaikan diri kepada orang lain padahal tidak mengerti apakah kebaikan itu diterima oleh Allah sebagai amal kebaikan, Melupakan dan membuang dari ingatannya kebaikan orang lain kepada dirinya, Membandingkan diri dengan yang lebih tinggi dan lebih kaya dalam hal materi dan jabatan, dan membandingkan diri dengan yang lebih jelek dan malas dalam masalah ibadah dan ketaqwaan. 

Semoga Allah selalu memberkahi, membimbing, meridhai pertemanan dan pergaulan kita semua amin. Wallahu A’lam bishawaab.

Selasa, 05 Maret 2013

DOA UNTUK IBU

Puisi Mutia Fitriyani

Aku tak tau apa yang harus kuLakukan tanpa dia
Dia yang seLaLu mengerti aku
Dia yang tak pernah Letih menasehatiku
Dia yang seLaLu menemani

DiaLah Ibu
Orang yang seLaLu menjagaku
Tanpa dia aku merasa hampa hidup di dunia ini
Tanpa.nya aku bukanlah apa-apa

Aku hanya seorang manusia Lemah
Yang membutuhkan kekuatan
Kekuatan cinta kasih dari ibu
Kekuatan yang Lebih dari apapun

Engkau sangat berharga bagiku
WaLaupun engkau seLaLu memarahiku
Aku tau
Itu bentuk perhatian dari mu
Itu menandakan kau peduLi denganku

Ya Allah,,
BerikanLah kesehatan pada ibuku
PanjangkanLah umur.nya
Aku ingin membahagiakan.nya
SebeLum aku atau dia tiada

Terimakasih Ibu
Atas apa yang teLah kau berikan padaku
Aku akan seLaLu menyanyangimu

Senin, 04 Maret 2013

PEMBANGUNAN KANTOR MUI KOTA CIREBON

MUI Kota Cirebon akan segera mempunyai kantor baru. Pembangunan kantornya sedang dilaksanakan mulai Februari 2013. Letak tanah yang menjadi tempat berdirinya bangunan adalah samping Masjid Raya At-Taqwa Kota Cirebon atau tepat di dekat menara At-Taqwa. 

Kantor MUI dibangun di atas lahan bekas Taman Pendidikan Al Quran (TPA) At-Taqwa yang sebelumnya menduduki lokasi ini. Sebagai gantinya TPA At-Taqwa berpindah ke lantai 2 Masjid Raya At-Taqwa Kota Cirebon dengan sekretariat dipindah sementara ke Sekretariat Remaja Masjid At-Taqwa sebelum dibangunkan gedung baru. 

Dana pembangunan kantor MUI berasal dari APBD Kota Cirebon dan Provinsi Jawa Barat. Dengan total perencanaan dana adalah sebesar Rp. 750.000.000,- (Tujuh ratus lma puluh juta rupiah). Dana tersebut merupakan APBD yang dikeluarkan di akhir masa jabatan Walikota Cirebon (Subardi, S.Pd.) yang masa jabatannya berakhir di bulan Maret 2013. 

Kantor MUI Kota Cirebon merupakan sarana penunjang kegiatan pengurus MUI Kota Cirebon. Semoga dengan berdirinya kantor ini, MUI dapat lebih maksimal lagi dalam menjalankan tugasnya menegakkan aqidah dan Agama Islam. Serta tugas dakwah sebagai penerus Rasulullah saw., dapat terlaksana dengan baik. 





Kamis, 28 Februari 2013

ISLAM DAN PERUBAHAN MASYARAKAT

Oleh : Sugino Abdurrahman, S.Pd.I.

Ketua Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) Kota Cirebon 
Wakil Ketua ICC Kota Cirebon 

Pemimpin dan kepemimpinan yang berkarakter hanya akan tampil dari orang-orang yang bermoral kuat dan senantiasa melakukan kebaikan dalam hidupnya. Dalam bahasa Islam, yaitu orang-orang yang beriman dan beramal soleh. Dari sinilah akan mengalir energi besar sebuah bangsa untuk bangkit dan membangun kembali kehidupanya. Karena sang pemimpin berusaha kuat untuk senantiasa berjalan dan bekerja dengan bimbingan Allah. Sebuah bangsa yang terpuruk dan nyaris meluncur ke jurang kehancuran akan kembali bangkit di bawah kepemimpinanya yang beriman dan beramal soleh tersebut. Inilah janji Alah sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nuur ayat 55, yang artinya : 

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang soleh, bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoinya untuk mereka. Dan dia akan benar-benar akan menukar keadaan mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan aku. Dan barang siapa yang tetap kafir setelah janji itu maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” 

Dari sinilah Islam mengajarkan kepada umatnya dan semua manusia untuk memilih pemimpin dengan benar melalui cara apapun termasuk pemilu, pilkada, dan lain-lain. Penduduk sebuah negeri diajarkan untuk menyeleksi pemimpin dari orang-orang yang memilii komitmen kebenaran, dan senantiasa mewujudkan nilai-nilai kebenaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Dan sebaliknya Islam melarang keras kepada penduduk negeri yang beriman untuk mengangkat orang-orang yang melecehkan kebenaran, sebagai pemipin mereka. 

Dalam Surat An-Nuur ayat 55 seperti disebutkan di atas pemimpin yang beriman dan beramal soleh dengan bimbingan Allah SWT., mengamalkan tentang tiga langkah besar untuk melakukan perubahan masyarakat dan bangsa : 

Pertama, Tamkin Ad-diin atau mengokohkan kembali nilai-nilai spiritual dan ajaran agama sebagai orientasi dan pedoman kehidupan semua warga masyarakat. Agama mengajarkan prinsip dasar bahwa manusia dan kehidupan alam semesta berasal dari Allah sang Pencipta dan diadakan untuk tujuan mengabdi kepadanya. Agama juga menunujunkan kepada manusia jalan-jalan yang dikenhendakis ang pencipta. Dengan begitu, agama menjadi sumber moralitas dan perilaku yang benar dan baik bagi warga masyarakat. Inilah yang sungguh-sungguh mulai lenyap dari kehidupan. 

“…kemudian jika dating petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah:38-39). 

Kedua, Tabdil al-hayah, atau melakukan perubahan total terhadap berbagai aspek yang mendasar dalam kehidupan. Kekuasaan memiliki amanah untuk melakukan isti’mar al ardh atau memakmurkan kehidupan bumi, sehingga semua penduduknya merasa aman dan sentosa hidup didalamnya. 

“…Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kaum dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…” (QS. Huud : 61) 

Pemakmuran kehidupan di bumi berpihak pada prinsip pendayagunaan semua sumber daya yang Allah berikan dan tundukan bagi manusia, tanpa dirasuki motif untuk melakukan perusakan didalamnya. 

“…Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentigan) mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan..” (QS. Luqman : 30) 

Prinsip pendayagunaan yang tidak merusak berjalan ketika manusia menggunakan rasionalitas akalnya, yang menjadi kelebihan atau keistimewaannya dihadapan makhluk-makhluk lain yang Allah ciptakan. Pengabaian terhadap rasionalitas akal pikiran hanya akan melahirkan manusia-manusia rakus dan perusak yang bekerja hanya hawa nafsu durjananya. 

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan” (QS. Al-Israa : 70) 

Pada saat yang bersamaan, rasionalitas akal pikiran dalam mendayagunakan semua potensi sumberdaya untuk memakmurkan kehidupan, harus diikuti dengan sikap moral-mental yang senantiasa mensyukuri semua hasil dan nikmat yang didapatkan. Karena sikap mental (mental mode) semacam inilah yang mampu meningkatkan kemakmuran dan menambah rezeki dari Allah SWT. 

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat Pedih" (QS. Ibrahim : 7) 

Sikap mental syukur nikmat ditandai dengan suburnya rasa solidaritas social terhadap kaum fakir miskin dan dijauhinya perilaku berlebihan dalam urusan materi, atau perilaku mubazir, karena inilah wujud perilaku buruk syetan. 

Prinsip dasar berikutnya dari tabdil al-hayah adalah adil, yaitu rekonstruksi kehidupan ekonomi, politik, hokum, social, dan budaya harus diwarnai prinsip keadilan yang dirasakan oleh para penduduk negeri. Prinsip keadilan ini mensyaratkan adanya permasalahan kehidupan, diikuti sikap tegas dan jelas dalam mengambil kebijakan yang berorientasi kepada kemaslahatan umum, serta kepastian hokum yang mengilkat dan mengatur secara kuat semua proses kehidupan masyarakat tanpa terkecuali. 

Ketiga, Ri’ayah al-mashalih al-ijtima atau memelihara potensi kebaikan masyarakat. Salah satu pintu kehancuran kehidupan sebuah negeri adalah ketika para pemimpin dan penduduknya tidak mampu memelihara semua potensi yang telah dimiliki dan dibangunnya. Justru sebaliknya, terjadi penghancuran secara sistematis dan massif, tanpa mereka sadari. Allah mengingatkan manusia tentang orang-orang yang mengadakan sesuatu dianggap baik, tetapi kemudian mereka merusaknya sendiri lantaran tidak mampu memeliharanya. 

Ri’ayah al mashalih al-ijtima’iyyah pada hakekatnya adalah sikap hidup seluruh penduduk negeri beserta para pemimpinnya untuk berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran menjauhi segala hal yang bisa merusak dan selalu menegakkan amar maruf nahyi munkar. 

Dan inilah tiga langkah besar untuk melakukan tiga perubahan besar, untuk melakukan perbaikan kehidupan yang sebelumnya sudah porak-poranda. Tiga langkah ini akan melahirkan kembali iklim ”iman dan taqwa” pada penduduk negeri ini dan pada para pemimpinnya, sebagai syarat terbukanya pintu-pintu keberkahan hidup dari Allah SWT. Dzat yang Maha Kaya. 

”Jikalau sekiranya penduduk negeri–negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakakn ayat-ayat Kami itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96). Wallahu’alam