Kamis, 28 Februari 2013

ISLAM DAN PERUBAHAN MASYARAKAT

Oleh : Sugino Abdurrahman, S.Pd.I.

Ketua Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) Kota Cirebon 
Wakil Ketua ICC Kota Cirebon 

Pemimpin dan kepemimpinan yang berkarakter hanya akan tampil dari orang-orang yang bermoral kuat dan senantiasa melakukan kebaikan dalam hidupnya. Dalam bahasa Islam, yaitu orang-orang yang beriman dan beramal soleh. Dari sinilah akan mengalir energi besar sebuah bangsa untuk bangkit dan membangun kembali kehidupanya. Karena sang pemimpin berusaha kuat untuk senantiasa berjalan dan bekerja dengan bimbingan Allah. Sebuah bangsa yang terpuruk dan nyaris meluncur ke jurang kehancuran akan kembali bangkit di bawah kepemimpinanya yang beriman dan beramal soleh tersebut. Inilah janji Alah sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nuur ayat 55, yang artinya : 

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang soleh, bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoinya untuk mereka. Dan dia akan benar-benar akan menukar keadaan mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan aku. Dan barang siapa yang tetap kafir setelah janji itu maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” 

Dari sinilah Islam mengajarkan kepada umatnya dan semua manusia untuk memilih pemimpin dengan benar melalui cara apapun termasuk pemilu, pilkada, dan lain-lain. Penduduk sebuah negeri diajarkan untuk menyeleksi pemimpin dari orang-orang yang memilii komitmen kebenaran, dan senantiasa mewujudkan nilai-nilai kebenaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Dan sebaliknya Islam melarang keras kepada penduduk negeri yang beriman untuk mengangkat orang-orang yang melecehkan kebenaran, sebagai pemipin mereka. 

Dalam Surat An-Nuur ayat 55 seperti disebutkan di atas pemimpin yang beriman dan beramal soleh dengan bimbingan Allah SWT., mengamalkan tentang tiga langkah besar untuk melakukan perubahan masyarakat dan bangsa : 

Pertama, Tamkin Ad-diin atau mengokohkan kembali nilai-nilai spiritual dan ajaran agama sebagai orientasi dan pedoman kehidupan semua warga masyarakat. Agama mengajarkan prinsip dasar bahwa manusia dan kehidupan alam semesta berasal dari Allah sang Pencipta dan diadakan untuk tujuan mengabdi kepadanya. Agama juga menunujunkan kepada manusia jalan-jalan yang dikenhendakis ang pencipta. Dengan begitu, agama menjadi sumber moralitas dan perilaku yang benar dan baik bagi warga masyarakat. Inilah yang sungguh-sungguh mulai lenyap dari kehidupan. 

“…kemudian jika dating petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah:38-39). 

Kedua, Tabdil al-hayah, atau melakukan perubahan total terhadap berbagai aspek yang mendasar dalam kehidupan. Kekuasaan memiliki amanah untuk melakukan isti’mar al ardh atau memakmurkan kehidupan bumi, sehingga semua penduduknya merasa aman dan sentosa hidup didalamnya. 

“…Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kaum dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…” (QS. Huud : 61) 

Pemakmuran kehidupan di bumi berpihak pada prinsip pendayagunaan semua sumber daya yang Allah berikan dan tundukan bagi manusia, tanpa dirasuki motif untuk melakukan perusakan didalamnya. 

“…Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentigan) mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan..” (QS. Luqman : 30) 

Prinsip pendayagunaan yang tidak merusak berjalan ketika manusia menggunakan rasionalitas akalnya, yang menjadi kelebihan atau keistimewaannya dihadapan makhluk-makhluk lain yang Allah ciptakan. Pengabaian terhadap rasionalitas akal pikiran hanya akan melahirkan manusia-manusia rakus dan perusak yang bekerja hanya hawa nafsu durjananya. 

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah kami ciptakan” (QS. Al-Israa : 70) 

Pada saat yang bersamaan, rasionalitas akal pikiran dalam mendayagunakan semua potensi sumberdaya untuk memakmurkan kehidupan, harus diikuti dengan sikap moral-mental yang senantiasa mensyukuri semua hasil dan nikmat yang didapatkan. Karena sikap mental (mental mode) semacam inilah yang mampu meningkatkan kemakmuran dan menambah rezeki dari Allah SWT. 

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat Pedih" (QS. Ibrahim : 7) 

Sikap mental syukur nikmat ditandai dengan suburnya rasa solidaritas social terhadap kaum fakir miskin dan dijauhinya perilaku berlebihan dalam urusan materi, atau perilaku mubazir, karena inilah wujud perilaku buruk syetan. 

Prinsip dasar berikutnya dari tabdil al-hayah adalah adil, yaitu rekonstruksi kehidupan ekonomi, politik, hokum, social, dan budaya harus diwarnai prinsip keadilan yang dirasakan oleh para penduduk negeri. Prinsip keadilan ini mensyaratkan adanya permasalahan kehidupan, diikuti sikap tegas dan jelas dalam mengambil kebijakan yang berorientasi kepada kemaslahatan umum, serta kepastian hokum yang mengilkat dan mengatur secara kuat semua proses kehidupan masyarakat tanpa terkecuali. 

Ketiga, Ri’ayah al-mashalih al-ijtima atau memelihara potensi kebaikan masyarakat. Salah satu pintu kehancuran kehidupan sebuah negeri adalah ketika para pemimpin dan penduduknya tidak mampu memelihara semua potensi yang telah dimiliki dan dibangunnya. Justru sebaliknya, terjadi penghancuran secara sistematis dan massif, tanpa mereka sadari. Allah mengingatkan manusia tentang orang-orang yang mengadakan sesuatu dianggap baik, tetapi kemudian mereka merusaknya sendiri lantaran tidak mampu memeliharanya. 

Ri’ayah al mashalih al-ijtima’iyyah pada hakekatnya adalah sikap hidup seluruh penduduk negeri beserta para pemimpinnya untuk berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran menjauhi segala hal yang bisa merusak dan selalu menegakkan amar maruf nahyi munkar. 

Dan inilah tiga langkah besar untuk melakukan tiga perubahan besar, untuk melakukan perbaikan kehidupan yang sebelumnya sudah porak-poranda. Tiga langkah ini akan melahirkan kembali iklim ”iman dan taqwa” pada penduduk negeri ini dan pada para pemimpinnya, sebagai syarat terbukanya pintu-pintu keberkahan hidup dari Allah SWT. Dzat yang Maha Kaya. 

”Jikalau sekiranya penduduk negeri–negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakakn ayat-ayat Kami itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96). Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar