Jumat, 19 Oktober 2012

QURBAN 2000

QURBAN BERSAMA 2000 WARGA KOTA CIREBON




PAKET SEHAT (Rp. 2.000.000,-)




PAKET NIKMAT (Rp. 2.500.000,-)





PAKET AMANAT (Rp. 17.000.000,-)







PAKET BERSAHABAT (Rp. 17.000.000,-)






CP: 087728955183 IBNU MALIK, S.Pd.I.



QURBAN ADALAH, QURBAN 2012, QURBAN DAN AQIQAH, FIQIH QURBAN,





Kamis, 11 Oktober 2012

“ KEUTAMAAN ORANG YANG MENUNTUT ILMU SYAR’I “


Oleh ;
Drs. H. KOMARUDIN, KS. M.Pd
Dosen Unswagati Cirebon 

Semoga Allah Swt senantiasa  mengaruniakan kepada kita sifat-sifat dan keyakinan, dan meminta kita ke jalan orang –orang yang  bertaqwa, melengkapi diri dengan  ilmu syar’i adalah fardu ‘ ain atas setiap muslim dan muslimah. Karenanya tidak ada alasan sama sekali bagi setiap muslim dan muslimah untuk mengabaikannya.

 Seseorang yang senang  mempelajari ilmu syar’i akan  senantiasa mendapatkan  berbagai macam keutamaan yang tidak akan pernah diperoleh oleh orang yang tidak  mempelajarinya. Oleh karena itu,  saudara – saudara sekalian  disini akan ditegaskan  bahwa sesungguhnya Allah akan   membedakan dan menambahkan  nilai lebih kepada hambah-hamba-Nya berdasarkan ilmu yang dimilikinya.  Sebab telah terbukti ada banyak keutamaan yang dapat diperoleh oleh para penuntut  ilmu syar’i, namun pada kesemptan kali  kami penulis hanya akan menguraikan beberapa keutamaan di antaranya  di antara lain sebagai berikut;
Pertama : Bahwasanya  Allah Ta’ala akan mengangkat derajat orang yang menuntut ilmu,  sebagaimana disebutkan dalam firman- Nya.  Artinya: “… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” ( Qs. Al-Mujadilah: 11)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mengambarkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman karena mereka berhak mendapatkannya.  Huruf al  dalam kata al-‘ilm pada ayat di atas menunjukkan ahdiyyah  atau pengkhususan terhadap satu jenis ilmu, bukan menunjukkan jinsiyyah atau keumuman atas semua jenis ilmu, karena yang mendapatkan hak  untuk dinaikkan derajatnya oleh Allah hanyalah orang yang memiliki ilmu syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan mencakup pada semua jenis ilmu. [Lihat Bahjatun Nazhirin (II/462-463) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/285)]
Al-kisah disebutkan  bahwa pernah ada seseorang yang lehernya cacat, sehingga dia selalu menjadi bahan ejekan orang-orang disekitarnya. Kemudian ibunya berkata kepadanya, “Hendaklah engkau menuntut ilmu, niscaya Allah akan mengangkat derajatmu.”. Lalu orang tersebut menuntut ilmu syar’i sampai dia menjadi seorang yang ‘alim (pandai), sehingga dia diangkat menjadi Hakim di Mekah selama 20 tahun. Dan jika ada seseorang yang memiliki perkara duduk dihadapannya, gemetarlah seluruh tubuhnya sampai dia berdiri. [Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 26) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga  (hal. 33)]
Kedua ;  Allah Ta’ala menjadikan kebaikan untuknya, sebagaimana dalam sabda Nabi saw ; Artinya: “Barang siapa yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah, Dia akan menjadikannya mengerti tentang (urusan) agamanya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (No. 71, 3116,)
Hadits di atas menyebutkan tentang keutamaan mempelajari ilmu syar’i dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya adalah orang yang tidak dikehendaki kebaikannya oleh Allah. Sebaliknya orang yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah maka Dia memberikannya pemahaman dalam agamanya. Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah pernah berkata, “Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 39)]
Ketiga : Bahwasannya orang yang menuntut ilmu syar’i dan memiliki ilmu syar’i dikecualikan dari laknat Allah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat; Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat pula apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim, dan seorang yang menuntut ilmu.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Majah (no. 4112), Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 1708), Ibnu Abi ‘Ashim dalam Az-Zuhd (no. 57), dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/150, no. 135), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Hadits di atas menyebutkan tentang keutamaan ilmu syar’i,  bahwasanya orang-orang yang berilmu, dan orang-orang yang menuntutnya. dalam proses menuntut ilmu syar’i, manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang yang ‘alim sebagai pengajar dan orang yang menuntutnya (pelajar). Keduanya berada di atas jalan yang lurus dan selamat. [Lihat Bahjatun Nazhirin (I/542-543) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (II/307)]
Keempat : Bahwasannya orang yang menuntut ilmu syar’i diibaratkan seperti seorang yang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,.Artinya: “Barang siapa yang memasuki masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, dia ibarat seorang yang berjihad di jalan Allah. Dan barang siapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu, dia ibarat orang yang sedang melihat sesuatu yang bukan miliknya.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad  II/350,)
Apabila berjihad dengan hujjah (dalil) dan keterangan lebih didahulukan dari pada jihad dengan pedang dan tombak. Sebagaimana Allah Ta’ala pernah memerintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berjihad dengan Al-Qur’an untuk melawan orang-orang kafir, seperti disebutkan dalam firman-Nya . “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah kepada mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.” (Qs. Al-Furqan: 52)
Kelima : Bahwasannya orang yang menuntut ilmu syar’i akan dimudahkan jalannya menuju Surga, dimohonkan ampun oleh penduduk langit dan bumi, serta dinaungi oleh sayap-sayap para Malaikat. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi saw.”Artinya: “Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah memudahkan jalannya menuju Surga. sesungguhnya para Malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha atas apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya orang yang berilmu benar-benar dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi, bahkan oleh ikan-ikan yang berada di dalam air.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3641),
Penjelasan kalimat “jalan untuk menuntut ilmu mengandung dua makna, yaitu:  Pertama, menempuh jalan untuk menuntut ilmu dalam artian yang sebenarnya, seperti berjalan kaki menuju majelis-majelis ilmu. Sedangkan Kedua,  adalah menempuh jalan atau cara yang dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh ilmu syar’i, seperti membaca, menghapal, menela’ah, dan sebagainya.
Sedangkan penjelasan pada kalimat Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga mengandung dua makna juga, yaitu : Pertama, Allah akan memudahkan orang yang menuntut ilmu semata-mata karena mencari keridhaan Allah, mengambil manfaat, dan mengamalkannya, untuk memasuki Surga-Nya.  Sedangkan yang  Kedua, Allah akan senantiasa memudahkan jalan baginya menuju Surga ketika melewati titian ash-shirathal mustaqim pada hari Kiamat dan memudahkannya dari berbagai kengerian pada sebelum dan sesudahnya. [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (II/297,)
Jalan menuju Surga yang diperuntukkan bagi para penuntut ilmu ini merupakan ganjaran dari Allah akibat usaha yang pernah ditempuhnya selama di dunia untuk mencari ilmu yang akan mengantarkannya kepada ridha Rabbnya. Sedangkan para Malaikat yang membentangkan sayap-sayapnya merupakan suatu bentuk kerendahan hati, penghormatan, dan pengagungan mereka kepada para penyandang dan para pencari martabat pewaris kenabian ini.
Keenam : Bahwasannya orang yang memiliki ilmu dan mengajarkannya akan tetap mendapatkan pahala atas ilmu yang telah diajarkannya tersebut selama ilmu itu diamalkan, meskipun dia telah meninggal dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,  Artinya: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, amalannya terputus, kecuali tiga hal (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38),
Hadits ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu juga besarnya buah dari ilmu yang dimiliki seseorang. Karena pahala ilmu yang telah diajarkan kepada orang lain, akan tetap diterima oleh pemiliknya selama ilmu tersebut diamalkan oleh orang lain. Meskipun dia telah meninggal dunia dan seluruh amalannya telah terputus, namun akibat ilmu yang diajarkannya kepada orang lain membuatnya seolah-olah tetap hidup dan amalnya tidak terputus. Hal ini selain menjadi kenangan dan sanjungan bagi pemilik ilmu tersebut, juga menjadi kehidupan kedua baginya, karena dia tetap merasakan pahala yang mengalir untuknya ketika semua pahala amal perbuatan telah terputus darinya. [Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 46)]

Kamis, 04 Oktober 2012

MENYELAMI MAKNA HAKIKAT TAKWA


Oleh:
Drs. H. Muchlis, M.Pd.I.
Dosen STAI Bunga Bangsa Cirebon

         Kata “takwa” sudah sangat akrab bagi setiap pribadi muslim. Bahkan kata tersebut telah mewarnai rangkaian kalimat dalam sebuah pernyataan politik, sosial  dan budaya. Namun kata takwa tidak hanya berupa retorika, ataupun ungkapan yang melayang-layang melainkan harus menukik dalam relung hati yang paling dalam yang kemudian menjelma dan bisa kita raih dan dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu menjadi penting bagi kita memahami hakikat taqwa yang sesungguhnya.

         Berkaitan dengan hal tersebut, Syekh Thaha Abdullah al Afifi mengutip ungkapan sahabat Nabi Muhammad SAW Ali bin Abi Thalib ra tentang hakikat takwa, yaitu:
“Al Khaufu minal jalil wal amalu bittanzil wal i’dadu liyaumir rohil warridho bil qolil “
Artinya : Takut kepada Allah yang Maha Mulia, mengamalkan apa yang termuat dala at tanzil (Al-Qur’an), mempersiapkan diri untuk hari meninggalkan dunia dan ridha (puas) dengan hidup seadanya (sedikit).

Dari ungkapan sahabat Ali di atas, ada empat hakikat taqwa yang harus dapat  kita raih yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari:
Pertama, “Al Khaufu minal jalil” yaitu takut kepada Allah. Salah satu sikap yang harus kita miliki adalah al khauf  (takut) kepada Allah SWT. Yang dimaksud  adalah takut kepada murka, siksa dan azab-Nya sehingga hal-hal yang bisa mendatangkan murka, siksa dan azab Allah SWT sekecil apapun harus kita jauhi. Thoriqohnya (metodenya) yaitu dengan semakin dekat kepada Allah. Inilah yang disebut dengan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).

Karena itu, totalitas  perilaku seorang  muslim yang takut kepada Allah SWT idealnya tidak akan melakukan penyimpangan dari segala ketentuan-Nya. Ucapannya, perbuatannya dan tindakannya senantiasa berada pada wilayah dan berusaha semaksimal mungkin agar tetap pada bingkai ridha Allah. Bilapun ia melakukan sebuah kesalahan maka tidak menunggu-nunggu lagi untuk untuk meminta maaf jika itu menyangkut hak adami.

Sebagai contoh, pada masa Rasul ada seorang wanita yang berzina dan ia amat menyesalinya, dari perzinahan itu ia hamil dan sesudah taubat iapun datang kepada Rasul untuk minta dihukum, namun Rasul tidak menghukumnya saat itu, karena kehamilannya yang harus dipelihara. Sesudah melahirkan dan menyusui anaknya, maka wanita itu dihukum sebagaimana hukuman untuk pezina yang menyebabkan kematiaannya, saat Rasul  menshalatkan jenazahnya, Umar bin Khattab mempersoalkannya karena ia wanita pezina, Rasulullah kemudian menyatakan: “Ia telah bertaubat, suatu taubat yang seandainya dibagi pada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya masih cukup. Apakah ada orang yang lebih utama dari seorang yang telah menyerahkan dirinya kepada hukum Allah?” (HR. Muslim).
Jika melakukan perbuatan dosa, maka ia tidak menunda-nunda untuk beristigfar kepada Allah. Sebagaimana firman Allah : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa” (Qs Ali Imran [3] :133).

Kedua. Wal amalu bit tanzil, yaitu beramal berdasarkan wahyu.  Al Qur’an diturunkan oleh Allah SWT untuk menjadi petunjuk bagi manusia agar bisa bertaqwa kepada-Nya. Karena itu, orang muslim yang mengamalkan nilai hakikat  takwa akan selalu beramal atau beraktifitas dalam seluruh aspek kehidupannya  selalu berkiblat kepada wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT, termasuk hadits atau sunnah Rasulullah SAW karena ucapan dan perilaku Nabi memang  didasari oleh wahyu. Dengan kata lain, seseorang dikatakan bertaqwa bila melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Dalam konteks inilah, menjadi amat penting bagi kita untuk selalu megkaji al-Qur’an dan al-hadits, sebab alangkah naifnya apabila kita  memahaminya saja tidak dan bagaimana pula kita bisa memahami bila membaca dan mengkajinyapun tidak.

Kita boleh mengambil i’tibar  pada kehidupan para sahabat, mereka selalu berusaha untuk beramal berdasarkan wahyu. Karenanya mereka berusaha mengakajinya kepada Nabi dan para sahabat, bahkan tidak sedikit dari mereka yang suka bertanya. Meskipun mereka suka melakukan sesuatu, tapi bila ternyata wahyu tidak membenarkan mereka melakukannya, maka merekapun berusaha untuk meninggalkannya.

Suatu ketika ada beberapa orang sahabat yang dahulunya beragama Yahudi, mereka ingin sekali bisa melaksanakan lagi ibadah pada hari sabtu dan menjalankan kitab Taurat, tapi turun firman Allah SWT yang membuat mereka tidak jadi melakukannya, yaitu adalah  : Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu  (QS Al Baqarah [2]: 208).

Berkaitan dengan ayat di atas, pada firman “Kaaffatan”, seperti yang disampaikan Imam Al Marogi yaitu menuruti hukum-hukum Allah secara keseluruhan dilandasi dengan berserah diri, tunduk dan ikhlas kepada Allah. Syaikh Muhammad Ash Shobuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir mempertegas kalimat “Kaaffatan”, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, melaksanakan semua hukum-hukum  dan syariat-syariatnya dan janganlah kamu mengambil sebagian hukum dan meninggalkan sebagian hukum lainnya. Ibnu Abbas dan sekelompok tabiin menjelaskan firman Allah “masuklah ke dalam Islam secara keseluruhannya”, maksudnya ialah masuklah ke dalam Islam dan taatilah segala perintah-Nya secara optimal.

Ketiga : Wal i’dadu li yaumir rohil yaitu mempersiapkan diri untuk akhirat. kematian merupakan sesuatu yang pasti terjadi pada setiap orang. keyakinan kita menunjukkan bahwa mati bukanlah akhir dari segalanya, tapi mati justru awal dari kahidupan baru, yakni kehidupan akhirat, yang enak dan tidaknya sangat tergantung pada keimanan dan amal shaleh seseorang dalam kehidupan di dunia ini. Karena itu, orang yang bertaqwa akan selalu mempersiapkan dirinya dalam kehidupan di dunia ini untuk kebahagiaan kehidupan di akhirat. Berkenaan dengan  ini Rasulullah bersabda : “Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau penyeberang jalan”. Ibnu Umar berkata, “Jika kamu di sore, jangan menunggu pagi hari, dan jika kamu di pagi hari, jangan menunggu sore hari. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum kamu sakit, dan waktu hidupmu sebelum kamu mati “ (Riwayat Bukhari).

Bila kita sudah menyadari kepastian adanya kematian, maka kita tidak akan mensia-siakan kehidupan di dunia yang tidak lama. Kita akan berusaha mengefektifkan perjalanan hidup di dunia ini untuk melakukan sesuatu yang bisa memberikan nilai positif, sebagai apapun kita. Waktu dan kesempatan tidak dibiarkan belalu apalagi bila perbuatan kita dibalut maksiat. Melainkan kehidupan kita bermakna bagi kita, dan dihindarkan sekecil apaun perbuatan salah dan dosa. Allah SWT berfirman :  “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (Qs Al Kahfi [18]:110).

Manakala seseorang sudah melakukan segala sesuatu sebagai bentuk persiapan untuk kehidupan sesudah kematian, maka orang seperti inilah yang disebut dengan orang yang cerdas, meskipun ia bukan sarjana. Karena itu, Rasulullah SAW  bersabda :  “Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beamal bagi kehidupan sesudah mati ) HR. Ahmad, Tirmidzi dan Hakim).

 Keempat :  “Warridha bil qolil”. Yaitu ridha meskipun sedikit. Setiap kia pasti ingin mendapat sesuatu khusunya harta dalam jumlah yang banyak sehingga bisa msencukupi diri dan keluarga serta bisa berbagi kepada orang lain. Namun keinginan tidak selalu sejalan dengan kenyataan, ada saat dimana kita mendapatkan banyak, tapi pada saat lain kita mendapatkan sedikit, bahkan sangat sedikit dan tidak cukup. Orang yang bertaqwa selalu ridha dan menerima apa yang diperolehnya meskipun jumlahnya sedikit, inilah yang disebut dengan qana’ah, sedangkan kekurangan dari apa yang diharapkan bisa dicari lagi dengan penuh kesungguhan dan cara yang halal. Korupsi yang menjadi penyakit bangsa kita hingga sekarang adalah karena tidak ada sikap ridha menerima yang menjadi haknya, akibatnya ia masih saja mengambil hak orang lain dan administrasi serta penguatan hukum atas penyimpangan yang dilakukannya bisa diatur, karenanya Allah SWT mengingatkan kita semua dalam firman-Nya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan nerbuat)dosa, padahal kamu mengetahui. (QS Al Baqarah [2]:188)
Wallahu a’lam

Jumat, 21 September 2012

PERAN THORIQOH DALAM MEMBERSIHKAN HATI


Oleh: Abdul Wasi, M.Pd.I
(Kepala Sekolah TPA/ TPQ  At-Taqwa Kota Cirebon)

Bila kita mau melihat lebih jauh tentang filosofis atau makna “ Al Mudghoh”  yang di sebutkan pada bahasan sebelumnya,   Hati sering digunakan dengan maksud makna jiwa, dan hati yang bermakna liver. Untuk menggambarkan betapa pentingnya menjaga hati yang bermakna jiwa manusia saya akan menguraikan  mudhgoh atau hati dalam hadis tersebut dengan makna  liver. Ini  analog saja untuk memudahkan pemahaman pada tujuan dari pembahasan kita ini.
            Mudghoh  atau  hati  letaknya di dalam tubuh manusia. Tubuh manusia membutuhkan perhatian yang serius. Perlu kita ketahui bahwa penyakit-penyakit manusia bersumberkan dari hati. baik dan tidaknya metabolisme tubuh seseorang tergantung pada baik dan tidaknya darah darah orang tersebut. Dan  darah itu akan menjadi baik dan tidak tergantung dua hal sebagai berikut :
 Yang Pertama  adalah  Apa yang dimakan dan yang dan bagaimana cara memperoleh makanan itu. Apa yang dimakan adalah harus sehat  seperti  buah-buahan, sayur-sayuran, daging-dagingan yang memperkuat stamina.  Kemudian darimana yang kita makan atau bagaimana cara mendapatkan makanan itu. Yang jelas makanannya harus halal, halal disini sudah mencakup pengertian makanan itu diperoleh dengan cara yang benar.
Yang Kedua adalah Darah itu baik dan tidaknya adalah bersumber dari pencernaan. Pencernaan yang berfungsi dengan baik akan membuat darah baik dan begitu juga sebaliknya.  jika pencernaannya tidak berfungsi dengan baik maka darah yang dihasilkannya juga tidak akan baik.
Upaya untuk membantu memperbaiki pencernaan biasa  kita lakukan paling tidak satu tahun sekali; yaitu puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan diantara manfaatnya adalah membersihkan semua organ-organ manusia. Panasnya pencernaan  orang-orang yang berpuasa akan membakar hal-hal yang negativ  dalam pencernaan seperti bachsil dan bakteri. Dan lain sebagainya. Dengan demikian pencernaan dapat kita analogikan seperti bejana yang kita gunakan untuk memasak  segala sesuatu.
Kita bayangkan seandainya bejana itu tidak pernah dicuci. Setalah kita gunakan untuk memasak  ikan laut, kita gunakan untuk memasak telur, terus demikian silih beganti sehingga menimbulkan kerak pada bejana itu. Demikian pula pencernaan, kerak-kerak, imbas daripada yang kita makan lambat atau cepat mempengaruhi proses kerja perncernaan atas makanan yang kita konsumsi.
Sangat jelas sekali bahwa pencernaan tidak bisa bekerja sendiri. Hasil proses pencernaan dilimpahkan ke ginjal, pancreas sampai pada liver. Dari kerja sama yang kompak menghasilkan beberapa hal, diantaranya darah putih, darah merah, sperma, keringat, air kencing dan kotoran.
Dari hasil kerja sama yang baik antara organ tubuh manusia tersebut akan menghasilkan lima hal di atas yang baik pula. Bila akibat proses kerja pencernaan yang kurang baik sehingga terjadi darah kotor dalam tubuh manusia, maka sangat diperlukan sekali pembersih. Yang pertama untuk membersihkan pencernaan yang menjadi sumber pengelola makanan dalam tubuh. Dan yang Kedua  membersihkan apa yang telah di olah.
Tugas liver adalah menjatah atau menyalurkan darah ke jantung dan ke otak kecil. Apakah tidak mungkin apabila darah atau kotoran akan mempengaruhi fisik otak manusia serta sarafnya. Sehingga kurang mampu untuk berfikir baik, membuka wawasan, dan pandangan yang jauh.
Dengan hasil darah yang baik, sehat, akan sangat membantu dalam kecerdasan; dari kecerdasan hati sampai kecrdasan akal. Sehingga menumbuhkan pola fikir dan  wawasan serta pandangan yan jernih. Bisa memilah mana yang menguntungkan dalam dunia dan akhiratnya. Dan mana yang merugikan dalam kedua hal tersebut.
Secara fisik saja sangat memerlukan kesehatan dan kebersihan. Hati adalah bagian tubuh manusia yang sangat  berperan dalam memberikan atau dalam mensuport pola fikir, wawasan dan pandangan manusia, karena hati adalah tempatnya iman dan tempatnya nafsu. Lalu apa yang terjadi jika kita tidak mempunyai alat untuk membersihkannya.
Kita harus memberikan makanan hati serta pembersihnya seperti ilmu ma’rifat dan lain sebagainya, yang terkait dengan keimanan serta pertumbuhannya. Paling tidak kita bisa memilih mana yang di dorong oleh imannya dan mana yang didorong oleh nafsunya. Seperti masalah pencernaan diatas bukan sesuatu hal yang mustahil bilamana kita mendiamkan kotoran-kotoran hati maka akan mempengaruhi pola fikir yang pada dasarnya akan merugikan diri sendiri.

Kamis, 13 September 2012

DIAGNOSA SAKIT HATI


 Oleh: Drs. H.M. Utsmani Hs., M.H.I.
(Sekretaris Islamic Centre Kota Cirebon)

Dokter yang mendiagnosa,  mengobati  dan  merawat  “  Hati  Adalah “ Keinginan Diri Sendiriuntuk  berusaha memperbaiki “ Hablumminallah”  dan “ Hablumminannas ”
Cita-citanya sehat Jasmani dan Rohani Dan Do’anya  Robbana Aatinaa Fiddunya Hasanah
Wafil Akhiroti Hasanah.
   
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
“ Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”
أَلَا إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُهَا, أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad terdapat sekerat daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. (H.R. Bukhari no. 52 dan Muslim no.1599, Dikutip dari sebagian hadits no.6 Arbain An-Nawawiyah)
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali berbicara tentang diagnosa penyakit hati dan kiat-kiat untuk mengobati dan merawat penyakit hati tersebut. Beliau  menyebutkan sebuah doa Nabi yang isinya meminta agar kita diselamatkan dari berbagai jenis penyakit hati, dari doa  tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa ciri-ciri orang yang berpenyakit hati adalah sebagai berikut:
1.   Memiliki ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmunya tidak berguna baginya dan tidak menjadikannya  lebih dekat kepada Allah SWT. Alquran menyebutkan orang yang betul-betul takut kepada Allah  itu sebagai ciri orang yang  memiliki ilmu: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba- Nya ialah orang yang berilmu.
2.   Mempunyai hati yang tidak bisa khusyuk. Dalam menjalankan ibadah, ia tidak bisa mengkhusyukkan hatinya sehingga tidak bisa menikmati ibadahnya. Ibadah menjadi sebuah kegiatan rutin yang tidak mempengaruhi perilakunya sama sekali. Tanda lahiriah dari orang yang hatinya tidak khusyuk adalah matanya sulit menangis.
3.   Memiliki nafsu yang tidak pernah kenyang. Ia memendam  ambisi yang tak pernah habis, keinginan yang terus menerus, serta keserakahan yang takkan terpuaskan.
4.   Orang yang berpenyakit hati adalah doanya tidak diangkat dan didengar Tuhan.
Kiat Mengobati Penyakit Hati
1.      Mencari guru yang mengetahui penyakit hati kita. Ketika kita datang kepada guru tersebut, kita harus datang dengan segala kepasrahan. Kita tidak boleh tersinggung jika guru itu memberitahukan penyakit hati kita.
2.      Umar Ibn Al-Khattab berkata, “Aku menghargai sahabat-sahabatku yang menunjukkan aib-aibku sebagai hadiah untukku.”Seorang guru harus mencintai kita dengan tulus dan begitu pula sebaliknya, kita harus mencintai guru kita dengan tulus. Apa pun yang dikatakan guru, kita tidak menjadi marah. Kita juga harus mencari guru yang lebih sedikit penyakit hatinya daripada diri kita sendiri.
3.      Mencari  sahabat  yang  jujur, Sahabat adalah orang yang membenarkan bukan yang membenar-benarkan kita. Sahabat yang baik adalah yang membetulkan kita, bukan yang     menganggap apa pun yang kita lakukan itu betul.
4.      Mencari musuh dan mempertimbangkan ucapan-ucapan musuh tentang diri kita. Musuh dapat menunjukkan aib kita dengan lebih jujur ketimbang sahabat kita sendiri.
5.      Memperhatikan perilaku orang lain yang buruk dan kita rasakan akibat perilaku buruk tersebut pada diri kita. Dengan cara itu, kita tidak akan melakukan hal yang sama. Hal ini sangat mudah karena kita lebih sering memperhatikan perilaku orang lain yang buruk daripada perilaku buruk kita sendiri.
Sebuah kisah dari Jalaluddin Rumi akan  menutup tulisan ini. Alkisah, di sebuah kota ada seorang pria yang menanam pohon berduri di tengah jalan. Walikota sudah memperingatkannya agar memotong pohon berduri itu. Setiap kali diingatkan, orang itu selalu mengatakan bahwa ia akan memotongnya besok. Namun sampai orang itu tua, pohon itu belum dipotong juga. Seiring dengan waktu, pohon berduri itu bertambah besar. Ia menutupi semua bagian jalan. Duri itu tidak saja melukai orang yang melalui jalan,tapi juga melukai pemiliknya. Orang tersebut sudah sangat tua. Ia menjadi amat lemah sehingga tidak mampu lagi untuk menebas pohon yang ia tanam sendiri.
Di akhir kisah itu Rumi memberikan nasihatnya, “Dalam hidup ini, kalian sudah banyak sekali menanam pohon berduri dalam hati kalian. Duri-duri itu bukan saja menusuk orang lain tapi juga dirimu sendiri. Ambillah kapak Haidar (Haidar adalah nama kecil Imam Ali), potonglah seluruh duri itu sekarang sebelum kalian kehilangan tenaga sama sekali.”
Yang dimaksud Rumi dengan pohon berduri dalam hati adalah penyakit- penyakit hati dalam ruh kita. Bersamaan dengan tambahnya umur, bertambah pula kekuatannya. Tak ada lagi waktu yang lebih tepat untuk menebang pohon berduri di hati kita itu selain saat ini. Esok hari, penyakit itu akan semakin kuat sementara tenaga kita bertambah lemah. Tak ada daya kita untuk menghancurkannya.



Kamis, 06 September 2012

MERAIH JATI DIRI DENGAN ISTIQAMAH


Oleh: Ahmad Syatory, M.Ag.
(Direktur Laziswa At-Taqwa dan Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

Pendahuluan
Dari Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah radhiyallahu anhu, ia berkata : " Aku telah berkata : ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu’. Bersabdalah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Katakanlah : Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’ “. [Muslim no. 38]
Kalimat “katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu”, maksudnya adalah ajarkanlah kepadaku satu kalimat yang pendek, padat berisi tentang pengertian Islam yang mudah saya mengerti, sehingga saya tidak lagi perlu penjelasan orang lain untuk menjadi dasar saya beramal. Maka Rasulullah saw., menjawab : “katakanlah : ‘Aku telah beriman kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu’ “. Ini adalah kalimat pendek, padat berisi yang Allah berikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Dalam dua kalimat ini telah terpenuhi pengertian iman dan Islam secara utuh. Beliau menyuruh orang tersebut untuk selalu memperbaharui imannya dengan ucapan lisan dan mengingat di dalam hati, serta menyuruh dia secara teguh melaksanakan amal-amal shalih dan menjauhi semua dosa. Hal ini karena seseorang tidak dikatakan istiqamah jika ia menyimpang walaupun hanya sebentar. Hal ini sejalan dengan firman Allah : " Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah). (Fushilat: 30).
‘Umar bin khaththab berkata : “Mereka (para sahabat) istiqamah demi Allah dalam menaati Allah dan tidak sedikit pun mereka itu berpaling, sekalipun seperti berpalingnya musang”. Maksudnya, mereka lurus dan teguh dalam melaksanakan sebagian besar ketaatannya kepada Allah, baik dalam keyakinan, ucapan, maupun perbuatan dan mereka terus-menerus berbuat begitu (sampai mati). Demikianlah pendapat sebagian besar para musafir. Inilah makna hadits tersebut, Begitu pula firman Allah : “Maka hendaklah kamu beristiqamah seperti yang diperintahkan kepadamu” (Q.S.  Hud : 112).
Menurut Ibnu ‘Abbas, tidak satu pun ayat Al Qur’an yang turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang dirasakan lebih berat dari ayat ini. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda : “Aku menjadi beruban karena turunnya Surat Hud dan sejenisnya”.
Abul Qasim Al Qusyairi berkata : “Istiqamah adalah satu tingkatan yang menjadi penyempurna dan pelengkap semua urusan. Dengan istiqamah, segala kebaikan dengan semua aturannya dapat diwujudkan. Orang yang tidak istiqamah di dalam melakukan usahanya, pasti sia-sia dan gagal”. Ia berkata pula : “Ada yang berpendapat bahwa istiqamah itu hanyalah bisa dijalankan oleh orang-orang besar, karena istiqamah adalah menyimpang dari kebiasaan, menyalahi adat dan kebiasaan sehari-hari, teguh di hadapan Allah dengan kesungguhan dan kejujuran. Oleh karena itu, Nabi saw., bersabda : Istiqamahlah kamu sekalian, maka kamu akan selalu diperhitungkan orang’.
Al Washiti berkata : “Istiqamah adalah sifat yang dapat menyempurnakan kepribadian seseorang dan tidak adanya sifat ini rusaklah kepribadian seseorang”.
Pengertian Istiqomah
Istiqamah artinya teguh hati, taat asas, atau konsisten. Meskipun tidak semua orang bisa bersikap istiqamah, namun memeluk agama, untuk memperoleh hikmahnya secara optimal, sangat memerlukan sikap itu. Allah menjanjikan demikian: "Dan seandainya mereka itu bersikap istiqamah di atas jalan kebenaran, maka pastilah Kami siramkan kepada mereka air yang melimpah." (QS. Al-Jinn/72:16).
Air adalah lambang kehidupan dan lambang kemakmuran. Maka Allah menjanjikan mereka yang konsisten mengikuti jalan yang benar akan mendapatkan hidup yang bahagia. Tentu saja keperluan kepada sikap istiqamah itu ada pada setiap masa, dan mungkin lebih-lebih lagi diperlukan di zaman modern ini. Karena kemodernan (modernitas, modernity) bercirikan perubahan. Bahkan para ahli menyebutkan bahwa kemodernan ditandai oleh "perubahan yang terlembagakan" (institutionalized change). Artinya, jika pada zaman-zaman sebelumnya perubahan adalah sesuatu yang "luar biasa" dan hanya terjadi di dalam kurun waktu yang amat panjang, di zaman modern perubahan itu merupakan gejala harian, dan sudah menjadi keharusan.
Lihat saja, misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi microchip (harfiah: kerupuk kecil) dalam teknologi elektronika. Siapa saja yang mencoba bertahan pada suatu bentuk produk, baik dia itu produsen atau konsumen, pasti akan tergilas dan merugi sendiri. Karena itulah maka "Lembah Silikon" atau Silicon Valley di California selalu diliputi oleh ketegangan akibat kompetisi yang amat keras. Adanya kesan bahwa "perubahan yang terlembagakan" itu tidak memberi tempat istiqamah adalah salah. Kesalahan itu timbul antara lain akibat persepsi bahwa istiqamah mengandung makna yang statis.
Memang istiqamah mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekan. Melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Dapat dikiaskan dengan kendaraan bermotor: semakin tinggi teknologi suatu mobil, semakin mampu dia melaju dengan cepat tanpa guncangan. Maka disebut mobil itu memiliki stabilitas atau istiqamah. Dan mobil disebut dengan stabil bukanlah pada waktu ia berhenti, tapi justru ketika dia melaju dengan cepat. Maka begitu pula dengan hidup di zaman modern ini. Kita harus bergerak, melaju, namun tetap stabil, tanpa goyah. Ini bisa saja terwujud kalau kita menyadari dan meyakini apa tujuan hidup kita, dan kita dengan setia mengarahkan diri kepadanya, sama dengan mobil yang stabil terus melaju ke depan, tanpa terseok ke kanan-kiri.
Lebih-lebih lagi, yang sebenarnya mengalami "perubahan yang terlembagakan" dalam zaman modern ini hanyalah bidang-bidang yang bersangkutan dengan "cara" hidup saja, bukan esensi hidup itu sendiri dan tujuannya. Ibarat perjalanan Jakarta-Surabaya, yang mengalami perubahan hanyalah alat transportasinya, mulai dari jalan kaki, sampai naik pesawat terbang. Tujuannya sendiri tidak terpengaruh oleh "cara" menempuh perjalanan itu sendiri. Maka ibarat mobil yang stabil yang mampu melaju dengan cepat, begitu pula orang yang mencapai istiqamah tidak akan goyah, apalagi takut, oleh lajunya perubahan. Dia hidup dinamis, berjalan di atas kebenaran demi kebenaran, untuk sampai akhirnya kembali kepada Tuhan, sang Kebenaran Mutlak dan Abadi. Dan kesadaran akan hidup menuju Tuhan itulah yang akan memberi kebahagiaan sejati sesuai janji Tuhan di atas.
Manfaat Istiqomah
Dalam surat Fushshilat Allah Ta'ala juga berfirman:
" Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ". (QS Fushshilat: 30-32).
Merujuk pada ayat diatas maka manfaat Istiqamah antara lain:
1.      Mendapat petunjuk hidup yang benar sesuai kehendak Allah
2.      Tidak mudah terpengaruh pada hal-hal yang menyesatkan
3.      Didoakan oleh malaikat
4.      Diperhitungkan orang lain karena memiliki sikap dan kepribadian yang kuat
5.      Akan dimasukkan kedalam surga
6.      Malaikat akan selalu menjadi pelindungnya, baik di dunia maupun di akhirat
Al Washiti berkata : “Istiqamah adalah sifat yang dapat menyempurnakan kepribadian seseorang dan tidak adanya sifat ini rusaklah kepribadian seseorang”.