Kamis, 02 Mei 2013

Subhanallah, Sholat Jumat di Universitas Yahudi

PROFESOR Thalal mengatakan "jangan menghakimi orang berdasarkan pengetahuan dan sudut pandang sendiri." Dengan wajah lembut tapi suara agak meninggi, dia menyimpulkan, "Anda hanya bisa menghakimi orang berdasarkan keadilan."

Itulah inti pesan khotbah Thalal, Jumat (22/03/2013) lalu. Di Moslem Workship Prayer (MWP), Brandeis University, Waltham.

Sembilan mil atau 14 km arah barat dari pusat kota Boston, Amerika Serikat. Bukan di mesjid.

Brandeis University merupakan pusat studi Yahudi di USA.
Ada Cohen Center, Pusat Studi Yahudi Modern.
MWP semacam musholah berfungsi jamak. Ada kantor multifungsi, ruang tamu merangkap tempat makan bersama, dapur, dan ruang salat.

Terletak di ground floor gedung Usdan Student Center, Pusat Administrasi dan Keuangan Brandeis University.

MWP sekira 12 x 8 meter. Ruang salat 6 x 5 meter, bisa memuat sekira 30 orang.

Di lantai 1 ada ruangan untuk Pusat Studi Islam. Tak jauh dari situ, ada lagi ruang salat bisa menampung lebih dari 40 jamaah.

Digunakan secara bergantian. Hari itu, sholat Jumat dilaksanakan di MWP. "Usai shOlat sunnah, kita makan siang bersama," ajak Thalal usai sholat Jumat.

Aktivitas ini rutin setiap Jumat. Di Universitas Brandeis. Sebuah universitas pusat pendidikan tinggi agama Yahudi di Amerika Serikat (AS).

Tak hanya shOlat Jumat. Bebas melaksanakan sholat wajib (5 kali setiap hari), sholat sunnah, dan berbagai amalan ibadah lainnya.

Di bulan puasa aktivitas ibadah lebih ramai. Ada buka puasa bersama, tarwih dan tadarus Al Qur"an. Ada juga aksi sosial atau solidaritas.

Semacam pengumpulan donasi untuk anak-anak di Syiria dan Libanon, atau di Afrika.

Brandeis University, universitas swasta yang didirikan oleh komunitas Yahudi AS pada 1948.

Nama universitas ini didedikasikan untuk Louis Brandeis, warga AS keturunan Yahudi pertama yang menjadi hakim agung di Mahkamah Agung USA.

Pendirinya Abram L Sachar, Israel Goldstein, George Alpert, C Ruggles Smith, dan fisikawan paling kesohor di dunia, Albert Einstein.

Para pendiri universitas yang punya areal kampus seluas 95 hektare itu merupakan tokoh-tokoh Yahudi terkemuka di Israel, AS, bahkan dunia.

Israel Goldstein, misalnya, adalah Rabbi di New York pada 1918-1960, punya pengaruh bagi gerakan Zionis.

Dia Ketua Badan Rabbi New York, Jewish National Fund, dan Ketua Organisasi Zionis Amerika.

Sejak didirikan, universitas bermoto "Jujur" ini berstandar tinggi: hendak menyamai Hardvard University, universitas tertua di AS.

Rangking 31 di USA, punya unggulan untuk studi perempuan, pembangunan yang berkesinambungan, dan jurnalisme investigatif.

Brandeis University merupakan pusat studi Yahudi di USA. Ada Cohen Center, Pusat Studi Yahudi Modern.

Untuk menopang keunggulan Cohen Center, ada Institute for Informal Jewish Education.

Punya lembaga formal dan informal pendidikan Yahudi, tidak membuat Brandeis University intoleran terhadap agama lain.

Semua penganut agama (dan yang tak beragama) bebas menjalankan ibadahnya. Bahkan difasilitasi oleh universitas.

Prof Thalal merupakan dosen studi Islam. Dia digaji sebagai dosen, juga pembina dan imam bagi komunitas muslim di universitas yang punya mahasiswa 5.828 orang itu.

Pada khotbahnya, Prof Thalal mengutip kisah Nabi Musa dan Hijir dalam surat Al-Kahfi (Gua).

Tokoh asal Lebanon itu seperti mempertautkan Yahudi, Kristen dan Islam lewat kisah tentang Musa, tokoh penting yang amat dihormati dan diteladani pada ketiga agama samawi itu.

Berbeda dengan mesjid atau musholah pada umumnya. Ruang salat di MWP tak ada mimbar, juga tanpa mihrab (tempat imam memimpin salat).

Saat khotbah Jumat, Prof Thalal berdiri di depan, bak orang hendak berceramah. Lalu dia memberi khotbah, seperti laiknya di mesjid di mana pun di dunia.

Hari itu, ada 21 jamaah pria dan 3 wanita. Tak ada pembatas antara tempat salat pria dan wanita. Ruangan polos. Pria salat di depan, wanita di saf (barisan) paling belakang.

Jamaah wanita tak mengenakan mukenah. Semua memakai celana jeans, gaun tangan panjang, kepala dibalut kerudung, kaki ditutup kaos kaki. Syarat wajib bagi seorang wanita saat salat terpenuhi: hanya wajah dan telapak tangan yang terbuka.

Mungkin kalau di Indonesia, tampilan itu memunculkan perdebatan yang memakan energi dan waktu.

Tapi di mesjid-mesjid di USA, tampilan jamaah wanita seperti itu sudah lazim. Tak ada yang protes. Apalagi menghakimi mereka sesat.

Usai salat, jamaah wanita dan pria saling jabat tangan. Akrab dan hangat. Merasakan sebagai saudara. Bercengkrama, berbagi cerita dan saling canda.

Prof Thalal berbaur bersama. Kadang istrinya ikut. Jika dia berhalangan, Zoha Hussain yang jadi pengganti.

Zoha mahasiswa S1, Ketua Moslem Student Association (MSA)di Brandeis University. Umumnya mahasiswa muslim di kampus ini berasal dari Timur Tengah, negara-negara yang "bermusuhan" dengan Israel. Juga dari Indonesia, Afrika Utara dan Barat, ASEAN, Eropa dan USA sendiri.

MSA punya banyak kegiatan. Ada pengajian, tadarus Al-Qur"an, ceramah agama, kajian agama, aksi solidaritas bagi korban bencana atau perang di berbagai negara, dan kegiatan-kegiatan yang mempererat tali silaturahmi.

Tak selamanya datar dan menyejukkan. Ada juga kegiatan yang "menyengat". Di papan pengumuman kegiatan kampus ditempel sebuah poster pemberitahuan sekaligus undangan diskusi terbuka.

Judulnya menyentak: Moving Beyond Zionism. A new paradigm for the future Israel/Palestine.

Penyelengga ranya Student for Justice in Palestine. Menghadirkan Miko Peled, seorang pengarang dari Israel.

Tentu ada banyak perspektif yang muncul dan berkembang pada kegiatan semacam itu.

Termasuk pandangan miring terhadap gerakan dan aksi Zionisme. Hebatnya, kegiatan itu leluasa dilakukan di kampus Yahudi, universitas yang didirikan oleh tokoh-tokoh Zionis.

Tak sekadar pelajaran tentang toleransi dan penghormatan kepada sesama umat beragama.

Mungkin akan lahir perspektif baru tentang "hidup berdampingan secara layak dan damai" di Israel dan Palestina. Dilahirkan dari pemikiran cerdas, kreatif dan brilian.

Menggunakan kekuatan otak dan kelembutan hati. Dari sebuah kampus. Bukan menggunakan bedil, mortir dan bom. Di medan peperangan.

Laporan: Suhendro Boroma, Amerika Serikat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar